Siaran Televisi Pertama di Indonesia

Televisi memainkan peran vital dalam pendidikan dan pembangunan identitas bangsa Indonesia. Kemampuan TV dalam mempengaruhi audiens secara luas dianggap potensial untuk menyatukan bangsa Indonesia yang masih terpecah-belah. Meskipun proyek pengembangan siaran televisi pada awalnya dianggap terlalu ambisius untuk sebuah negara yang baru merdeka, dampak yang dihasilkan sepadan dengan investasi yang dikeluarkan.

Mimpi Menghadirkan Siaran Televisi di Indonesia

Membicarakan sejarah televisi di Indonesia rasanya kurang lengkap tanpa menyebutkan peran penting Maladi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Radio Republik Indonesia (RRI) dan juga Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

televisi
Maladi. Sumber: Wikipedia

Sebagai orang yang memiliki segudang pengalaman di dunia penyiaran, ia sangat memahami potensi TV dalam mendefinisikan dan membangun identitas bangsa secara simbolis.

Tatkala Maladi menjabat sebagai Kepala RRI, pada 1952, ia mulai mendesak Soekarno untuk memperkenalkan televisi. Menurutnya, kehadiran TV dapat memberikan manfaat politis bagi pemerintah dalam pemilihan umum pertama 1955.

Selain itu, Maladi juga mempersiapkan fondasi untuk pengembangan siaran televisi dengan mengirimkan tim penyiar dari Kementerian Penerangan ke Universitas Southern California di Los Angeles untuk mengikuti pelatihan khusus.

Soekarno sendiri merespons positif ide Maladi itu. Dalam pandangannya, siaran televisi dapat lebih efektif ketimbang radio, terutama dalam berinteraksi dengan masyarakat yang sebagian besar belum melek huruf. Kendati mendapat dukungan dari presiden, rencana tersebut ditentang oleh kabinet karena dianggap membutuhkan anggaran yang besar.

Walaupun begitu Maladi tidak patah arang. Pada tahun 1959, ia kembali mendesak pemerintah untuk memperkenalkan televisi. Ia tetap meyakini kehadiran TV dapat memberi manfaat pendidikan dan memenuhi harapan untuk menyiarkan Asian Games yang akan datang, seperti yang telah dilakukan oleh Jepang pada tahun 1958.

Tujuan ganda ini tentunya memiliki muatan politis. Bagi Maladi, televisi memiliki potensi besar untuk menempa persatuan Indonesia melalui program-program pendidikan nasional. Ia berharap program pendidikan yang disiarkan melalui televisi bisa mencerahkan kehidupan masyarakat Indonesia di era modern.

Maladi juga melihat penyiaran Asian Games sebagai peluang berharga untuk memulihkan semangat kebangsaan dan persatuan nasional yang telah terganggu akibat gagasan federalisme (Republik Indonesia Serikat).

Pada tahun yang sama, Maladi diangkat sebagai Menteri Penerangan. Dengan posisi barunya ini, ia memiliki pengaruh yang lebih besar dalam melakukan upaya lobi terkait siaran televisi. Melalui perundingan, kesepakatan berhasil dicapai dan keputusan ini terekam dalam catatan resmi sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1960.

Pada bulan Juli tahun 1961, Maladi mendapatkan persetujuan dari pemerintah untuk mengembangkan televisi sebagai bagian dari proyek Asian Games IV. Untuk merencanakan pelaksanaannya ia membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2TV).

Salah satu anggota awal panitia perencanaan adalah Sumartono Tjitrosidojo, lulusan teknik University of New South Wales di Sydney yang kelak menjadi Direktur TVRI.

Sepuluh bulan berikutnya menjadi periode intensif dalam perencanaan. Ditambah, sebagian besar anggota tim memiliki keterbatasan pengalaman pribadi dalam bidang televisi dan kurangnya pengetahuan khusus mengenai penyiaran.

Tugas bertambah berat setelah pada Oktober 1961, Presiden Soekarno menugaskan Maladi dan anggota P2TV untuk membangun studio di bekas Akademi Penerangan di Senayan, membangun dua pemancar 100W dan 10kW di Senayan, dan mempersiapkan perangkat yang disuplai oleh Nippon Electric Company (NEC).

Karena waktu yang terbatas, Maladi segera membentuk tim inti yang terdiri dari penyiar yang diperbantukan dari RRI serta pembuat film yang didatangkan dari Pusat Perfilman Negara (PFN).

Pada awal tahun 1962, delapan belas teknisi dan staf produksi dikirim untuk mengikuti pelatihan intensif selama tiga bulan di stasiun televisi nasional NHK (Nippon Hoso Kyokai) di Jepang. Dari jumlah tersebut, dua belas orang berasal dari RRI, dan empat orang dari PFN. Selain itu, empat staf produksi dari RRI juga dikirim untuk menjalani pelatihan di BBC London.

Siaran Televisi Pertama di Indonesia

Seminggu sebelum Asian Games dimulai, sebagai respons terhadap permintaan Presiden Sukarno, tim penyiaran TVRI menguji kemampuan yang baru saja mereka peroleh dengan menyiarkan secara langsung acara peringatan tujuh belas tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Istana Merdeka.

televisi
Mobil kru TVRI. Sumber: Koran Makassar

Siaran langsung yang berlangsung selama tiga setengah jam pada tanggal 17 Agustus 1962 menjadi langkah awal TVRI dalam sejarahnya. Selama siaran berlangsung, TVRI menggunakan pemancar 100-watt atau yang dikenal dengan nama Saluran 5.

Secara simbolis, TVRI dan bangsa Indonesia memiliki titik awal yang serupa, dan kesamaan inilah yang mengaitkan TVRI sejak saat pertama kali bersiaran dengan dinamika politik pembangunan negara dan upaya membangun serta menyebarkan gagasan-gagasan budaya nasional.

Penyelenggaraan Asian Games memberikan Indonesia panggung internasional untuk memperlihatkan dirinya kepada negara-negara tetangga sebagai entitas modern yang mengalami perkembangan pesat dan memiliki teknologi canggih. Pada waktu itu, dari negara-negara yang ikut serta dalam Asian Games, hanya Jepang (pada tahun 1953), Filipina (pada tahun 1953), dan Thailand (pada tahun 1954) yang sudah memiliki layanan siaran televisi.

Selama rentang waktu dari 24 Agustus hingga 12 September, empat tim penyiar langsung yang ditugaskan untuk meliput berbagai acara, mengudara setidaknya selama satu setengah jam setiap hari, dengan puncaknya mencapai hingga lima belas setengah jam pada hari Sabtu 1 September.

Berbagai pelatihan dan persiapan yang dilakukan sebelumnya terbayar tuntas pada event ini. Meskipun tim terdiri dari para penyiar yang minim pengalaman, tetapi mereka berhasil menyajikan siaran olahraga yang semarak kepada audiens mereka.

Saat acara berlangsung, ribuan warga Jakarta berdesak-desakan di pinggir jalan raya untuk melihat tayangan hitam putih pertandingan melalui receiver publik yang dipasang oleh pemerintah kota Jakarta dan perusahaan manufaktur Gobel di lokasi-lokasi strategis di Jakarta.

televisi
Iklan Sanyo. Sumber Koran Merdeka 31 Agustus 1962

Bersamaan dengan itu, iklan-iklan televisi mulai merajalela di surat kabar. Ada beberapa jenis TV yang ditampilkan dalam iklan, seperti Grundig 24-inch, Sanyo 19-inch dan Sharp 14-inch. Selama berlangsungnya acara, produsen televisi melaporkan peningkatan penjualan. Philips, Ralin, dan Gobel melaporkan telah mengimpor sekitar 5.000 set TV.

Sementara itu, Sumartono memperkirakan bahwa selama pertandingan berlangsung, terdapat sekitar 10.000 hingga 15.000 televisi yang digunakan. Angka ini cukup masuk akal, mengingat bahwa 10.000 TV telah dibeli oleh kementerian-kementerian pemerintah untuk dibagikan secara gratis kepada para pegawai negeri. Menariknya, harga perangkat TV pada waktu itu sangatlah mahal, mencapai dua puluh kali lipat dari gaji bulanan pegawai negeri senior.

Screenshot 2023 08 25 085755 1
Iklan TV Grundig dan Sharp. Sumber: Merdeka 24 Agustus 1962

Pembagian televisi diharapkan dapat menarik minat penduduk Indonesia. Sayangnya, pada bulan-bulan pertama operasinya, TV sama sekali bukan media massa. Siaran TVRI hanya dapat menjangkau tidak lebih dari 80.000 pemirsa, sekitar 2% dari total populasi Jakarta atau 0,09% dari total populasi Indonesia.

Tidak hanya harga perangkat televisi yang mahal, tetapi juga pilihan TVRI untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa siaran juga membatasi penetrasinya. Meskipun bahasa Indonesia telah digunakan secara luas di Jakarta, tetapi masih belum menjadi bahasa mayoritas di seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1960-an. Kendati demikian, televisi bersama dengan radio, berperan penting dalam memperkenalkan bahasa Indonesia kepada masyarakat luas.

Setelah Asian Games berakhir pada awal September, TVRI digabungkan ke dalam Yayasan Gelora Bung Karno, sebuah organisasi kesejahteraan sosial yang berada di bawah pengawasan langsung presiden. Penggabungan ini sekaligus menegaskan bahwa TVRI berada di bawah kendali langsung presiden.

Pada tanggal 19 September, siaran tetap dilanjutkan, tetapi tayangan yang disajikan dianggap kurang menarik bagi pemirsa karena siaran langsung pertandingan olahraga digantikan oleh tayangan ulang film yang dipinjam dari Pusat Perfilman Negara, yang disajikan dengan dubbing.

Baca juga: Menjelajahi Bioskop pada Masa Kolonial

Fasilitas studio di kompleks Senayan baru siap untuk menyiarkan sinyal visual pada 11 Oktober 1962. Walaupun tanggal 24 Agustus diakui oleh TVRI sebagai awal mula televisi di Indonesia, tetapi tanggal 11 Oktober menjadi titik awal penyiaran kontinu oleh layanan televisi Indonesia yang pertama kali dikenal sebagai Televisi Republik Indonesia Jajasan Gelora Bung Karno, yang kemudian disingkat menjadi Televisi Republik Indonesia (TVRI). Sejak saat itu, TVRI mengudara sebagai lembaga penyiaran pemerintah Indonesia yang aktif.

Referensi

Heng, R. H. K. (Ed.). (2002). Media fortunes, changing times: ASEAN states in transition. Institute of Southeast Asian Studies.

Hobart, M. (2006). Introduction: why is entertainment television in Indonesia important?. Asian Journal of Communication16(4), 343-351.

Kitley, P. (2003). Television, regulation and civil society in Asia. Routledge.

_______. (2014). Television, nation, and culture in Indonesia. Ohio University Press.

Sen, K. (1994). Changing horizons of television in Indonesia. Southeast Asian Journal of Social Science22, 116-124.

Surya, Y. W. (2006). The construction of cultural identity in local television stations’ programs in Indonesia. Media: Policies, cultures and futures in the Asia Pacific region, November, 27-29.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *