Mencari Asal-Usul “Musik Rakyat” Dangdut

Dangdut bisa dikatakan sebagai genre musik paling populer di Indonesia. Karena popularitasnya yang luar biasa, dangdut sering disebut sebagai “musik rakyat”. Akan tetapi, di balik ketenarannya, genre musik ini harus melalui serangkaian perkembangan yang panjang sebelum mencapai bentuknya yang sekarang.

Transformasi Musik Rakyat

Istilah “dangdut” mulai mendapatkan popularitas pada awal 1970-an dan diambil dari bunyi khas tabuhan kendang. Meskipun demikian, dalam hal semangat sosial dan instrumen, akar dangdut dapat ditelusuri kembali ke era kolonial awal ketika alat musik Melayu, Arab, dan Barat digabungkan dalam pertunjukan tanjidor, orkes keliling khas Batavia.

Pada abad ke-19, pengaruh-pengaruh tambahan mulai muncul. Orkes Tionghoa Batavia, yang dikenal sebagai Gambang Kromong, muncul pada tahun 1820-an. Mereka menggabungkan alat musik dan melodi dari Tiongkok, Sunda, Maluku, dan Portugis.

Beberapa waktu kemudian, elemen-elemen dari musik keroncong, yang sudah akrab, dimainkan bersamaan. Pada awal abad ke-20, gaya musik ini memiliki repertoar yang beragam dan reputasi sosial yang kurang baik. Vokalis dan pemain keroncong sering mengembara di kota-kota Jawa dengan gaya tanjidor.

640px Tanjidor by M Jeffry Hanafiah 1
Potret pemain tanjidor. Wikimedia

Orang-orang Eropa yang menyaksikan fenomena ini menilainya sebagai produk musik bermutu rendah dan kampungan. Sebutan penghinaan pun disematkan kepada grup keroncong, seperti werklozen (gelandangan) dan klootzaken (bajingan).

Pada 1920-an, penduduk bumiputra yang memiliki kedudukan dalam tatanan kolonial mulai memandang keroncong dengan lebih baik. Kendati demikian, genre musik tersebut masih dianggap sebagai musik kampungan.

Satu dekade kemudian, kemunculan radio, fonograf, dan gambar bergerak, mendorong musik keroncong makin dikenal oleh masyarakat. Instrumen musik ini mendominasi film Terang Boelan (1937) yang ditujukan untuk penduduk bumiputra.

Kelompok nasionalis melihat keroncong sebagai sarana potensial untuk menyampaikan aspirasi mereka. A. K. Gani dari Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), kemudian bergabung dengan Gerindo, menjadi salah satu tokoh awal yang menyadari potensi ini. Menurutnya, sinema dan musik bisa digunakan sebagai alat untuk menyebarkan ide-ide nasionalisme kepada masyarakat yang mungkin kurang teredukasi.

Keroncong Merah Putih 1
Pemain Keroncong. Wikimedia

Pada tahun 1938, Gani mengorganisir sebuah festival keroncong untuk memperingati Sumpah Pemuda yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya. Melalui upayanya ini, Gani berharap bahwa keroncong bisa diakui oleh masyarakat sebagai musik yang memiliki karakter Melayu yang kuat, sehingga dapat menjadi simbol perlawanan terhadap pengaruh Barat. Oleh karena itu, keroncong dan genre musik serupa dikenal dengan istilah “orkes Melayu,” istilah yang masih digunakan hingga sekarang.

Popularitas Musik Melayu

Selama periode revolusi kemerdekaan, musik keroncong dan variasinya bersaing dengan mars nasionalis dan lagu-lagu perjuangan pada masa itu. Meskipun demikian, keroncong beberapa kali dipadukan dengan lagu-lagu nasionalis, seperti yang dilakukan oleh Brigjen Rudi Pirngadie (1918-1973).

Baca juga: Pasang Surut Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Pada tahun 1950-an, musik keroncong tradisional perlahan-lahan digantikan oleh musik Melayu modern yang sangat dipengaruhi oleh orkestrasi Barat serta irama samba dan rhumba. Seiring masuknya periode Demokrasi Terpimpin, keroncong yang mengalami modernisasi menjadi lebih borjuis dan terpengaruh oleh musik luar negeri, kehilangan identitasnya sebagai “musik rakyat”.

Sebagai respons, musisi mulai mencari suara yang lebih orisinal dan menonjolkan keindonesiaan. Mereka menemukannya dalam tradisi orkes Melayu yang terus berkembang di luar ibu kota dan jauh dari kritikus musik.

Penyanyi dan aktor Malaya, P. Ramlee, menjadi pelopor dalam mempopulerkan orkes Melayu sebagai musik rakyat melalui film Djuwita (1952). Dalam film musikal tersebut, Ramlee sering menyanyikan lagunya di tengah latar belakang pedesaan dan kawasan perkotaan yang kurang bersih.

Langkah serupa kemudian diikuti oleh musisi Indonesia, Said Effendi, yang menciptakan film musikal Serodja (1959). Kepopuleran Said Effendi meningkat sejak saat itu, bersama dengan komponis dan penyanyi lain seperti A. Chalik, Husein Bawafie, dan Husnah Thahar.

Musisi berpengalaman ini kemudian ditambah dengan kehadiran penyanyi energik dari Jakarta, Ellya Khadam (1928-2009). Ia terkenal dengan gaya bernyanyinya yang kuat dan mampu memasukkan irama musik baru dengan memadukan film-film India yang sedang tren di bioskop Indonesia saat itu. Lagu-lagunya sering diiringi oleh kendang, suling, dan kecapi khas India.

Ellya 1
Poster lagu Ellya. Soundcloud

Ellya memasukkan dinamika dan sensualitas yang unik ke dalam musiknya. Ini terlihat dalam penampilannya, terutama saat membawakan lagu “Boneka dari India” (1956) karya Husein Bawafie. Lagu ini dianggap sebagai lagu dangdut pertama, meskipun istilah “dangdut” belum diciptakan pada saat itu.

Meskipun musik Melayu belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat kelas atas yang lebih suka mengikuti tren musik internasional, genre ini berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat akan musik yang dekat dengan rakyat dan memberikan alternatif terhadap musik pop Barat. Pada dekade 1960-an, musik pop sendiri mendapat kritik dari kelompok-kelompok kiri dan nasionalis sebagai musik dekaden dan tidak sesuai dengan jati diri bangsa.

Era Baru: Demam Dangdut di Indonesia

Sayangnya, setelah peristiwa 1965, kemajuan musik Melayu sempat terhenti karena gelombang musik Barat yang membanjiri pasar Indonesia. Era Orde Baru tidak hanya membuka pintu bagi investasi Barat, tetapi juga memperkenalkan musik Barat, terutama pop dan rock, ke Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya pengaruh musik Barat, beberapa musisi mulai mencoba menggabungkannya dengan musik Melayu-Deli dan keroncong dalam karya-karya mereka. Hetty Koes Endang, Broery Pesolima, Titi Qadarsih, dan Emilia Contessa terkenal karena bakat mereka dalam menciptakan harmoni ini.

Namun, kendati enak didengar, musik sintetis ini dianggap kurang memiliki unsur orisinalitas tertentu. Melodi dan liriknya terlalu mencirikan aura kelas menengah. Tidak heran musik ini dijuluki sebagai “Melayu Mentengan”.

Di tengah fenomena ini, muncul seorang musisi muda dari daerah Tebet yang dikenal dengan nama Oma Irama, yang kemudian berganti menjadi Rhoma Irama. Ia menyadari bahwa musik Melayu mulai kehilangan orisinalitasnya. Pada tahun 1968, ia bergabung dengan Orkes Melayu Purnama dan bertemu dengan Elvy Sukaesih. Keduanya kemudian mengembangkan pendekatan baru terhadap musik Melayu yang lebih segar.

Oma Irama dan Elvy Sukaesih kini dikenal sebagai Raja dan Ratu Dangdut
Oma Irama dan Elvy Sukaesih kini dikenal sebagai Raja dan Ratu Dangdut. Discogs

Rhoma memiliki visi agar musik baru ini dapat disukai oleh banyak orang, melewati batas-batas kelas, dan mampu menarik perhatian orang Indonesia dari berbagai kalangan. Musik ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada pendengarnya, meskipun sederhana, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak muda di mana pun.

Selain itu, musik baru ini tidak boleh terpengaruh oleh gaya Barat atau musik Melayu-Deli yang sudah banyak dipengaruhi oleh elemen-elemen Arab dan India. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan karakter Indonesia yang khas.

Gagasan besar ini tentu saja tidak terwujud dalam semalam. Oma harus melewati serangkaian uji coba sebelum akhirnya membentuk Soneta pada tahun 1971. Meskipun pada dasarnya masih dianggap sebagai orkes Melayu, kelompok ini, pada tahun-tahun awal pendiriannya, berusaha untuk keluar dari norma-norma yang telah ada dalam orkes Melayu.

Soneta memberikan Oma ruang kreatif dan kemandirian finansial yang lebih luas untuk bereksperimen. Dengan Elvy Sukaesih sebagai mitra bernyanyi utamanya, keduanya memanfaatkan popularitas mereka dan mulai menggagas ide-ide baru.

Upaya ini tidak sia-sia. Pada awal pembentukan Soneta, Oma dan Elvy berhasil memvariasikan instrumen dan frase dalam lagu-lagu mereka, menghasilkan lebih banyak variasi dalam nada dan karakter daripada yang ditampilkan oleh orkes Melayu pada umumnya. Ketukan dasar khas musik ini juga diolah dengan cermat untuk memberikan nuansa yang lebih hidup dan ekspresif daripada model musik India.

Pada tahun 1975, musik baru ini mulai menunjukkan karakteristiknya yang unik. Melalui gaya yang energik, lagu-lagu Melayu dinyanyikan dengan irama yang cair dan melodi yang khas. Beberapa perubahan dalam instrumentasi, seperti penggunaan gitar listrik, organ, dan mandolin, memberikan sebagian efek ini. Namun, di antara alat musik tersebut, gendang menjadi yang paling menonjol, terutama dengan fungsi barunya yang dimainkan saat jeda.

dangdut
Pentas dangdut. Khastara Perpusnas

Jenis musik ini sangat khas dan dapat dirasakan oleh pendengarnya. Jika musik Melayu biasanya dicirikan oleh ketukan kaki, dangdut mendorong pendengarnya untuk bergoyang mengikuti alunan musik. Gerakan ini menjadi ciri khas di setiap penampilan Soneta; hampir di setiap kesempatan, Rhoma dan Elvy mengajak penonton untuk bergoyang.

Namun, penggemar musik ini tidak hanya menikmati iramanya, tetapi juga lirik-liriknya. Meskipun sederhana, lirik-lirik ini mencerminkan pengalaman dan emosi masyarakat Indonesia pada waktu itu.

Popularitas dangdut melejit pada akhir 1970-an, terutama setelah banyak film dangdut diputar di bioskop. Film-film yang dibintangi Rhoma Irama, menurut William H. Frederick, bahkan mencapai 15 juta penonton pada 1978-1979 saja. Sejumlah pengamat menganggap dangdut sangat cocok dengan selera masyarakat Indonesia, sedangkan yang lain menilai popularitasnya terkait erat dengan karakter egaliter yang dimilikinya.

Beberapa orang menyimpulkan bahwa gaya dangdut, berdasarkan apa yang direfleksikannya dan dibawakannya, lebih cocok dengan karakter nasional atau “wajah Indonesia” yang dicari-cari.

Namun, di balik demam dangdut yang melanda Indonesia, ada pula yang tidak menyukai musik ini. Menteri Pendidikan saat itu, Daud Jusuf, menyatakan bahwa dangdut hanyalah musik urakan. Beberapa pengamat menyalahkan perusahaan media karena mempopulerkan musik ini, yang dianggap merusak selera masyarakat.

Meskipun mendapat pro dan kontra, popularitas dangdut terus berkembang. Selain sebagai hiburan, dangdut mulai dijadikan saluran untuk menyampaikan dakwah Islam.

Pada era 1980-an, suara perempuan menjadi fokus utama dalam setiap pertunjukan dangdut, mencerminkan perubahan dalam representasi dan peran perempuan yang sebelumnya jarang terdengar di ruang publik.

Selama satu dekade berikutnya, pejabat pemerintah dan media nasional menetapkan dangdut sebagai genre musik nasional dengan potensi untuk menyentuh berbagai kalangan.

Referensi

Frederick, W. H. (1982). Rhoma Irama and the dangdut style: Aspects of contemporary Indonesian popular culture. Indonesia, (34), 103-130.

Lockard, C. (1998). Dance of life: Popular music and politics in Southeast Asia. University of Hawaii Press.

Simatupang, L. (1996). The development of dangdut and its meanings: A study of popular music in Indonesia (Doctoral dissertation, Monash University).

Weintraub, A. N. (2010). Dangdut stories: a social and musical history of Indonesia’s most popular music. Oxford University Press.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *