Pada tahun 1733, sebuah penyakit misterius (malaria) tiba-tiba menghantui penduduk Batavia. Dalam waktu singkat, satu per satu orang menjadi korban penyakit ini.
Penguasa Batavia saat itu, VOC, dibuat kelimpungan lantaran mayoritas korban adalah pegawainya. Krisis tenaga kerja sempat dialami oleh VOC. Pasalnya, tenaga kerja baru yang didatangkan dari Belanda juga menjadi korban malaria.
Alhasil, kegiatan usaha perusahaan ini pun menjadi kacau balau. Banyak pos-pos militer kosong, kapal kekurangan awak dan jadwal pengiriman kargo yang terganggu. Kerugian besar pun pada akhirnya tidak dapat dihindari.
Story Guide
Munculnya “Penyakit Misterius”
Pada awalnya, Batavia dirancang sebagai replika kota Eropa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Kota ini dilengkapi infrastruktur bergaya Eropa, termasuk tembok tinggi, gerbang, kincir angin, dan sistem kanal.
Bagian tepi laut ditandai dengan keberadaan Kasteel, sebuah benteng besar yang menjadi pusat pemerintahan. Di tempat inilah segala kegiatan perdagangan VOC terorganisir selama dua abad.
Kota tua ini memiliki ukuran sekitar 1,5 kilometer persegi dan dikelilingi oleh tembok. Namun, di luar tembok, terdapat area pemukiman yang luas dan di sekitarnya terdapat rumah-rumah pedesaan yang memukau dengan jalan-jalan yang indah.
Menurut standar masa itu, Batavia dianggap sebagai kota yang cukup besar; sekitar 20.000 orang tinggal di dalam tembok, dan sekitar 100.000 orang lainnya tinggal di luar tembok kota.
Sebelum tahun 1733, kota Batavia bisa dikatakan sebagai kota yang sehat, dengan tingkat kematian sekitar 500-700 pegawai VOC setiap tahunnya. Namun, setelah tahun tersebut jumlah tersebut meroket ke angka 2000-3000 pegawai tiap tahunnya.
Yang menarik, tingkat kematian yang tinggi ini didominasi oleh pegawai yang baru saja tiba dari Eropa. Sebelum tahun 1733, hanya 6% dari pendatang yang meninggal dalam tahun pertamanya, tetapi setelah tahun tersebut presentase meningkat tajam mencapai lebih dari 50%. Penyakit yang dianggap misterius ini meneror orang Eropa atau bumiputra tanpa pandang bulu.
Disentri, malaria, dan tifus sering dituding sebagai penyebab meroketnya tingkat kematian di Batavia pada tahun 1733. Namun, dari ketiga penyakit ini, malarialah yang patut dicurigai sebagai penyebab utama.
Baca juga: Wabah Kolera di Batavia
Malaria mewakili karakteristik dari dokumen-dokumen VOC yang dibuat pada tahun itu. Pertama, orang yang pernah terjangkit dan selamat memiliki kekebalan terhadap penyakit ini. Mereka yang bertahan sering menderita gejala yang mirip dengan malaria cachexia. Penyakit ini juga bersifat musiman dan terbatas di lokasi tertentu, khususnya sepanjang pesisir. Orang yang aktif di sore dan malam hari cenderung menjadi korban penyakit ini.
Kepanikan di Batavia
Selama periode ekspansi, malaria bisa dikatakan sebagai musuh bebuyutan orang Eropa. Setiap kali penyakit ini merebak, tingkat mortalitas tinggi selalu mengikuti. Fenomena ini akhirnya membentuk citra orang Eropa di daerah tropis, yakni sebagai individu yang mudah sakit berbeda dengan penduduk bumiputra yang terlihat lebih sehat.
Menurut laporan pedagang VOC, J.A. Paravicini, kebanyakan orang Eropa yang hidup di Batavia pra-1733 memiliki gaya hidup yang tidak teratur. Kendati demikian, mereka tetap mempunyai kulit yang sehat dan segar.
Namun, setelah tahun 1733, mayoritas orang Eropa terlihat kurus dan pucat seperti hantu. Tubuh mereka rentan terserang penyakit dan menjadi sangat tergantung pada obat-obatan.
Paravicini juga melaporkan bahwa sebagian besar pegawai di kantor-kantor VOC tampak sekarat dan seperti hantu. Nasib serupa juga menimpa para serdadu, pengrajin, dan pelaut. Gejala-gejala itu merupakan ciri dari malaria cachexia, yang meliputi anemia dan kulit pucat yang khas.
Meskipun begitu, dalam dokumen periode yang sama disebutkan kalau penderita cachexia secara bertahap kebal terhadap infeksi malaria. Gubernur Jenderal Jacob Mossel menekankan bahwa para penderita gejala ini membutuhkan waktu untuk pulih seperti sedia kala.
Proses untuk mendapatkan kekebalan ini memerlukan waktu yang cukup lama, sekitar 5-10 tahun. Karena itu, yang memiliki kekebalan cenderung adalah pegawai senior yang telah bertugas selama beberapa kontrak, bukan orang-orang baru.
Dampak wabah malaria di Batavia sangat serius, terutama dalam kegiatan bisnis VOC. Penyakit tersebut tidak hanya membuat separuh pegawai baru VOC meninggal, tetapi juga membuat pegawai yang selamat menjadi lemah dan sakit-sakitan. Untuk menggantikan pegawai yang meninggal tentunya membutuhkan biaya besar dan kesulitan itu dialami selama bertahun-tahun.
Lonjakan Kasus Malaria
Malaria sebenarnya bukan penyakit baru di Batavia. Bahkan, Bontius (1630) telah mencatat bahwa sebagian penduduk Batavia menderita demam tertiana atau demam yang berulang karena infeksi malaria vivax atau falciparum.
Karena malaria sudah dikenal sebelumnya, lonjakan kasus yang terjadi pada tahun 1733 dianggap memiliki penyebab spesifik yang memicu peningkatan kasus tersebut. Van der Brug (1997) mencurigai lonjakan kasus malaria terjadi bersamaan dengan meningkatnya tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles sundaicus.
Berdasarkan laporan Jawatan Kesehatan pada 1918, kasus malaria di Batavia hampir seluruhnya disebabkan oleh nyamuk Anopheles sundaicus, yang membiak di tambak-tambak ikan di pesisir sebelah utara kota. Tambak-tambak ikan tersebut memiliki air payau, tidak mengalir, dan ditumbuhi alga, sehingga ideal bagi pertumbuhan larva nyamuk ini.
Keberadaan tambak-tambak di daerah pesisir bukanlah hal baru. Sebelum era kolonial, penduduk setempat sudah memiliki keterampilan dalam membuat tambak. Mereka membuat tambak di daerah pesisir datar dan berlumpur, yang terhubung dengan laut melalui kanal-kanal kecil.
Pada abad ke-18, kompleks tambak ikan payau yang luas berada di sebelah utara kota, dekat dengan tembok kota. Luas tambak ikan ini mencapai 800×1000 meter atau sekitar setengah dari luas kota yang terletak di dalam tembok.
Pembangunan besar tambak-tambak ikan ini terjadi pada saat yang sama dengan pendirian pemukiman Jawa di pesisir pantai yang mengalami pendangkalan. Izin pendirian pemukiman ini diberikan oleh Gubernur Jenderal pada 13 Desember 1729.
Frederik Julias Coyett, anggota Dewan Hindia, menjadi orang yang mengusulkan pendirian pemukiman itu. Sebelum tahun 1729, pendirian pemukiman di daerah pesisir dilarang karena dikhawatirkan dapat menjadi basis penyelundupan.
Setelah keputusan tersebut diambil, para penduduk Jawa mulai bermigrasi dan menghuni lokasi tersebut. Penggalian tambak ikan pun menjadi tidak terhindarkan karena menjadi bagian penting dari kegiatan ekonomi sehari-hari.
Selama abad ke-18, tambak-tambak ikan diperluas hingga mendekati wilayah pantai. Perluasan ini menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi kesehatan di Batavia pada masa itu.
Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak pernah mengira kalau tambak-tambak ikan menjadi ancaman besar bagi kesehatan mereka. Malahan, pejabat VOC menganggap tambak-tambak ini bermanfaat karena diyakini membantu mengurangi dampak dari uap tidak sehat yang mungkin muncul di daerah tersebut.
Baca juga: Bagaimana VOC Menangani Banjir di Batavia?
Sebagai hasilnya, pejabat VOC terus mengusulkan penggalian lebih banyak kolam agar kota menjadi lebih sehat. Sayangnya, pemahaman tersebut tetap dipertahankan hingga abad berikutnya, terbukti dari adanya usulan serupa pada tahun 1850.
Dampak dari pemahaman yang keliru terhadap tambak-tambak ikan dan ketidaktahuan tentang penyakit malaria membuat kota Batavia dianggap semakin tidak sehat. Pasca tahun 1733, banyak orang memilih untuk meninggalkan kota karena kondisinya yang semakin tidak menguntungkan.
Orang-orang yang berasal dari ekonomi berada memilih pindah ke pedesaan, beberapa kilometer di selatan kota. Menariknya, orang-orang yang pertama kali meninggalkan kota ini adalah para anggota Hoge Regering (Pemerintah Agung), yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan tersebut.
Fenomena ini mengakibatkan menurunnya aktivitas perdagangan dan lapangan kerja di Batavia. Pada akhir abad ke-19, kawasan Kota Tua berubah menjadi layaknya kota mati. Orang-orang pada masa itu menggambarkannya sebagai koloni miskin yang suram.
Referensi
Horton, W. B. (2021). Medicine and Money: Advertising for Malaria Medicines in the Final Years of the Netherlands East Indies. Memoirs of Faculty of Education and Human Studies Akita University Humanities and Social Sciences, 76, 69-78.
Marbun, D. S., & Zein, U. (2020). Malaria in the Dutch East Indies: a study on indigenous health during colonial times. In Proceedings of the 7th International Conference on Multidisciplinary Research (ICMR 2018) (pp. 123-7).
Nawiyanto, N. (2018). THE PROBLEM OF MALARIA AND ITS ERADICATION IN THE EXTREME SALIENT OF JAVA DURING THE DUTCH COLONIAL ERA. Paramita: Historical Studies Journal, 28(2), 174-183.
Overbeek, J. K., & Stoker, W. J. (1938). Malaria in Nederlandsch-Indie en hare bestrijding. Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid Meded in Nederlandsch-Indie, 28, 183-205.
Van Breeman, M. L. (1918). De verbreiding van malaria in Weltevreden en Batavia. Geneeskundig tijdschrift van Nederlandsch-Indie, 58, 623-661.
van den Brug, P. H. (1997). Malaria in Batavia in the 18th century. Tropical Medicine & International Health, 2(9), 892-902.