Pada masa lalu, harimau bisa berkeliaran dengan bebas di Pulau Jawa. Namun, seiring dengan gencarnya eksploitasi lahan hutan dan perburuan yang meluas, kepunahan harimau Jawa (panthera tigris sondaica) menjadi tidak dapat dihindari.
Harimau dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa
Selama berabad-abad, harimau Jawa dan manusia hidup berdampingan. Relung ekologi harimau dan manusia sangat tumpah tindih, keduanya berkembang di tepi hutan dan berburu hewan buruan yang serupa.
Kedekatan ini tercermin dalam kepercayaan lokal terhadap harimau. Bagi penduduk pedesaan, harimau dianggap sebagai manifestasi roh leluhur (danyang) yang melindungi dan mengawasi perilaku mereka. Roh-roh penjaga ini diyakini bersemayam di pohon-pohon besar atau batu-batu di hutan.
Harimau juga dianggap memiliki kedekatan dengan hutan. Mantan Residen Yogyakarta, John Crawfurd, mengutip cerita Jawa yang menceritakan persahabatan antara seekor harimau dan hutan.
Dalam kisah itu, keduanya saling melindungi satu sama lain. Ketika manusia mencoba mengambil kayu dari hutan, mereka merasa takut terhadap harimau. Namun, ketika mereka berusaha memburu harimau, hutan menyembunyikan harimau tersebut.
Meskipun kisah ini berakhir menyedihkan dengan bencana ekologi yang menghancurkan keduanya, cerita ini tetap mencerminkan ikatan esensial yang ada antara harimau dan hutan.
Perburuan terhadap Harimau Jawa
Pada awal abad ke-19, harimau Jawa masih dapat dijumpai dengan mudah di wilayah sekitar Panarukan dan Banyuwangi.
Awalnya, harimau melindungi ladang dengan memangsa satwa liar yang mencoba memakan hasil pertanian Mereka jarang sekali mengganggu manusia dan ternak. Baik harimau maupun manusia saling beradaptasi satu sama lain dengan lingkungan. Harimau beradaptasi secara biologis, sementara manusia beradaptasi dengan simbolisme dan budaya.
Namun, kondisi ini berubah drastis ketika pembukaan lahan hutan untuk perkebunan mengalami peningkatan signifikan pada abad ke-19. Pembukaan hutan untuk perkebunan menarik ribuan pendatang dari Jawa Tengah dan Madura ke wilayah ini.
Para pendatang ini dengan cepat menguras sumber daya hutan dan satwa liar buruan utama harimau. Dampak ekologis dari pergeseran populasi ini jauh lebih signifikan daripada dampak yang pernah dihasilkan oleh manusia sebelumnya di Jawa. Banyak kawasan hutan monsun di wilayah Jawa Timur, yang notabene habit harimau, beralih menjadi perkebunan jati.
Keseimbangan dinamis antara manusia dan harimau Jawa mulai terganggu pada titik ini. Pembukaan hutan yang mengganggu ekosistem tempat harimau tinggal mengharuskan mereka untuk mencari makanan lebih dekat ke pemukiman manusia.
Seiring dengan perubahan ini, citra harimau berubah dari pelindung yang dianggap sebagai penjelmaan roh leluhur menjadi predator yang kejam, memangsa ternak dan bahkan mengancam manusia.
Di lain pihak, orang-orang Belanda sudah lama menganggap harimau sebagai ancaman serius. Pada awal masa pemerintahan VOC di Batavia, harimau menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk setempat.
Sebagai respons terhadap ancaman ini, para pejabat VOC mengorganisir perburuan massal harimau. Mereka menawarkan hadiah besar kepada pemburu yang berhasil menangkap harimau. Pemberian hadiah terhadap pemburu harimau sempat dihentikan pada 1762, karena memakan anggaran yang terlampau besar.
Namun, pada Maret 1817, Residen Cirebon meminta izin kepada Gubernur Jenderal untuk menghidupkan kembali sistem ini menyusul meningkatnya populasi harimau di sekitar kota tersebut. Permintaan itu kemudian diikuti oleh para residen lain yang mengeluhkan masalah serupa. Menurut data yang dihimpun Peter Boomgaard (2001), saat itu masih terdapat sekitar 2500 ekor di Pulau Jawa.
Bersamaan dengan itu, penduduk Jawa sedang dilanda kelaparan dan kemiskinan akut lantaran kekeringan berkepanjangan. Sistem pemberian hadiah dengan imbalan yang mencapai f22 tentu sangat menarik bagi warga yang memiliki pendapatan per kapita sekitar f45. Hasilnya, pada akhir 1820-an, tercatat ada 1100 harimau yang dibunuh atau ditangkap.
Citra harimau Jawa yang sebelumnya dipandang sebagai manifestasi roh leluhur berubah secara drastis, menjadi hewan buas yang layak untuk diburu.
Bahkan, Bataviasche Courant, surat kabar resmi pemerintah, pernah memuat artikel yang mengusulkan pembentukan Perhimpunan Pemusnahan Harimau di Jawa. Meskipun usulan ini tidak pernah terwujud, pemerintah kolonial tetap menjadikan harimau sebagai ancaman yang harus dimusnahkan.
Antara tahun 1862 dan 1904, angka kematian orang yang disebabkan oleh serangan harimau di Jawa dan Sumatra diumumkan setiap tahun dalam Koloniaal Verslag (Laporan Kolonial). Pengumpulan dan publikasi data ini terkait dengan keputusan pemerintah tertanggal 8 Agustus 1862, No. 7 yang menetapkan sistem hadiah bagi siapa pun yang berhasil membunuh harimau di seluruh karesidenan Jawa dan Sumatra.
Keputusan ini secara tidak langsung memicu praktik perburuan harimau di seluruh wilayah Jawa dan Sumatra. Orang-orang bersaing untuk membunuh harimau demi mendapatkan hadiah. Sistem hadiah ini baru dihapuskan pada tahun 1897, bukan karena pemerintah menganggap ancaman terhadap harimau telah hilang, melainkan karena dianggap terlalu mahal dan tidak efisien.
Kepunahan Harimau Jawa
Kendati upaya pemburuan harimau dikurangi setelah penghapusan sistem hadiah, praktik perburuan ini tidak berhenti sepenuhnya. Pada abad ke-20, para pemburu masih menjadikan harimau sebagai sasaran buruan utama. Akibatnya, hanya tersisa sekitar 200-300 harimau Jawa pada awal 1940-an.
Ironisnya, jumlah harimau Jawa terus berkurang pasca kemerdekaan. Hingga akhir tahun 1960-an, harimau masih diburu di Banyuwangi. Namun, setelah itu harimau-harimau tersebut benar-benar sulit untuk ditemukan.
Seorang pemburu harimau yang biasanya menangkap seekor harimau setiap tahun dengan perangkap baja, mengaku menangkap harimau terakhirnya pada 1962. Pada tahun 1976, harimau hanya dapat ditemukan di kawasan Meru-Betiri, Banyuwangi. Sayangnya, hanya tiga harimau yang tersisa di Meru-Betri.
Baca juga: Merawat Alam, Sejarah Konservasi pada Masa Kolonial
Memasuki tahun 1980-an, jejak harimau Jawa sudah tidak dapat ditemukan lagi. Sejak saat itu, harimau Jawa secara resmi terdaftar sebagai spesies yang telah punah.
Berbagai kisah muncul mengiringi kematian harimau Jawa yang terakhir. Konon harimau terakhir ini mati ditembak oleh Soeharto, Pangeran Bernhard dari Belanda atau Shah Iran. Namun, terlepas dari semua itu, kepunahan harimau merupakan contoh nyata dari ketamakan manusia dalam memonopoli sumber daya alam tanpa menghiraukan makhluk lain di sekitarnya.
Daftar Pustaka
Ashraf, M. A. (2006). The extirpation of Bali and Javan tiger: lessons from the past. Biotropica, 28, 105-112.
Boomgaard, P. (2008). Frontiers of fear: tigers and people in the Malay world, 1600-1950. Yale University Press.
Meijaard, E. (2004). Biogeographic history of the Javan leopard Panthera pardus based on a craniometric analysis. Journal of Mammalogy, 85(2), 302-310.
Seidensticker, J., & Syuono, I. (1980). The Javan tiger and the Meru-Betiri Reserve: A plan for management.
Wessing, R. (1995). The last tiger in East Java: symbolic continuity in ecological change. Asian Folklore Studies, 191-218.