Batavia sempat dijuluki the Queen of the East, tetapi masalah banjir di Batavia yang tidak kunjung selesai membuat kota tersebut disebut sebagai the Graveyard of the West’.
Banjir di Batavia
Banjir merupakan masalah lama di Batavia. Dalam Prasasti Tugu abad ke-5 dijelaskan bahwa banjir telah menjadi masalah cukup serius bagi penduduk wilayah ini. Untuk mengatasinya, penduduk berupaya membuat kanal.
Banjir besar pertama yang tercatat terjadi pada tahun 1621, tepatnya tiga tahun setelah VOC (Vereenigde Oost-Indische) menaklukkan Batavia. Setelah bencana ini terjadi, Kompeni segera membangun sistem kanal di Batavia.
Orang Belanda yang berpengalaman menangani banjir, membuat sistem kanal yang sangat mirip dengan kota Amsterdam. Di samping untuk mengatasi banjir, Batavia kala itu memang diproyeksikan sebagai kota yang keindahannya sebanding kota-kota Eropa.
Kanal-kanal ini menjadi satu-satunya sarana transportasi dan daya tarik bagi orang-orang Eropa untuk tinggal di sepanjang kanal. Dalam kurun waktu 30 tahun pendudukan, lebih dari lima kanal seluas 1,3 kilometer persegi dibangun di wilayah Batavia.
Namun, sistem kanal secara perlahan malah menimbulkan gangguan pada arus sungai, yang berakibat pada munculnya banyak endapan sendimen. Letusan Gunung Salak pada tahun 1654 membawa endapan lumpur dalam jumlah besar yang menyumbat aliran air. Pada akhirnya, air sering kali naik lebih tinggi dari permukaan kota.
Setelah gempa bumi besar pada tahun 1699, Sungai Ciliwung mengubah jalurnya dan membawa tanah dalam jumlah besar hingga menyumbat kanal-kanal. Kondisi ini diperparah dengan pembukaan lahan pertanian di dataran tinggi secara masif dan pasir yang dibawa oleh air pasang, yang pada akhirnya menutup muara sungai.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, dalam waktu singkat kanal-kanal di Batavia tersumbat sampah dan limbah yang dibuang ke sungai, termasuk limbah tebu dari perkebunan gula di daerah hulu. Limbah tersebut mengganggu aliran sungai dan berakhir di kanal-kanal di depan rumah-rumah penduduk Batavia.
Meskipun kondisi sungai terus memburuk, tetapi tidak ada perhatian khusus pada hal ini. Perhatian baru muncul pada tahun 1718, tatkala VOC mempekerjakan 100 budak untuk membersihkan lumpur dari kanal-kanal. Akan tetapi, pekerjaan tersebut dihentikan karena lumpur yang tidak ada habisnya.
Walaupun sistem kanal memiliki banyak kekurangan, tetapi Kompeni masih menganggap itu sebagai solusi terbaik untuk mengatasi banjir. Pada tahun 1725, serangkaian kanal banjir kembali dibangun di sebelah barat kota.
Malapetaka Akibat Banjir
Kondisi lingkungan yang buruk memunculkan berbagai masalah kesehatan serius. Pada akhir abad ke-17, sekitar 4000 budak harus diimpor untuk menggantikan pekerja yang meninggal.
Kematian mereka disebabkan oleh penyakit yang ditularkan lewat air, seperti disentri, kolera, dan tifus. Penyakit-penyakit ini muncul karena orang Batavia sering mengambil air minum dan mandi dari kanal yang sama dengan tempat mereka membuang hajat.
Pada tahun 1732, sebuah kanal panjang yang disebut Mookervaart (aliran utama) digali di Ommelanden (daerah di luar tembok Batavia) untuk menyediakan sumber air yang lebih baik bagi warga Batavia. Pasokan air meningkat tetapi genangan air tetap ada. Pada musim kemarau, genangan air ini menjadi tempat perkembangbiakan Anopheles Sundaicus, nyamuk malaria.
Setahun kemudian, wabah malaria melanda Batavia hingga menyebabkan lebih dari 1000 orang meninggal dunia. Orang Eropa menjadi korban terbanyak penyakit ini, sementara orang Tionghoa dan Indonesia tidak terlalu terpengaruh.
Banyaknya orang Eropa yang menjadi korban malaria, diperkirakan akibat letak hunian mereka yang berdempetan di sepanjang tepi kanal. Serangkaian kematian akibat malaria mencapai puncaknya pada tahun 1775 setelah lebih dari 3000 orang meninggal akibat penyakit tersebut. Peristiwa ini turut mengubah julukan Batavia dari “The Queen of the East ” menjadi “The Graveyard of the West’”.
Kendati banjir dan wabah malaria ini tergolong bencana besar, tetapi tidak ada kebijakan signifikan yang diambil Kompeni untuk mengatasi krisis yang sedang berlangsung. Ada beberapa alasan yang menyebabkan hal ini terjadi.
Pertama, Batavia didirikan sebagai pelabuhan dagang, bukan sebagai koloni; hanya kebijakan-kebijakan yang mendukung fungsi tersebut yang diupayakan.
Kedua, VOC adalah pengelola tunggal kota ini. Perusahaan ini menetapkan kebijakan untuk memisahkan masyarakat Batavia; hanya mereka yang bekerja untuk perusahaan yang diikutsertakan dalam urusan sosial. Kebijakan ini tidak mencakup sebagian besar masyarakat, termasuk yang disebut sebagai warga negara swasta (orang Eropa yang tidak bekerja untuk perusahaan), orang Tionghoa, dan bumiputra.
Ketiga, persetujuan dari pemerintah Belanda diperlukan untuk kebijakan-kebijakan strategis Batavia. Prosedur ini pada akhirnya menciptakan jeda waktu yang cukup lama antara peristiwa dan respon kebijakan. Beberapa elit VOC mengusulkan pembentukan dewan kota (vroedschap), tetapi upaya itu tidak berhasil.
Daftar Pustaka
Abeyasekere S. (1989). Jakarta: A History. Singapore: Oxford University Press.
de Haan F. (1935). Oud Batavia. Bandung: A.C.Nix.
Gunawan R. (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas.
Kanumoyoso B. (2011). Beyond the City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684–1740. Leiden: Leiden University.
Octavianti, T., & Charles, K. (2019). The evolution of Jakarta’s flood policy over the past 400 years: The lock-in of infrastructural solutions. Environment and Planning C: Politics and Space, 37(6), 1102–1125.
Vlekke, B. (2018). Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.