Kala Gelombang Pengangguran Menghantui Jawa

Depresi Ekonomi pada dekade 1930-an memiliki dampak yang mengerikan di Hindia-Belanda. Jawa, yang notabene sebagai pusat perekonomian, dalam waktu singkat mengalami keruntuhan ekonomi. Berbagai industri di pulau tersebut dibuat kalang-kabut, pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai sektor industri. Akibatnya, gelombang pengangguran menjadi tidak dapat terelakkan.

Runtuhnya Ekonomi Hindia-Belanda

Sebelum depresi ekonomi melanda wilayah Hindia-Belanda, beberapa sektor industri di negara kolonial itu sempat mencapai masa keemasannya. Salah satunya adalah industri gula.

Pada awal abad ke-20, Jawa dikenal sebagai pemasok utama gula ke pasar-pasar Asia, terutama di anak benua India, Cina, dan Jepang. Penguasaan pasar gula ini hampir tidak tersentuh oleh produksi gula lokal atau impor lainnya.

Kondisi ini membuat produsen gula di Jawa merasa dominasi mereka bisa bertahan selamanya. Keyakinan itu tidak muncul begitu saja, ekspansi pasar Asia yang hampir tak terbatas dan kemampuan serta efisiensi mereka yang lebih unggul menjadi alasannya. Kendati demikian, kenyataan yang terjadi justru membuktikan kalau perhitungan ini salah.

Produksi industri gula memang mencapai puncaknya pada 1930 dengan produksi mencapai lebih dari 3 juta ton. Namun, lima tahun kemudian, hanya 30 dari hampir 180 pabrik yang masih beroperasi. Hasil produksi pun mengalami penurunan drastis menyisakan seperenam dari total produksi tahun 1930.

Kiamat industri gula di Jawa juga dialami oleh industri lain. Satu per satu sektor industri lain juga mengalami kelumpuhan dan menyebabkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

Permulaan Periode Tanpa Harapan

Depresi ekonomi memiliki dampak yang beragam pada masyarakat perkotaan. Pada awal periode ini, sebagian individu yang bekerja dalam sektor ekonomi perkotaan yang lebih modern mungkin masih dapat mempertahankan pekerjaan atau mengalami peningkatan standar hidup karena penurunan harga barang yang lebih cepat daripada penurunan upah.

pengangguran
Potret penduduk kurang gizi selama periode depresi. KITLV 402856

Namun, bagi individu Eropa yang kehilangan pekerjaan, mereka terpaksa mencari pekerjaan yang sebelumnya dianggap kurang memadai bagi mereka dan jika usaha ini tidak berhasil, mereka akhirnya tergantung pada bantuan sosial untuk kelompok miskin atau mengemis di jalanan.

Penduduk bumiputra berpendidikan Barat yang kehilangan pekerjaan juga terpaksa mengambil pekerjaan yang kurang diminati atau masuk ke sektor informal yang gajinya tidak menentu. Konsekuensi terburuknya, mereka harus bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan dari tetangga di lingkungan kampung dan lembaga amal.

Depresi ekonomi juga sangat berdampak pada generasi muda Eropa dan bumiputra. Banyak dari generasi muda yang hidup di periode ini harus mengubur impiannya. Demi bertahan hidup, mereka harus rela mengambil pekerjaan di bawah kualifikasi mereka

Krisis kali ini menciptakan gelombang pengangguran dan kemiskinan dalam skala yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Jaminan sosial yang disediakan oleh pemerintah kolonial, melalui gereja dan badan amal, bahkan tidak mampu mengatasinya.

Bagaimana Pemerintah Kolonial Memandang Masalah Pengangguran?

Pemerintah kolonial sebenarnya menyadari kalau gelombang pengangguran menimpa semua kalangan, tetapi mereka tetap bersikukuh memandang masalah ini secara rasial.

Pekerja Eropa yang bekerja dalam ekonomi modern, dengan struktur sosial berdasarkan individu dan keluarga inti, dipandang memiliki materi dan status sosial yang harus dipertahankan. Dengan struktur ini, mereka dianggap layak mendapatkan perhatian utama. Orang Eropa yang menganggur setidaknya harus dibantu untuk memastikan citranya sebagai orang Eropa tidak tercoreng.

Sementara itu, penduduk Tionghoa dan bumiputra yang tinggal di perkotaan dinilai masih memiliki ikatan yang kuat dengan keluarga besar, sehingga mereka memiliki struktur dukungan sosial informal yang luas.

Dampaknya, pengangguran yang bagi orang bumiputra tidak dinilai sebagai masalah individu layaknya orang Eropa, tetapi masalah kolektif. Kampung di perkotaan diyakini mampu memberikan dukungan sosial dan ekonomi yang cukup selama krisis berlangsung.

pengangguran
Potret pedesaan di Cirebon pada periode depresi. KITLV 402857

Apabila kampung perkotaan tidak mampu, para penganggur (khususnya bumiputra) bisa kembali ke kampung halaman. Dukungan dari struktur keluarga besar dan komunal desa diyakini dapat memberikan kesempatan untuk bertahan hidup selama krisis berlangsung. Dengan kata lain, desa-desa di Jawa dipandang sebagai last resort bagi pekerja urban bumiputra.

Ledakan Jumlah Pengangguran

Ketidaksiapan pemerintah kolonial menghadapi depresi, diperburuk oleh ledakan pengangguran yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan.

John Ingelson mengatakan bahwa mustahil untuk mengalkulasi jumlah pasti pekerja yang kehilangan pekerjaan selama masa krisis. Biro Tenaga Kerja kolonial memang memiliki catatan tentang pengangguran, tetapi angka tersebut jauh dari angka sesungguhnya.

Berdasarkan catatan Biro Tenaga Kerja, orang Eropa yang menganggur mencapai 6.865 (1937), pengangguran bumiputra 18.449 (1936), dan pengangguran Tionghoa berada di kisaran 1.205 (1934).

Namun, pengangguran Eropa sendiri diperkirakan mencapai puncaknya pada 1937 dengan jumlah 10.000 orang, sekitar 17 persen dari total angkatan kerja Eropa. Angka ini diperoleh dengan mengesampingkan pekerja pemerintah non-aktif dan yang dipulangkan ke benua Eropa.

Meskipun demikian, tingginya jumlah pengangguran Eropa sebetulnya tidak mengherankan, karena besarnya populasi mereka di Hindia-Belanda yang mencapai 245.000 orang pada 1930.

Tingkat pengangguran penduduk bumiputra lebih sulit untuk dikalkulasi. Kantor dinas tenaga kerja kesulitan menghitung jumlah pengangguran lantaran banyak pekerja bumiputra yang enggan untuk datang mendaftarkan diri.

Selain itu, pekerja harian lepas tidak termasuk dalam statistik meskipun jumlah mereka signifikan dalam angkatan kerja perkotaan di Indonesia. Statistik tersebut juga tidak memperhitungkan puluhan ribu pekerja perkotaan yang pulang ke desa karena tidak dapat memperoleh pekerjaan di kota-kota besar.

Runtuhnya ekonomi ekspor perkebunan di pantai timur Sumatra menambah kesengsaraan pengangguran di Jawa. Pada bulan Mei 1930, jumlah tenaga kerja di perkebunan Deli mencapai 336.000 orang. Empat tahun berselang, jumlahnya hanya tersisa 134.000 orang.

Kapal-kapal yang selama beberapa dekade mengangkut hingga 60.000 orang Jawa setiap tahunnya, kini dipenuhi oleh para buruh yang ingin kembali ke kampung halaman mereka. Para perantau yang pulang ini tidak termasuk ke dalam statistik resmi.

Pengangguran juga menghantui generasi muda di Hindia-Belanda. Pada pertengahan tahun 1937, Departemen Tenaga Kerja memperkirakan pengangguran di kalangan orang Eropa yang berusia antara 16 dan 24 tahun mencapai sekitar 4.000 orang atau dua kali lipat dari tingkat kelulusan sekolah tahunan.

Hanya sekitar separuh dari freshgraduate yang dapat memperoleh pekerjaan setiap tahunnya. Mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan akhirnya menjadi berandalan di kota-kota besar. Fenomena ini membuat para pejabat dan pers Eropa mengkhawatirkan masa depan koloni.

Tahun-tahun Depresi bertepatan dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumiputra yang terdidik. Sekolah-sekolah pemerintah dan swasta menghasilkan sekitar 10.000 lulusan Indonesia per tahun, tetapi sebagian besar tidak dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan harapan mereka.  

Gelombang pengangguran freshgraduate ini mencapai puncaknya pada 1937. Selama tujuh tahun masa krisis, sekitar 30.000 pemuda bumiputra lulusan sekolah Barat menganggur.

Departemen Pendidikan menganggap jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah freshgraduate. Kalau hal ini terus dibiarkan, dalam beberapa tahun ke depan, Hindia-Belanda bakal dibanjiri pengangguran lulusan sekolah Barat.

Di tengah situasi kalut itu, pemerintah kolonial juga mencemaskan sepak terjang para tokoh pergerakan yang bisa memanfaatkan momentum krisis untuk menggaet massa dan melakukan pemberontakan.

Untuk mencegah terjadinya kekacauan politik, pemerintah memutuskan memperketat kontrol terhadap seluruh kegiatan politik penduduk bumiputra. Pada tahun 1933 dan 1934, dua partai politik besar, Partindo dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dilarang, dan pemimpinnya diasingkan dari Jawa. Pemberangusan dua parpol ini sekaligus menjadi peringatan bagi para elite politik bumiputra yang ingin merongrong kekuasaan kolonial.

Kebijakan Tebang Pilih

Pada awalnya pemerintah kolonial bersikukuh kalau masalah pengangguran bukanlah tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab masyarakat. Oleh sebab itu, mereka merasa tidak perlu mengalokasikan anggaran besar untuk memberikan jaminan sosial bagi para pengangguran.

Namun, peningkatan angka pengangguran di perkotaan secara dramatis, serta makin banyaknya orang-orang Eropa yang miskin berkeliaran di jalanan, mendorong pemerintah pada bulan Desember 1930 untuk membentuk Komite Sentral untuk Membantu Para Penganggur.

Tugas utama komite ini adalah mengumpulkan uang dari individu dan perusahaan. Uang yang terkumpul lalu didistribusikan kepada para penganggur melalui berbagai program pelatihan dan melalui komite-komite lokal di kota-kota besar.

Meskipun pemerintah setuju menyisihkan 50 sen uang publik untuk setiap gulden yang terkumpul dari berbagai sumber swasta, pemerintah terus berargumen bahwa masyarakat lokal lebih memahami masalah-masalah di tingkat bawah daripada pemerintah.

Kehadiran Komite Sentral untuk masalah pengangguran sebetulnya tidak berdampak besar bagi penduduk bumiputra; karena prioritas utama komite adalah membantu orang Eropa.

Pemerintah kolonial berdalih kalau mereka tidak mampu memberikan sistem dukungan pengangguran yang luas bagi masyarakat Indonesia, bahkan bagi pekerja tetap di perkotaan. Mereka tetap yakin struktur sosial masyarakat tradisional mampu untuk mendukung para penganggur bumiputra.

pengangguran
Potret penduduk yang mengharapkan bantuan.
KITLV 402851

Komite Sentral untuk Bantuan Pengangguran membentuk komite-komite lokal. Pada tahun 1935, terdapat 70 komite bantuan lokal yang dikelola oleh pejabat Eropa atau individu-individu terkemuka, sebagian besar berada di Jawa.

Dalam praktiknya, Komite Sentral dan Komite Daerah meminta sumbangan dari perusahaan-perusahaan besar, usaha kecil dan individu. Setelah daftar jalan disiapkan, para sukarelawan pergi dari rumah ke rumah untuk mencari sumbangan rutin. Sementara itu, sekolah mendorong anak-anak untuk mengumpulkan koin setiap hari Senin.

Komite-komite ini pada awalnya hanya menangani orang-orang Eropa yang menganggur. Jumlah bantuan yang disalurkan dibedakan berdasarkan pendapatan bulanan sebelum menjadi penganggur.

Pada tahun 1935, bantuan maksimum untuk orang Eropa yang belum menikah dan belum memiliki rumah berada pada kisaran 30–70 gulden untuk mereka yang sebelumnya berpenghasilan antara 175–426 gulden. Tunjangan akan lebih tinggi jika orang Eropa tersebut sudah menikah.

Seiring dengan desakan anggota Volksraad, pers berbahasa Melayu, dan Kantor Urusan Buruh, pada pertengahan tahun 1932, pemerintah memperluas kerangka acuan untuk Komite Sentral dengan memasukkan bantuan bagi para penganggur bumiputra, tetapi dengan catatan bahwa bantuan ini sifatnya terbatas.

Komite lokal bumiputra dan Tionghoa diminta membatasi bantuan hanya untuk individu yang tidak memiliki keluarga dan tidak dapat kembali ke desa asal mereka. Di samping itu, bantuan untuk penganggur bumiputra hanya diperuntukkan untuk kalangan terdidik atau pekerja dengan keterampilan khusus seperti tukang atau mandor.

Melalui kebijakan tebang pilih itu, penganggur bumiputra mendapatkan bantuan jauh lebih sedikit dari penganggur Eropa. Pada 1938, para penganggur Eropa yang dibantu oleh komite lokal dibayar minimal 10 gulden per bulan, sedangkan penganggur Indonesia dibayar maksimal 3-5 gulden.

Di tengah pengabaian yang dilakukan pemerintah kolonial, badan amal berbasis agama, seperti yang didirikan oleh Muhammadiyah dan gereja, membuat berbagai program untuk membantu meringankan penderitaan penduduk.

Pada saat yang sama, sejumlah badan amal sekuler juga bermunculan seperti Penolong Kemiskinan Indonesia (PBI) dan Penolong Pengangguran Kaum Ibu (Pasundan Isteri). Badan-badan amal ini tidak hanya menyediakan makanan dan pakaian, tetapi juga menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Pendirian Pusat Kerja dan Kamp Kerja

Pada akhir 1934, Komite Pusat mulai mendirikan pusat-pusat kerja dan kamp kerja untuk para penganggur. Mereka yang sudah didaftar tidak boleh menolak untuk bergabung dengan pusat kerja atau kamp kerja tanpa alasan yang jelas, jika tidak ingin semua bantuan keuangan dihentikan.

Rencananya, kamp kerja dan pusat kerja berfokus pada dua bidang, yakni perkebunan dan industri. Karena sejumlah besar penganggur berasal dari sektor perkebunan, komite membentuk perkebunan kecil agar para penganggur tetap dapat produktif. Kelompok kedua berasal dari perdagangan dan industri. Solusi untuk kelompok ini adalah pendirian industri kecil yang dapat memberikan peran bagi mereka di perdagangan atau administrasi.

Pada tahun 1936, telah berdiri pusat-pusat kerja di Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Madiun, Probolinggo, dan Surabaya di Jawa, serta di Medan dan Padang di Sumatra. Jumlah tenaga kerja mencapai puncaknya pada akhir tahun 1938, dengan sepuluh pusat kerja mempekerjakan 664 orang Eropa, 396 orang Indonesia, dan 18 orang Tionghoa.

Pusat-pusat kerja tersebut memang hanya dapat menyediakan sedikit pekerjaan, tetapi bagi pemerintah kolonial, mereka memiliki fungsi penting lainnya.

Pusat-pusat kerja ini dipercaya dapat mencegah pengangguran dan mempertahankan prinsip bahwa pengangguran harus bekerja untuk mendapatkan bantuan dari negara. Kehadiran pusat-pusat kerjaj juga dipercaya dapat meningkatkan keterampilan para penganggur. Beberapa pusat kerja juga diharapkan dapat berkembang menjadi usaha kecil yang layak.

Namun, harapan awal bahwa balai latihan kerja dapat menjadi industri kecil yang berdiri sendiri dan menguntungkan setelah satu atau dua tahun pemberian subsidi tidak pernah terwujud.

Pengupahan di pusat-pusat kerja tidak bisa dilepaskan dari praktik diskriminasi, orang Eropa dibayar jauh lebih tinggi daripada orang Indonesia, kendati pekerjaan yang dilakukan sama. Upah dan kondisi di kamp kerja untuk orang Eropa, meskipun jauh dari kata baik, juga jauh lebih baik daripada bumiputra.

Apabila pusat kerja dirancang untuk penganggur terampil di kota-kota besar, kamp kerja diperuntukkan untuk penganggur yang tidak memiliki keterampilan. Kamp-kamp kerja ini terletak di dekat kota-kota pedalaman di Jawa dan menganut disiplin ala militer.

Baca juga: Lima Krisis Ekonomi Paling Berdampak pada Dunia

Kamp kerja menyediakan tempat tinggal dan makanan, dan para narapidana diharapkan untuk bekerja di proyek-proyek penciptaan lapangan kerja lokal. Pada akhir tahun 1937, terdapat kamp kerja khusus untuk penduduk bumiputra di Malang, Lumajang, Cianjoer, Kebumen, Yogyakarta, Solo, dan Jember.

Bibliografi

Boomgaard, P., & Brown, I. (Eds.). (2000). Weathering the storm: The economies of Southeast Asia in the 1930s depression (Vol. 211). Institute of Southeast Asian Studies.

Booth, A. (1988). Living standards and the distribution of income in colonial Indonesia: A review of the evidence. Journal of Southeast Asian Studies19(2), 310-334.

INGLESON, J. (2012). Fear of the kampung, fear of unrest: urban unemployment and colonial policy in 1930s Java. Modern Asian Studies, 46(6), 1633–1671. http://www.jstor.org/stable/41683040

Ingleson, J. (2015). Race, class and the deserving poor: Charities and the 1930s Depression in Java. Journal of Southeast Asian Studies, 46(2), 205-226. doi:10.1017/S0022463415000053

KNIGHT, G. R. (2010). Exogenous Colonialism: Java Sugar between Nippon and Taikoo before and during the Interwar Depression, c. 1920-1940. Modern Asian Studies, 44(3), 477–515. http://www.jstor.org/stable/40664922

Lamb, N. (2014). A Time of Normalcy: Javanese “Coolies” Remember the Colonial Estate. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 170(4), 530–556. http://www.jstor.org/stable/43817974.

Soeara Oemoem, 14 Dec. 1934.

Vandenbosch, A. (1932). Economics and Administrative Policy in the Dutch Indies. Pacific Affairs, 5(10), 886–890. https://doi.org/10.2307/2750018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *