Dinamika Perguruan Tinggi Islam dan Pesantren

ponpes-darussalam-ciamis-harapanrakyat

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dalam segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha.[1] Hal ini dapat dilihat dari segi nama, “pesantren” yang sering dikaitkan dengan istilah dalam bahasa India “shastri” yang berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau orang yang ahli tentang kitab suci.

Sedangkan istilah “santri” juga sering dikaitkan dengan kata “sattiri” dalam bahasa Tamil yang bermakna orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. [2] Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Pesantren pada era Prakemerdekaan, Alwi Shihab menegaskan bahwa Syakh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (w. 1419 H) merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat. Usahanya menemukan momentum keberhasilan seiring dengan mulai runtuhnya singgasana kekuasaan Majapahit (1293-1478 M). Islam pun berkembang demikian pesat, khususnya di daerah-daerah pesisir kebetulan menjadi pusat-pusat perdagangan antardaerah, bahkan antarnegara.[3]

Digital image

Seiring perkembangan pesantren di wilayah pesisir, pengaruh ekologi laut dan psikologi para juru dakwah yang juga berprofesi sebagai pedagang, menjadikan pesantren pada periode awal yang cenderung menampilkan corak kosmopolit adaptif, dan cepat menerima nilai-nilai baru. Mereka mengadopsi bentuk bangunan ibadah dan asrama, dan atau menggunakan metode pembelajaran mandala (bandongan) yang mengakibatkan tidak herannya jika di pusat-pusat perdagangan juga tumbuh komuditas masyarakat yang menghargai pluralisme serta toleran terhadap hadirnya para pendatang baru yang tidak seiman, seperti etnis cina.[4]

Dalam perkembangan selanjutnya, memudarnya pengaruh karajaan Islam Demak akibat konflik intenal dan keberhasilan bangsa-bangsa Eropa (Portugis dan Belanda) dalam mengambil alih pusat-pusat perdagangan jalur pantai utara telah memengaruhi corak keislamanan masyarakat. Sehingga umat Islam terpaksa untuk bergerak ke daerah-daerah pedalaman dan menampilkan corak yang berbeda dengan ketika di daerah pesisir.[5]

Peran IAIN dalam Transformasi dan Modernisasi Pesantren

  1. Sarana Mobilitas Pendidikan Santri

IAIN merupakan salah satu pilihan utama alumni pesantren untuk memperoleh pendidikan tinggi Islam di dalam negeri Indonesia. Bagi lulusan pesantren yang tidak dapat berlanjut pendidikan di Timur Tengah, berkesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi di IAIN. Mereka untuk mengikuti seleksi pun tidak terlalu sulit karena telah memiliki cukup modal dasar pengetahuan untuk kajian-kajian di IAIN. [1]

  1. Alumni IAIN menjadi Kyai dan Ustadz di Pesantren

Banyaknya alumni IAIN yang menjadi kyai atau ustad di pesantren dapat diharapkan membawa satu bentuk budaya keislaman baru yang modern, kontekstual, liberal dan rasional, sebagaimana yang dikembangkan di IAIN. Mereka memberikan efek yang besar melalui proses pendidikan yang dilakukan. Dengan model pemahaman keagamaan yang dikembangkan di IAIN, muslim dididik untuk dapat memahami arti penting modernitas, kemajuan, pluralisme hidup bermasyarakat dan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Sebab, model ini tidak mengarahkan masyarakat muslim untuk bersikap eksklusif, melainkan inklusif. [2]

  1. Memberi Perspektif Modern dalam Memahami Islam

Pengaruh perspektif keislaman liberal dan modern IAIN yang dikembangkan di pondok pesantren melalui kyai dan ustadz lulusan IAIN dapat dikatakan cukup besar. Misalnya, para alumni ini yang mengajar di pesantren dengan metode kajian Islam baru yang berbeda dengan yang dikembangkan di pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh IAIN terhadap transformasi dan modernisasi pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman di pesantren dapat diterima dengan baik. Di sini perspektif modern dari IAIN mendorong keterbukaan pesantren terhadap realitas masyarakat secara kontekstual. [3]

Daftar Pustaka

Haedari, M. Amir. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernisasi dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD PRESS, 2004.

Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.

Web:

http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren. Diakses tanggal 7 Juni 2015.

[1] Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam, hlm. 109.

[2] Ibid., hlm, 112.

[3] Ibid.,hlm. 115.

[1] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3.

[2]Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 94.

[3] M. Amir Haedari, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernisasi dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD PRESS, 2004), hlm. 6-7.

[4] Ibid., hlm. 8.

[5] Ibid., hlm. 9.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *