Pada periode klasik, praktik perbudakan diterima secara luas di dalam masyarakat. Seorang tuan yang menggauli budak perempuannya tidak dipandang sebagai sebuah tabu. Namun, seiring dengan berubahnya zaman, praktik ini tidak lagi diterima dan hubungan seksual hanya diizinkan menurut ajaran agama dalam kerangka pernikahan.
Keberadaan Selir dalam Masyarakat Arab
Pergudikan bisa dikatakan sebagai tradisi yang sudah lazim dipraktikkan di dunia Arab sebelum masa Islam. Para selir pada umumnya berasal dari golongan budak. Budak-budak ini bisa diperoleh melalui perdagangan budak atau sebagai hasil rampasan dari peperangan.
Dalam perdagangan budak, budak perempuan sering diklasifikasikan berdasarkan peran atau tugasnya. Ada yang khusus melayani kebutuhan seksual dan kebutuhan rumah tangga. Istilah suriyya (selir) disematkan untuk budak yang bertugas melayani kebutuhan seksual tuannya, sedangkan jawari disematkan untuk budak yang bertugas sebagai pelayan.
Kemunculan Islam, tidak serta merta melarang praktik pergundikan. Al-Quran, khususnya dalam ayat-ayat seperti al-Mu’minun: 5-6 dan al-Ma’arij: 29-30, masih menerima praktik ini.
Nabi Muhammad sendiri memiliki seorang selir bernama Māriyyah al-Qibṭiyyah. Ia diberikan kepada Nabi sebagai hadiah dari Al-Muqawqis, Gubernur Kristen di Alexandria, setelah penaklukkan wilayah Sasania pada tahun 628. Beberapa sumber mengatakan Nabi memerdekakan dan menikahinya, sedangkan beberapa sumber membantahnya.
Pada masa itu, ahli hukum Islam tidak mengatur batasan jumlah selir yang dapat dimiliki oleh seorang pria. Namun, para pemilik budak dilarang menyetubuhi perempuan pagan dan melacurkan para selirnya.
Ibn Hanbal menegaskan bahwa jika seorang wanita pagan memeluk Islam, maka hubungan seksual dengannya diperbolehkan. Namun, jika wanita tersebut tetap bertahan pada agama lamanya, ia hanya dapat dipekerjakan sebagai pelayan atau jawari.
Kendati demikian, para budak perempuan tidak memiliki banyak pilihan. Melakukan seksual dengan majikannya merupakan cara termudah untuk mencapai kemerdekaan. Seorang selir yang melahirkan anak dari tuannya diberikan status khusus sebagai “umm al-walad,” yang membuatnya tidak dapat dijual dan secara otomatis memperoleh status merdeka setelah kematian tuannya. Anak-anak yang lahir dari seorang selir dianggap bebas dan setara dengan anak-anak dari istri sah pria tersebut.
Dalam kehidupan sehari-harinya, penampilan para selir diharuskan berbeda dengan istri para tuannya. Umar ibn Khatab saat menjabat sebagai khalifah melarang budak perempuan untuk menyerupai penampilan perempuan merdeka. Mereka tidak diwajibkan untuk menutupi wajah, lengan, rambut, atau kaki di bawah lutut mereka.
Eksploitasi terhadap Budak Perempuan
Seiring dengan penaklukan-penaklukan Islam periode awal, perbudakan berkembang pesat. Tidak semua penduduk di wilayah yang ditaklukkan dapat dijadikan budak, hanya mereka yang beragama non-Islam yang dapat diperbudak. Nabi dan para sahabat melarang keras perbudakan sesama muslim.
Selama periode awal Islam, sebagian selir diperoleh dari rampasan perang. Menurut Majied Robinson (2017), antara tahun 500-750, terjadi lonjakan angka kelahiran Suku Quraisy hingga mencapai 3000 orang. Lonjakan drastis ini dikaitkan dengan menjamurnya praktik pergundikan dalam dunia Islam.
Pada masa Dinasti Umayyah, praktik perbudakan masih terus berlanjut. Mayoritas budak pada masa ini tidak diperoleh melalui perang, tetapi melalui perdagangan. Namun, pada masa ini, mulai muncul tren di lingkungan istana yang mengarah pada penggunaan selir sebagai mesin reproduksi untuk memperoleh keturunan laki-laki. Oleh karena itu, pergundikan di istana dilakukan sangat selektif, dan hanya selir yang berasal dari kelompok elit Sasania dan Mazdea yang diizinkan. Yazid III menjadi khalifah pertama yang lahir dari seorang budak.
Di pasar budak, budak perempuan pada umumnya menderita perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Mereka tidak dianggap sebagai individu yang memiliki hak, melainkan sebagai komoditas yang dijual belikan.
Ibnu al-Mujawir, seorang penjelajah asal Yaman, mengisahkan pengalamannya saat mengunjungi pasar budak. Ia melaporkan bahwa di pasar tersebut, para budak perempuan seringkali dipamerkan dengan cara yang tidak pantas. Mereka dihadapkan pada asap aromatik, diberi wewangian, dan dihias.
Penjual kemudian menggandeng tangan budak perempuan tersebut dan memamerkannya di sekitar pasar sambil berseru bahwa budak tersebut dijual. Calon pembeli yang tertarik biasanya akan mendekat untuk memeriksa budak itu. Pemeriksaan ini melibatkan pengecekan yang sangat rinci, termasuk mulut, tangan, kaki, betis, paha, pusar, payudara, dan bahkan daerah kemaluan.
Jika pembeli puas setelah pemeriksaan, maka transaksi jual beli dilakukan. Namun, dalam sepuluh hari pertama setelah pembelian, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan budak jika merasa tidak puas dengan kondisi atau pelayanan budak tersebut.
Seiring dengan periode keemasan Islam, para budak perempuan tidak hanya ditugaskan untuk memenuhi hasrat seksual atau kebutuhan sehari-hari, tetapi menjadi bagian penting dalam hiburan istana.
Pada abad ke-8, permintaan terhadap budak perempuan yang bisa bersyair (qaina), mengalami peningkatan. Sentra-sentra pelatihan musik mulai didirikan dan pasar budak pun memiliki segmen tersendiri khusus untuk para penyanyi.
Para budak penyair dilatih secara seksama agar bisa memainkan musik, beryair, dan memahami etiket istana. Kemampuan ini membuat mereka dihargai sangat tinggi di pasaran. Oleh sebab itu, perdagangan mereka pun menjadi eksklusif, hanya para khalifah, bangsawan, dan pejabat tinggi yang mampu membelinya.
Sebelum dijual, para budak penyair ini harus melalui pemeriksaan yang membuat tidak nyaman dan memalukan. Malahan, pemeriksaan dilakukan dengan lebih detail, tidak hanya bagian tubuh yang diperiksa, tetapi juga suara dan kemampuan berpikir. Mereka diharapkan memiliki daya tarik seksual yang kuat dan kemampuan yang telah matang sebelum diperdagangkan.
Arib, seorang budak perempuan yang lahir di kota Baghdad, harus menjalani pelatihan sejak usia dini di bawah pengawasan pemilik pertamanya, Abd Allah ibn Ismail al Marakibi, seorang pejabat pemerintahan di masa pemerintahan Harun al Rasyid. Menurut Kitab al-Aghani, dia mendapatkan pendidikan seni dan syair di sekolah Basra, Irak selatan. Setelah menyelesaikan pelatihannya, Arib kemudian dibeli oleh Khalifah al-Amin (809-813).
Meskipun qaina, seperti Arib, dilihat sebagai budak eksklusif, ini tidak berarti hidup mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan budak lainnya. Ketika berada di istana, mereka sering kali menjadi korban kekerasan oleh para tuannya.
Contoh lainnya adalah Inan bint Abdallah, yang terkenal dalam sejarah Daulah Abbasiyah sebagai seorang qiyan. Budak berambut pirang ini sudah menunjukkan bakat besar dalam syair sejak usia muda, sehingga penjual budak menetapkan harga tinggi untuknya. Namun, Inan sering kali dipukuli lantaran mengkritik tuannya lewat syair.
Baca juga: Perbudakan pada Periode Klasik Islam
Khalifah Harun al-Rasyid tertarik untuk memiliki Inan karena bakatnya. Namun, upaya tersebut tidak berjalan mulus karena pedagang menetapkan harga yang sangat tinggi untuk budak ini. Inan akhirnya menjadi milik khalifah setelah pemiliknya meninggal dan ia dijual melalui proses lelang.
Kendati telah pindah ke istana dan melahirkan dua putra al-Rasyid, tetapi dirinya masih menjadi korban kekerasan karena terperangkap di tengah pusaran konflik antara khalifah dan istrinya yang pencemburu.
Daftar Pustaka
Ali, K. (2010). Marriage and slavery in early Islam. Harvard University Press.
El Saadawi, N. (1982, January). Woman and Islam. In Women’s studies international forum (Vol. 5, No. 2, pp. 193-206). Pergamon.
Gordon, M. S., & Hain, K. A. (Eds.). (2017). Concubines and courtesans: women and slavery in Islamic history. Oxford University Press.
Lewis, B. (1990). Race and slavery in the Middle East: an historical enquiry. Oxford University Press, USA.
Moorthy Kloss, M. (2023). Slavery in Medieval Arabia. In The Palgrave Handbook of Global Slavery throughout History (pp. 139-158). Cham: Springer International Publishing.
Robinson, M. (2017). Statistical approaches to the rise of concubinage in Islam. Concubines and Courtesans: Women and Slavery in Islamic History, 11-26.