Kala Menyirih Menjadi Gaya Hidup Penduduk Indonesia

Sebelum penduduk mengenal rokok, menyirih merupakan kegiatan populer. Kebiasaan ini sangat populer hingga membuat orang Eropa yang datang ke Nusantara turut meniru kebiasaan tersebut.

Kebiasaan Menyirih

Tidak hanya di Indonesia, kebiasaan menyirih juga menjadi kebiasaan penduduk lain di Asia Tenggara. Sulit dilacak kapan kebiasaan ini muncul, tetapi yang pasti kebiasaan mengunyah sirih telah ada jauh sebelum tembakau masuk ke Asia.

Seluruh bahan penting sirih-pinang dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia. Kapur sirih mudah didapat dari cangkang kerang yang dihancurkan. Sementara dua bahan lain­— biji pinang dan daun sirih— juga mudah didapatkan.

Meyirih 1
Potret seorang wanita Jawa sedang membuat sirih-pinang. Sumber: KITLV 12084.

Karena bahan sirih-pinang begitu mudah didapat di Indonesia, hampir tiap daerah di Indonesia memiliki penyebutan untuk sirih-pinang.

AcehBatak TobaJawaMakasarBugis
Pineung ranubNapuranJambe SurohRappo leko’Allosi ota

Sirih pinang sama candunya dengan rokok pada masa sekarang. Dalam kunjungannya ke Jawa pada awal abad ke-14, Ma Hua melaporkan kebiasaan menyirih penduduk Jawa. “Pria dan wanita di pulau itu memetik biji pinang dan daun sirih, lalu mencampurnya dengan kapur sirih dari kulit kerang; mulut mereka selalu berisi campuran itu. Tatkala ada tamu, mereka tidak menjamu dengan teh melainkan biji pinang,” ungkapnya.

Fenomena serupa juga ditemui oleh Antonio Pigafetta yang mengikuti ekspedisi Magellan menjelajah Nusantara pada 1521. Ia menemukan orang-orang di kepulauan itu terus menerus mengunyah sirih pinang. Layaknya orang yang kencanduan narkotika, mereka meyakini “sirih dapat membuat tenang dan bila tak mengonsumsinya bisa membuat mati.”

Tatkala armada Belanda pertama kali mendarat di Banten pada 1598, mereka langsung disambut pemandangan ini. Menurut laporan kala itu, orang Jawa hampir selalu mengunyah sirih-pinang hingga membuat mulut mereka merah. Selain itu, mereka juga menjadikan sirih-pinang sebagai persembahan ke raja dan oleh-oleh saat bertamu.

Sirih-pinang tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan kelas bawah, tetapi juga para bangsawan. Dalam sebuah rombongan iring-iringan kerajaan, raja selalu didampingi pelayan yang membawakan bahan sirih-pinang di nampan perunggu.

Menyirih bukanlah soal preferensi pribadi atau kesenangan belaka. Kegiatan itu adalah kebutuhan sosial bagi setiap orang dewasa di dalam masyarakat. Menolak mempersembahkan sirih atau menolak mengambilnya ketika dihidangkan, dianggap sebagai penghinaan berat.

Sentralitas sirih pinang di dalam masyarakat begitu mengakar, bahkan hingga ke ranah ritual. Dalam sebuah acara pernikahan, sirih dan pinang menjadi elemen wajib yang harus disajikan. Selain di acara pernikahan, di beberapa daerah sirih-pinang juga disajikan dalam acara pemakaman.

Mengapa Sirih Pinang Begitu Populer?

Kepopuleran sirih pinang tidak dapat dilepaskan dari efek yang ditimbulkan olehnya. Menyirih memiliki fungsi serupa dengan merokok. Kedua produk tersebut dianggap memiliki efek menenangkan sekaligus merangsang suasana hati agar interaksi sosial bertambah menyenangkan.

Dalam sebuah penelitan pada 1930-an, arecoline— salah satu alkaloid utama dalam pinang— memiliki efek yang mirip nikotin, sehingga dapat merangsang sistem saraf pusat, meningkatkan pernapasan, sekaligus membuat stabil detak jantung.

Meskipun demikian, khasiat menenangkan sirih pinang tampaknya sudah lama disadari masyarakat. Dalam Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), seorang wanita Jawa yang jatuh cinta kepada Hang Tuah disuguhi sirih untuk menghilangkan rasa sakit karena cinta.

Sementara dalam epik Aceh abad ke-18, Hikayat Pocut Mohammad, para pejuang yang lelah dan ketakutan menenangkan diri dengan mengunyah sirih, bahkan menelan ludahnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Selain diyakini memiliki efek menenangkan, menyirih dipercaya dapat mencegah kerusakan gigi dan mengharumkan napas. Menurut penuturan Tome Pires, mengunyah sirih pinang “bermanfaat bagi pencernaan, menyegarkan otak, menguatkan gigi, sehingga para pria di sini yang memakannya biasanya memilki gigi yang utuh, bahkan pada usia 80 tahun. Mereka yang memakannya memiliki nafas yang wangi dan jika mereka tidak mengonsumsinya sehari saja napas mereka menjadi bau.”

Meskipun berbagai khasiat sirih pinang masih diperdebatkan, tetapi klaim produk ini dapat mengharumkan napas sepertinya dapat diterima. Beberapa penulis meyakini para wanita Asia Tenggara mengonsumsi sirih pinang terlebih dahulu sebelum bercinta agar napas mereka wangi. Kebiasaan ini kemudian ditiru dengan cepat oleh para wanita Portugis dan Belanda yang datang ke Asia Tenggara.

menyirih
Penjual sirih-pinang.

Walaupun sirih pinang memiliki khasiat yang luar biasa, eksistensinya perlahan digantikan oleh tembakau yang mulai dikenal penduduk Nusantara pada awal abad ke-17. Awalnya tembakau digunakan penduduk sebagai tambahan sirih pinang.

Namun, seiring berjalannya waktu, penduduk mulai meninggalkan kebiasaan mengunyah sirih pinang. Para pria Belanda mulai meninggalkan kebiasaan mengunyah sirih pada pertengahan abad ke-18 dan beralih ke pipa rokok. Sementara para wanita Eropa tetap melakukan kebiasaan itu hingga abad ke-19.

Seiring berlalunya abad ke-19, jurang budaya antara orang Eropa dan bumiputra menjadi semakin dalam. Bagi orang Eropa, mengunyah sirih dan meludah di pinggir jalan dianggap menjijikkan dan merupakan wujud inferioritas. Peralihan gaya hidup itu turut diikuti oleh pejabat bumiputra, hingga akhirnya pada abad ke-20 kebiasaan menyirih mulai menjadi langka.

Daftar Pustaka

Lewin, Louis. Phantastica: Narcotic and Stimulating Drugs, Their Vu and Abuse. London: Routledge and Kegan Paul, 1964.

Ma Huan. Ying-Yai Sheng-Ian: “The overall survey of the ocean’s Shores” (1433). Cambridge: Hakluyt Society, 1970.

Penzer, N. M. Poison-Damsels and Other Essays in Folklore and Anthropology. London: Chas. Sawyer, 1952.

Pigafma, Antonio. First Voyage Round the World. Trans. J. A. Robertson. Manila: Filipiniana Book Guild, 1969.

Pires, Tome. The Suma Oriental. London: Hakluyt Society, 1944.

Reid, A. “From Betel-Chewing to Tobacco Smoking in Indonesia” in European Intruders and Changes in Behaviour and Customs in Africa, America and Asia before 1800. London: Routledge, 2017.

Skear, W. W. Malay Magic; being an introduction to the Folklore and popular religion of the Malay Peninsula. New York: Dover Publications, 1967.

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *