Pada perkembangan Historiografi Islam periode awal, para sejarawan selain menulis sejarah pada masa Islam mereka juga menulis sejarah pada masa sebelum Islam dengan metode seperti mencari sumber sejarah dari hadis (metode itu dinamakan dengan metode riwayat), metode penulisan ini bertahan dari abad 1-3 H. Pada masa transisi metode penulisan riwayat ke dirayah (menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan secara langsung dari satu segi, dan interpretasi rasional dari segi lain) ada tokoh terkenal yang mempertahankan metode riwayat, yaitu Imam Al-Thabari.
al thabari Seorang ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu (polymath) dan oleh banyak orang digelari sebagai seorang sejarawan besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli qira’at, ahli hadis, dan ahli fiqih. Ia adalah tokoh terakhir yang mempertahankan metode riwayat dalam penulisan sejarah Islam, alasanya ia ingin menyampaikan sejarah seotentik mungkin dengan tidak merubah redaksi dan mempertahankan sanad sebagai acuannya. Selain itu, ia berpendapat bahwa berita orang-orang masa lalu, dan berita orang-orang masa kini, tidak akan sampai pada orang-orang yang tidak menyaksikannya dan tidak mengetahui masa mereka, kecuali lewat berita para pemberi berita dan penuturan para penutur, tanpa mendeduksikannya lewat logika dan pikiran. Pada pembahasan ini kita akan menelusuri lebih jauh mengenai historiografi Al-Thabari, mulai dari biografi hingga kontribusinya.
Biografi Imam Al-Thabari
Nama lengkap Imam Al-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir bin Abu Ja’far al-Tabariat Tabari. Lahir di kota Amal, Thabaristan yang terletak di pantai selatan Thabaristan (Laut Qazwayn) pada tahun 224 H/839 M. Sifat fisik Imam Al-Thabari adalah berkulit sawo matang, bermata lebar, berbadan kurus dan tinggi, berbicara fasih, rambut dan jenggotnya berwarna hitam sampai meninggal. Biarpun pada rambutnya nampak ada sebagian uban, tetapi uban itu bukan karena semir atau pewarna lain.
Ia adalah seorang sejarawan besar, ensiklopedis, ahli tafsir, ahli qira’at, ahli hadis dan ahli fiqih. Banyak ulama di masanya dan sesudahnya memuji tentang dia, diantaranya:
Al-Khathib al-Baghdadi berkata, “Imam Al-Thabari adalah salah satu imam para imam yang kata-katanya sering dijadikan sandaran hukum, pendapat dan pengetahuan serta keutamaannya sering dijadikan rujukan. Selain itu, ia menguasai banyak ilmu yang tidak ada seorang pun ulama di masanya seperti dirinya. Dia mampu menghafal al-Qur’an berikut qira’atnya (cara membacanya) serta mengetahui makna beserta hukum-hukum yang dikandungnya. Dia juga menguasai hadis-hadis berikut jalur periwayatannya, sehingga dia dapat memilih mana yang termasuk hadis shahih dan mana yang tidak shahih serta dia juga memahami atsar sahabat dan sejarah peradaban manusia.
Al-Qifthi berkata, “Abu Ja’far Al-Thabari adalah sosok insan berilmu sempurna. Dia ahli fikih yang menguasai qira’at al-Qur’an, ahli nahwu dan bahasa, serta berkedudukan sebagai hafizh dalam bidang hadis dan ahli sejarah.
Ibnu Khalkan berkata, “Abu Ja’far Al-Thabari adalah seorang ulama besar yang telah mengeluarkan karya dalam bidang tafsir dan sejarah. Dia merupakan imam dalam berbagai disiplin ilmu yang ilmunya dituangkan dalam bentuk karya.
Semenjak kecil dia sudah mulai belajar ilmu-ilmu dasar di kota kelahirannya.[1] Karena berasal dari keluarga berada, dia mendapatkan fasilitas untuk melanjutkan studinya ke pusat-pusat studi di dunia Islam. Pusat studi pertama yang ia tuju adalah Rayy. Di sana ia berguru kepada Muhammad ibn Hamayd al-Razi (seorang sejarawan besar pada masanya). Setelah dari Rayy ia berpindah ke Baghdad dengan tujuan ingin berguru ke Imam Ahmad bin Hanbal (salah satu Imam mazhab yang empat), akan tetapi sebelum ia sampai di sana Imam Hanbali sudah wafat dan ia memindahkan tujuannya ke Bashrah serta Kufah. Di Kufah, ia berguru kepada Syakh Abu Kurayb dengan menimba 100.000 hadis darinya. Setelah dari sana, ia ke Baghadad dan menetap agak lama di sana. Pada tahun 261 H/876 M, ia pergi ke Fustat, Mesir dan tidak lupa singgah di Syria untuk menuntut ilmu hadis. Setelah tiba di Mesir, ia berguru ke al-Rabi, al-Muzni dan putra-putra al-Hakam dalam mempelajari fiqih Imam Syafi’I kemudian belajar qira’ah kepada Yunus ibn Abd al-A’la al-Shayrafi.
Imam Al-Thabari dalam mengisi kehidupannya, ia banyak mengumpulkan riwayat-riwayat Arab dan Islam dari satu tempat ke tempat lain.[2] Setelah itu, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Dalam kepribadian Imam Al-Thabari ia terkenal dengan sifatnya yang zuhud, wara’ dan akhlaknya yang mulia. Ketika ia tidak memiliki harta benda dan kesempatan untuk mendapatkan harta sangat mudah, ia memilih hidup sederhana.
Ia pernah berkata, dalam menggambarkan dirinya “Temanku biar kondisiku terjepit, tahukah aku bahagia karena aku tidak pernah menjerit. Perasaan maluku memenuhi muka, dengan lembut semua aku adukan kepada-Nya. Kalau rela mengemis dan meminta, bagiku kemuliaan dunia jalan terbuka. Selain itu dalam syairnya, “ Dua akhlak yang aku tidak suka, kaya sombong dan miskin mengiba. Jika anda kaya sombong janganlah ada, jika miskin tunggulah masa.”
Pada tahun 310 H/ 923 M Imam Al-Thabari meninggal. ketika itu, ia sedang berada di Baghdad. Salah satu muridnya pernah berkata tentang prosesi kematian gurunya. Ahmad Kamil berkata, “ Ibnu Jarir Al-Thabari meninggal pada waktu sore, hari Ahad dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 H. Dia di makamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, di Baghdad. Banyak sekali orang yang mengiringi jenazahnya. Shalat jenazah di kuburannya terjadi sampai berbulan-bulan, baik di waktu siang maupun di waktu malam. Para pujangga dan ahli agama banyak yang menangisi kepergiannya.” Sebelum wafat, ia berwasiat kepada para ulama yang meminta wasiatnya. Isi wasiatnya adalah, “Wasiatku kepada kalian adalah kerjakanlah apa-apa yang kutulis dalam kitab-kitab karyaku dan jangan menyalahinya. Perbanyak mengerjakan shalat dan berdzikir”.
Metode penulisan sejarah Imam Al-Thabari
Ketika kita mengetahui bagaimana biografi Imam Al-Thabari dan menganalisis isi karya-karyanya, terkhusus karya sejarah, kita bisa menyimpulkan metode yang digunakan Imam Al-Thabari dalam menulis sejarah. Metode penulisan sejarah Imam Al-Thabari antara lain:
-
Bersandar Kepada Riwayat
Kita mengetahui bahwa masa Imam Al-Thabari adalah masa di mana penlisan sejarah mulai mengalami masa transisi dari metode riwayat ke Dirayah. Salah satu tokoh terakhir yang mempertahankan metode riwayat adalah Imam Al-Thabari. Ia menyajikan kitab sejarahnya disandarkan kepada para perawi, alasanya bahwa sejarawan tidak otentik apabila hanya bersandar pada logika dan analogi.
Riwayat-riwayat yang diungkapkan Al-Thabari selalu disandarkan kepada periwayatnya langsung dan diupayakan agar tidak terputus sehingga menjadi sumber paling penting bagi para sejarawan yang mengkaji sejarah awal Islam. Maka tidak mengherankan jika Trevelyan (sejarawan Inggris) menyatakan bahwa catatan dan hafalan Al-Thabari mengenai berbagai riwayat merupakan kontribusi paling signifikan bagi peneliti di zaman modern.
Karena disandarkan kepada perawinya, maka di dalam kitabnya banyak informasi yang berbeda-beda tentang peristiwa yang sama. Dalam hal ini, Al-Thabari sendiri membiarkan para pembaca untuk menyeleksi, menilai dan memilih informasi-informasi yang disajikan itu. Tapi sayangnya pendekatan Al-Thabari dalam penulisan sejarah jika hanya berdasarkan riwayat tidaklah mencukupi.
-
Sangat Memperhatikan Sanad
Metode riwayat terkenal dengan ketelitian terhadap perawi dan sanadnya yang bersambung sampai ke tangan pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli hadis dalam meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah saw. Al-Thabari apabila mengutip informasi dari buku, ia akan menyebutkan pengarangnya misalnya, aw qal Muhammadd ibn Ishaq, aw qal al-Waqidi (berkata Ibn Ishaq atau berkata al-Waqidi) tetapi ia jarang sekali menyubut nama buku yang dikutipnya.
Sedangkan, apabila ia mendapat informasi yang didengarnya secara langsung, baik sendiri atau bersama maka dalam karyanya ia menulis: haddatsani fulan dan haddatsana fulan (si Fulan berkata kepadaku dan si Fulan berkata kepada kami). Kadang-kadang ia menyandarkan informasi yang dituangkan dalam karyanya berdasarkan hasil surat-menyurat, misalkan kataba ilayya al-Sadiyy’an fulan an fulan ila akhirih (al-Sadiyy menulis surat kepadaku, dari Fulan dari Fulan dan seterusnya). Kesemua itu menunjukan bahwa Al-Thabari dalam penulisan sejarahnya sangat memperhatikan keotentikan informasi dengan menulis sesuai informasi perawinya dan menghormati jasa para perawinya.
-
Sistematika Penulisan Bersifat Kronologi Berdasarkan Tahun (hawliyat, annalistic form)
Al-Thabari dalam penulisan sejarah sebelum Islam, baik berupa peristiwa atau tampuk kepemimpinan ia tidak menyusun berdasarkan tahun, karena hal itu diluar kemampuannya. Dalam kitabnya Tarikh al-Umam wa al-Muluk Ia memulainya dengan penciptaan Adam kemudian nabi-nabi, raja-raja dan peristiwa yang semasa dengan mereka, setelah itu ia menyebutkan tentang umat-umat yang tumbuh setelah para nabi sampai kelahiran Islam.
Setelah kedatangan Islam, sistematika penulisan dilakukan berdasarkan tahun ke tahun, sejak awal hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah sampai tahun 302 H/915 M. Pada setiap tahun disajikan peristiwa-peristiwa yang pantas disajikan.
-
Informasi yang Umum
Al-Thabari dalam menuliskan sejarahnya, bukan hanya berdasarkan waktu ia juga memasukan informasi-informasi yang sistematik dalam karyanya. Misalnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa khalifah tertentu, kemudian ia membicarakan sifat-sifat, akhlak dan keistimewaan-keistimewaan khalifah bersangkutan.
-
Menyajikan juga Teks-teks Sastra (Syair)
Al-Thabari dipandang banyak menyajikan teks-teks sastra, seperti syair, khitabah (pidato), surat-surat dan perbincangan-perbincangan dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Dalam hal ini, dia meniru para sejarawan dan sastrawan sebelumnya.
Kontribusi Imam Al-Thabari dalam bidang sejarah Islam
Dalam bidang sejarah ia dapat dibandingkan dengan Bukhari dan Muslim dalam bidang hadis. Salah satu karyanya Tarikh al-Umam wa al-Muluk secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sejarah sebelum Islam dan sejarah Islam kemudian bagian kedua yaitu sejarah kebudyaan Sasania (Persia). Pada bagia pertama, ia memulai sejarah para rasul dan raja-raja dengan mengetengahkan sejarah Nabi Adam dan nabi-nabi permulaan serta sistem pemerintahan mereka. Untuk bagian kedua, ia mengetengahkan sejarah kebudayaan Sasania dengan mengumpulkan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan sejarah Sasania, dikutipnya dari naskah berbahasa Arab yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa’. Dalam hal ini, Al-Thabari tidak banyak berusaha menganalisis kaitan sejarah antara satu peristiwa dengan peristiwa lain. Dia hanya mengumpulkan peristiwa-peristiwa itu (meskipun ada yang saling bertentangan) karena demikianlah informasi yang sampai kepadanya dan ia enggan mempertanggungjawabkan kebenaran peristiwa-peristiwa itu. Pada bagian ini, dia juga memaparkan sejarah bangsa Romawi, bangsa Yahudi dan bangsa Arab sebelum Islam.
Adapun pada bagian kedua, Al-Thabari memaparkan sejarah Nabi Muhammad Saw., peristiwa-peristiwa penting yang dilaluinya dan perang-perang yang dipimpinnya (al-Maghazi). Setelah itu ia memaparkan sejarah Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dan ekspansi-ekspansi yang terjadi pada masa itu. Selain sejarah Nabi dan Khulafa al-Rasyidun, dalam karyanya ia juga membahas sejarah dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Ia menggunakan metode hauliyat (periodesasi tahun) dari uraian sejarah Islam sampai uraian tahun 302 H/915 M.
Karya Al-Thabari yang berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau yang lebih dikenal dengan nama kitab Tarikh Al-Thabari dinilai sebagai karya pionir mengenai sejarah umum. Dengan karya ini Al-Thabari melengkapi tradisi yang dirintis oleh para pendahulunya yang menulis sejarah peristiwa, negara-negara, dan thabaqat, seprti Ibn Sa’ad, Al-Yaqubi, Ad-Dinawari, Al-Waqidi, Al-Baladzuri dan Ibn Ishaq. Seandainya karya-karya pendahulu tersebut tidak ditemukan lagi saat ini, maka karya ini telah memuat seluruh catatan mereka dan bisa dianggap sebagai pengantar sekaligus sumber primer bagi sejarawan berikutnya.
Selain kitab Tarikh Al-Thabari, ia juga menyusun kitab Tarikh al-Rijal (Sejarah Para Tokoh), dia sangat berjasa karena telah memberikan informasi-informasi penting tentang tokoh-tokoh perawi hadist. Kitab ini dikenal sebagai pelengkap dari kitab sejarahnya terdahulu.
[1]Imam At-Thabari ketika umur tujuh tahun sudah hafal Al-qur’an, telah shalat berjama’ah ketika umur delapan tahun dan menulis hadis di usia Sembilan tahun. Dahulu ayahnya pernah bermimpi melihat Rasulullah dan anaknya yang sedang membawa sekeranjang batu kemudian melemparkannya dihadapan Rasul. Lalu ahli tafsir mimpi berkata kepada ayahnya, “sesungguhnya anak ini, kelak setelah dewasa akan memelihara syariatnya”. Dari mimpi itulah, akhirnya ayahku membiayai diriku mencari ilmu. Padahal waktu itu aku baru kanak-kanak yang masih kecil. Lihat Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 604.
[2] Berdasarkan berita yang dapat dipercaya, Doktor Muhammad Az-Zuhaili berkata,“sesungguhnya semua waktu Imam At-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan yang jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dia tidak tinggal menetap kecuali setelah umurnya mencapai 35-40 than. Dalam masa ini, Imam at-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam rangka menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab. Lihat Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, hlm. 605.
Daftar Pustaka
Abdullah, Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern terj. Sudrajat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS. Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa, 2001.
Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf terj. Masturi Ilham dan Asmu’I Taman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Umar, Muin A. Pengantar Historiografi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Thanks to: Usman Abdurrahman