Penyelenggaraan pemilihan umum 1955 menandai era baru demokrasi di Indonesia. Sebagai sebuah negara yang baru saja meraih kemerdekaannya, pemilihan umum menjadi sebuah ujian yang sangat penting.
Story Guide
Munculnya Wacana Pemilihan Umum
Ide untuk menyelenggarakan pemilihan umum sebenarnya telah muncul sejak awal periode kemerdekaan. Pada 1946, pemilihan di wilayah karesidenan sudah mulai dilaksanakan.
Tidak berhenti di situ, pada tahun 1948, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengesahkan undang-undang yang mengatur sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan representasi proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga yang berusia di atas 18 tahun.
Melalui undang-undang tersebut, Komisi Pemilihan Umum Pusat didirikan, dan cabang-cabangnya dibentuk di seluruh wilayah Indonesia. Pendirian Komisi Pemilihan Umum mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk melaksanakan pemilihan umum secara demokratis.
Meskipun ada usaha untuk mengadakan pemilihan umum di awal kemerdekaan Indonesia, kondisi sosial-politik yang tidak stabil memaksa penundaan pemilu. Proses revolusi yang belum selesai dan agresi kedua Belanda, yang menguasai sebagian wilayah Indonesia, mengganggu stabilitas negara.
Para tokoh nasional pada masa itu merasa pesimis terkait pelaksanaan pemilu dalam waktu dekat, terutama setelah resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 yang menyatakan bahwa kedaulatan penuh baru bisa dicapai pada pertengahan 1950. Namun, melalui upaya diplomasi yang gigih, baik melalui Perjanjian Roem-Royen maupun Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Indonesia berhasil memperoleh kedaulatan lebih cepat dari yang ditargetkan resolusi PBB.
Dengan meraih kedaulatan penuh, harapan untuk menyelenggarakan pemilihan umum muncul kembali. Pemilihan umum dianggap penting bagi negara yang baru merdeka ini. Gagasan ini didukung juga oleh partai politik yang sudah aktif pada masa itu.
Jalan Terjal Menuju Pemilihan Umum
Kedaulatan penuh yang diperoleh tidak langsung memastikan kelancaran penyelenggaraan pemilihan umum. Meskipun rencana untuk mengadakan pemilihan Majelis Konstituante menjadi sorotan pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi rencana tersebut tidak pernah terwujud.
Tekanan nasionalisme dari berbagai wilayah di Indonesia akhirnya meruntuhkan sistem RIS dan mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan konstitusi negara dalam waktu yang relatif singkat pada akhirnya mengurangi urgensi untuk segera menyelenggarakan pemilihan umum.
Kabinet Hatta di Republik Indonesia Serikat (RIS) sebenarnya telah membentuk sebuah komisi untuk menyusun rancangan undang-undang pemilu. Namun, RUU tersebut baru diajukan ke parlemen pada masa Kabinet Natsir, lima bulan setelah konstitusi kembali ke NKRI.
Kabinet Natsir menargetkan penerapan UU 1948 tentang pemilihan umum tidak langsung di seluruh Indonesia. Meneruskan kebijakan pemerintahan Hatta, mereka ingin menyelenggarakan pemilihan umum pertama di seluruh Indonesia untuk memilih Majelis Konstituante yang bertanggung jawab atas pembentukan konstitusi permanen.
Namun, sebelum RUU ini dibahas di parlemen, Kabinet Natsir terperangkap dalam isu kontroversial terkait pemilihan umum. Selama enam bulan masa jabatannya, kabinet mengesahkan Undang-Undang Darurat No. 39 tahun 1950. Aturan kontroversial tersebut mengesahkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahannya.
Partai Masyumi disebut-sebut menjadi yang paling diuntungkan atas keputusan ini. Kontroversi yang dihasilkan oleh aturan tersebut menyebabkan kegaduhan yang cukup besar. Akhirnya, kabinet Natsir memilih untuk mengundurkan diri sebelum berhasil meloloskan RUU Pemilu.
Pada masa Kabinet Soekiman, progres menuju penyelenggaraan pemilu berlanjut. Sayangnya, kinerja yang dilakukan terbilang sangat lambat bahkan terkesan ditunda-tunda.
RUU Pemilu yang dirancang oleh Kabinet Natsir sebelumnya tidak diterima oleh parlemen karena hanya mengatur pemilihan tidak langsung. Sebagai gantinya, kabinet berikutnya harus menyusun undang-undang pemilu yang baru berdasarkan prinsip pemilihan langsung.
Komisi Pemilihan Umum Pusat mengirimkan revisi rancangan undang-undang tersebut kepada pemerintah untuk ditinjau oleh Menteri Dalam Negeri. Namun, RUU tersebut tidak pernah diajukan ke parlemen hingga masa pemerintahan Kabinet Soekiman berakhir pada bulan Februari 1952.
Sementara itu, tekanan untuk menyelenggarakan pemilu semakin meningkat, terutama dari Partai Sosialis Indonesia. Ini disebabkan oleh kesuksesan pemilu umum di India yang memberikan dorongan untuk menyegerakan pemilu di Indonesia.
Krisis tiga puluh lima hari yang terjadi setelah jatuhnya Kabinet Soekiman kembali meningkatkan urgensi isu pemilu. Kabinet Wilopo yang dibentuk pada 30 Maret, secara khusus menjanjikan “pemilihan umum untuk Majelis Konstituante dan Dewan Perwakilan Daerah”. Proyeksi pemilihan umum menjadi lebih serius setelah kabinet ini mulai menjabat.
Salah satu langkah awal yang diambil adalah memperkenalkan RUU Pencatatan Pemilih pada bulan Juli. Namun, fraksi-fraksi di parlemen memilih menunda pembahasannya dan baru pada bulan September memberikan pernyataan keberatan. Mereka menghendaki tanggung jawab pencatatan pemilih dilimpahkan kepada para pejabat desa, bukan pada pemilih itu sendiri.
Sementara itu, sejak awal Juli, parlemen malah sibuk mengisi kursi-kursi kosong dengan melakukan nominasi dari partai politik. Meskipun janji-janji politik tentang pemilu terus diutarakan, tidak ada langkah konkret yang signifikan yang diambil.
Pada 17 Oktober 1952, sekitar 5.000 massa yang sebagian besar berasal dari buruh kota, bergerak menuju gedung DPR untuk menuntut pembubaran parlemen dan percepatan pemilihan umum.
Baca juga: Gerakan Buruh dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia
Kekecewaan terhadap parlemen telah mencapai puncaknya. Gaya hidup mewah para anggota parlemen, praktik monopoli bisnis, dan peran mereka dalam lambannya kinerja pemerintah membuat mereka menjadi sasaran utama kekecewaan publik terhadap hasil kemerdekaan.
Tak berhenti di situ, jumlah massa yang terus bertambah kemudian bergerak menuju istana presiden. Ternyata, pengunjuk rasa juga mendapat dukungan dari Markas Besar Angkatan Darat yang muak dengan campur tangan parlemen dalam urusan internal militer. Puncaknya saat Jenderal A. H. Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Saat Soekarno bertemu dengan massa, ia menolak permintaan untuk membubarkan parlemen karena khawatir akan dicap sebagai seorang diktator. Namun, ia berjanji bahwa pemilihan umum akan segera diadakan.
Pasca peristiwa itu, isu pemilu menjadi sorotan utama. Pemerintah dengan cepat mencetak 50 juta kartu pemilih pada 1 November dan menekan parlemen agar segera mengesahkan RUU Pemilihan Umum.
RUU Pemilu yang diajukan pada 25 November 1952 membutuhkan waktu sekitar 18 bulan sebelum disahkan. Kali ini, parlemen tidak bisa banyak beralasan, tekanan dari publik dan media massa membuat mereka mau tidak mau harus mempercepat pembahasan RUU.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum untuk Majelis Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat disahkan menjadi undang-undang pada 1 April 1953. Bersamaan dengan itu, sejumlah hal teknis yang meliputi jadwal penyelenggaraan dan strategi untuk memantau kecurangan, mulai disusun oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mohammad Roem.
Pada 1954, negara memfokuskan perhatiannya pada persiapan pelaksanaan pemilu. Persiapan ini membutuhkan upaya besar, terutama dalam hal pendataan pemilih. Terlebih data penduduk yang tersedia saat itu masih berdasarkan sensus Belanda pada tahun 1930.
Tantangan bertambah berat mengingat mayoritas penduduk Indonesia buta huruf. Diperlukan kerja ekstra untuk mengedukasi 43 juta pemilih agar bisa ikut serta dalam pemilu. Semua alat publisitas – Pers dan Radio, bahkan pertunjukan wayang di pinggir jalan – digunakan oleh Pemerintah untuk memberi pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya hak suara mereka.
Antusiasme Penduduk dalam Mengikuti Pemilu
Setelah drama panjang penyusunan Undang-Undang Pemilu. Indonesia bersiap memasuki babak baru dalam berdemokrasi.
Rencananya, pemilu pertama ini dijadwalkan untuk dilakukan dua kali. Pemilihan pertama pada tanggal 29 September 1955 diarahkan untuk mengisi 260 kursi parlemen, sedangkan pemungutan suara kedua pada tanggal 15 Desember ditujukan untuk memilih 520 anggota Majelis Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi baru negara.
Undang-undang pemilu menetapkan bahwa kedua badan tersebut akan dipilih melalui sistem perwakilan proporsional, di mana pemungutan suara dilakukan secara bebas, rahasia, dan langsung. Pemerintah Indonesia memilih sistem perwakilan proporsional karena dinilai sebagai satu-satunya sistem pemungutan suara yang mampu memberikan perwakilan yang adil bagi partai politik dan kelompok-kelompok yang beragam.
Menjelang pemilu, parpol mulai menggelar kampanye masif untuk memikat para pemilih. Dari lima puluh dua partai yang ikut serta dalam pemilu, setidaknya ada lima partai yang menonjol: Masyumi, Partai Nasionalis Indonesia, Nahdlatul Ulama, PKI, dan Partai Sosialis.
Ketika masa kampanye, suasana relatif damai terjaga tanpa banyak ketegangan yang terjadi. Para pemimpin partai politik di Indonesia mampu menunjukkan teladan kepada para pendukung mereka, sehingga tercipta kampanye damai.
Meskipun terjadi adu gagasan yang sengit melalui pidato, selebaran, atau materi literatur, tetapi tidak ada pemimpin partai yang memprovokasi para pendukungnya untuk melakukan kekerasan atau intimidasi terhadap lawan politik mereka. Dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada insiden besar yang terjadi selama masa kampanye ini.
Komisi Pemilihan Umum Pusat memegang peran utama dalam mengatur dan menjalankan peraturan selama periode pemilu. Komisi ini terdiri dari perwakilan seluruh partai besar di Indonesia dan memiliki cabang di enam belas daerah pemilihan untuk memastikan kelancaran proses pemilihan umum.
Sementara itu, TNI (Tentara Nasional Indonesia) berusaha menjaga jarak dari keriuhan politik. Fokus mereka lebih tertuju pada menjaga ketertiban selama pemilihan berlangsung.
Pada tanggal 29 September, pemungutan suara berlangsung hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan relatif tenang dan tertib. Praktik kecurangan yang berat seperti jual beli suara, pemilih fiktif, dan korupsi tampaknya belum banyak dilaporkan pada pemilu pertama ini.
Partisipasi pemilih mencapai tingkat yang signifikan, sekitar 75 persen dari yang sudah terdaftar. Tingginya presentase pemilih ini tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah menyediakan sekitar 96.000 tempat pemungutan suara. Berkat kehadiran tempat pemungutan suara yang banyak, para pemilih tidak perlu berjalan jauh untuk menggunakan hak pilihnya.
Baca juga: Eksistensi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
Sistem pemungutan suara dirancang sangat sederhana. Para pemilih hanya perlu datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memilih partai dengan melubangi simbol partai pada kertas suara. Kertas suara kemudian dimasukkan ke dalam kotak suara di hadapan perwakilan partai dan petugas pemungutan suara.
Keterlibatan pemilih sangat besar. Bahkan, kaum perempuan yang sering diabaikan dalam politik menunjukkan partisipasi aktif dengan datang ke tempat pemungutan suara. Mereka memandang keterlibatan dalam pemilu sebagai tugas yang sakral.
Referensi
Aziz, Q. (1955). INDONESIA’S FIRST GENERAL ELECTIONS. Pakistan Horizon, 8(3), 400-405.
Feith, H. (1954). Toward Elections in Indonesia. Pacific Affairs, 27(3), 236-254.
Suryadinata, L. (2002). Elections and politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.
Tinker, I., & Walker, M. (1956). The First General Elections in India and Indonesia. Far Eastern Survey, 25(7), 97–110. https://doi.org/10.2307/3024336
Van der Kroef, J. M. (1957). Indonesia’s First National Election: A Sociological Analysis. The American Journal of Economics and Sociology, 16(3), 237-249.