Perjuangan perempuan Indonesia untuk bisa mengatur jumlah anak dan jarak kelahiran (keluarga berencana) membutuhkan waktu panjang. Pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan, tekanan sosial dan budaya, serta ketidaksetujuan dari pemerintah saat itu, membuat perempuan harus memimpin perjuangan ini sendiri.
Pembentukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menjadi suatu titik balik penting dalam perjalanan perjuangan ini. Meskipun dihadapkan pada minimnya dukungan dari politisi dan akademisi pada waktu itu, para perempuan yang terlibat dalam PKBI berhasil menginisiasi lembaga-lembaga swadaya untuk memberikan edukasi mengenai keluarga berencana.
Story Guide
Kemunculan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
Tatkala ide keluarga berencana muncul, negara tidak serta merta mendukungnya. Sebaliknya, negara malah berdiri menentang kontrasepsi.
Akibatnya, langkah praktis pertama menuju program Keluarga Berencana (KB) nasional tidak diinisiasi oleh para politisi dan intelektual, melainkan oleh pemimpin masyarakat dan organisasi perempuan yang berpengaruh.
Meskipun kebijakan KB awalnya dianggap kontroversial, para perintis ini melihat kebutuhan akan layanan bagi individu tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masalah kependudukan negara.
Pada tahun 1952, seorang dokter wanita di Yogyakarta memberikan siaran yang menganjurkan kontrasepsi, yang kemudian memicu reaksi keras dari pers dan surat teguran kepada stasiun radio tersebut.
Kendati menghadapi intimidasi, Lembaga Kesejahteraan Keluarga berdiri di Yogyakarta pada tahun yang sama, bertujuan memberikan informasi tentang kesehatan ibu, anak, dan jarak kelahiran. Langkah berani ini diikuti oleh kota-kota lain.
Pada tahun 1957, organisasi-organisasi terpisah tersebut digabungkan menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Meskipun tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah, PKBI meluaskan layanannya sebelum terputus oleh gejolak politik dan ekonomi pada pertengahan tahun 1960-an, yang berakhir dengan peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada bulan Maret 1966.
Baca juga: Kemunculan Alat Kontrasepsi Modern di Indonesia
Pergantian pemerintahan ini menandakan perubahan sikap pemerintah dari sikap abai terhadap kontrasepsi menjadi mendukung secara halus. Perubahan ini juga membebaskan PKBI dari tekanan rezim sebelumnya. Dengan begitu, PKBI dapat membuka kembali klinik-kliniknya dan dalam dua tahun berikutnya, memimpin jalan menuju adopsi Keluarga Berencana sebagai kebijakan resmi pemerintah.
Program Keluarga Berencana
Pemerintah Orde Baru sangat berhati-hati dalam merumuskan program keluarga berencana. Pada tahun 1967, Soeharto bersama 29 pemimpin dunia lainnya menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjamin bahwa jumlah dan jarak kelahiran anak adalah hak asasi manusia. Komitmen terhadap upaya pengendalian kelahiran ini ditegaskan kembali dalam pidato hari kemerdekaan.
Meskipun demikian, usulan awal untuk membentuk komite keluarga berencana nasional di tingkat kabinet ditolak dan diganti dengan komite Ad Hoc yang lebih bersifat penasehat. Laporan komite pada Februari 1968 merekomendasikan pembentukan program keluarga berencana nasional, dengan fokus pada distribusi kontrasepsi di Jawa dan Bali.
Jawa dan Bali sudah dianggap masyarakat sebagai daerah padat penduduk, sehingga hanya sedikit perdebatan mengenai strategi untuk membatasi program di kedua pulau ini.
Awalnya, program KB direncanakan melalui tiga tahap, dimulai dari kota besar, kota kecil, dan baru masuk ke daerah pedesaan. Namun, Komite Ad-Hoc menggantinya dengan pergerakan simultan di daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa dan Bali. Keputusan ini didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat miskin di pedesaan memiliki tingkat kesuburan paling tinggi.
Sayangnya, asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Kajian menunjukkan bahwa perbedaan fertilitas antara daerah perkotaan dan perdesaan di Indonesia tidak terlalu besar.
Di samping itu, penduduk miskin di pedesaan juga memiliki fertilitas lebih rendah dibandingkan dengan penduduk desa yang mampu dan penduduk perkotaan secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena banyaknya kasus perceraian atau masih maraknya penggunaan metode kontrasepsi tradisional.
Ironisnya, kampanye program KB di perkotaan awalnya menuai kegagalan. Penduduk kota, yang diharapkan menjadi contoh utama, justru tidak mudah menerima program tersebut.
Baca juga: Bagaimana Penduduk Indonesia Pramodern Membatasi Angka Kelahiran
Penelitian di Jakarta dan kota Yogyakarta menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi modern di kalangan perempuan kelas menengah dan elit lebih rendah dibandingkan dengan perempuan kelas bawah di daerah pedesaan.
Mengikuti rekomendasi Komite Ad Hoc, Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) didirikan berdasarkan Ketetapan Presiden pada Oktober 1968. LKBN pertama kali beroperasi di ruangan kecil di Kementerian Kesehatan dan secara bertahap mengambil alih tanggung jawab yang sebelumnya merupakan domain eksklusif PKBI.
Beberapa bulan kemudian, perkumpulan PKBI secara sukarela menyerahkan sebagian besar peralatan kliniknya kepada Kementerian Kesehatan. Pada bulan September 1969, LKBN bertanggung jawab atas semua layanan keluarga berencana untuk Jawa dan Bali.
Kendati demikian, PKBI tetap memegang peran sentral dalam melakukan pelatihan, penelitian, dan evaluasi, menstimulasi motivasi massa, dan terus menyediakan layanan di pulau-pulau lain.
Hingga tahun 1969, LKBN berhasil memperoleh dukungan dari para pemuka agama Islam untuk mempromosikan program keluarga berencana. Meskipun begitu, lembaga ini masih bersifat semi-resmi dan secara teknis melanggar kebijakan Soekarno yang melarang distribusi atau iklan alat kontrasepsi.
Sementara itu, komitmen pemerintah terhadap program KB semakin meningkat, terbukti dengan penambahan bagian program ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama dan pidato pembukaan Presiden Suharto pada konferensi International Planned Parenthood International.
Dukungan Penuh Negara
Titik balik dalam kebijakan pemerintah terjadi pada 1969, ketika tim yang disponsori oleh PBB, Bank Dunia, dan WHO tiba di Indonesia untuk menilai pencapaian program KB. Hasilnya mengecewakan sehingga tim tersebut menyarankan keterlibatan pemerintah dalam skala besar untuk menyukseskan program KB.
Komitmen resmi sepenuhnya terhadap keluarga berencana muncul pada tahun 1970. Keputusan Presiden pada bulan Januari, Mei, dan Juni mengubah LKBN menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Badan ini melapor langsung kepada Presiden dan bertanggung jawab penuh atas semua kegiatan keluarga berencana pemerintah.
Semenjak saat itu keluarga berencana menjadi bagian integral dari upaya pembangunan Indonesia, dan keberhasilannya atau kegagalannya dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam menentukan reputasi pemerintah, baik di dalam maupun di luar negeri. Manfaat keluarga berencana mungkin masih bersifat ekonomi dan sosial, tetapi pertaruhannya jelas bersifat politis.
Referensi
Hull, T. H., Hull, V. J., & Singarimbun, M. (1977). Indonesia’s family planning story: Success and challenge. Population Reference Bureau.
Hull, T. (1999). Indonesian fertility behaviour before the transition: search for hints in the historical record.
Cleland, J. (2009). Contraception in historical and global perspective. Best practice & research Clinical obstetrics & gynaecology, 23(2), 165-176.
Potts, M., & Campbell, M. (2002). History of contraception. Gynecology and Obstetrics, 6(8), 1-23.