Ratu Adil adalah mitologi yang sakral di dalam masyarakat Indonesia. Ratu Adil berasal dari ramalan Jayabaya, yaitu pemimpin yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan rakyat makmur sejahtera. Namun, bagaimana jika mitologi tersebut justru dijadikan sebagai salah satu propaganda politik, seperti yang dilakukan oleh Westerling beserta Angkatan Perang Ratu Adil nya (APRA). Dengan menggunakan embel-embel Ratu Adil, Westerling mencoba mencari simpati rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Story Guide
Latar Belakang Pemberontakan APRA
Di antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) banyak yang tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu itu bernama RIS.
Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan.
Kecemburuan KNIL terhadap TNI semakin menjadi setelah diputuskan bahwa pimpinan APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah dengan sambutan rakyat yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI.
Pada titik inilah, kaum reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk terus menyebar hasutan guna merongrong pemerintah Indonesia.
Pada pertengahan November 1949, muncul seorang tokoh militer Belanda, Raymond Pierre Westerling, yang mulai menyusun kekuatan dengan menarik anggota KNIL yang didemobilisasikan.
Westerling dikenal sebagai seorang militer yang berpengalaman dan kejam. Perjalanan hidupnya di Indonesia diwarnai dengan genangan darah.
Pada awalnya, ia ditugaskan sebagai Kapten Tentara Kerajaan Belanda untuk melumpuhkan semangatjuang rakyat di Sulawesi Sealatan.
Kedatangannya di Sulawesi Selatan disertai 150 anggota Corps Speciale Troepen. Dalam melaksanakan tugasnya itu, ia membunuh 40.000 rakyat Sulawesti Selatan.
Selesai bertugas di Sulawesi, ia ditarik ke Jawa Barat sebagai pimpinan atas 1.500 orang Speciale Troepen.Westerling kembali melakukan pembantaian terhadap penduduk di Cibarusah, Cikalong, Tasikmalaya, dan Cirebon.
Di Jawa Barat, Westerling terus berusaha melebarkan sayap. Kekejamannya itu mendapat penghargaan dari pihak yang berjuang di pihak Belanda.
Akan tetapi, Pemerintah Belanda akhirnya memecat Westerling dari dinas ketentaraan. Namun, hal ini ternyata lebih memberikan keleluasaan kepadanya. Ia bisa lebih dekat dan semakin aktif melakukan kegiatan bersama unsur-unsur penentang Republik Indonesia.
Bebas dari tugas militer, Westerling justru membentuk gearakan dengan nama Ratu Adil. Dengan nama ini gerakan Westerling semakin mendapat simpati rakyat. Dalam waktu yang realtif singkat, ia telah berhasil mengumpulkan modal dan pengikut sebanyak 8.000 orang termasuk para bekas pasukan Belanda.
Tujuan APRA dan kaum kolonialis yang ada di belakangnya adalah mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara tersendiri pada setiap negara-negara bagian RIS. Tujuan ini bertolak belakang dengan hasil Konferensi Antar-Indonesia di Yogyakarta yang telah menyetujui bahwa APRIS adalah Angkatan Perang Nasional.
Dimulainya Pemberontakan APRA
Tidak lama setelah APRA dibentuk Westerling mengajukan ultimatum kepada Pemerintah RIS agar kekuasaan militer daerah Pasundan diserahkan sepenuhnya kepada APRA. Ia menilai TNI kurang mampu menjalankan tugas itu dan meminta agar APRA dijadikan pasukan resmi.
Pemerintah RIS menganggap ultimatum itu sebagai sebuah kekonyolan. Oleh karena itu, Westerling mulai berusaha merebut kekuasaan dengan kekerasan.
Target utama dari kebengisan Westerling adalah Jakarta dan Bandung.
Setelah menyusun rencana, APRA mulai bergerak di sekitar Cililin, di bawah pimpinan dua orang Inspektur Polisi Belanda, van Beeklen dan van der Meula. Gerakan APRA yang terdiri dari sekitar 800 orang di antaranya 300 anggota KNIL bersenjata lengkap menyerang kota Bandung pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950.
Walaupun satu hari sebelum serangan pimpinan Divisi Siliwangi telah mensinyalir adanya suatu gerakan dari sekelompok orang bersenjata yang bergerak dari Cimahi menuju kota Bandung, tetap saja Westerling berhasil memasuki kota itu. Keesokan harinya APRA telah memasuki kota Bandung dan secara ganas membunuh setiap anggota TNI yang dijumpai.
Gerombolan APRA berhasil menduduki Markas Staf Divisi Siliwangi, pertempuran tidak berimbang pun terjadi antara 150 orang APRA melawan 18 orang anggota TNI. Pertempuran itu menyebabkan 15 orang, termasuk Lenan Kolonel Lemboh gugur, sedangkan hanya 3 orang yang berhasil melarikan diri.
Secara keseluruhan gerakan APRA di kota Bandung menyebabkan 79 anggota APRIS gugur dan banyak penduduk sipil menjadi korban pembantaian.
Reaksi Pemerintah Indonesia untuk Menumpas APRA
Pemerintah RIS segera bereaksi dengan mengirimkan bala bantuan ke Bandung untuk menghentikan APRA. Di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Hasilnya, Mayor Jenderal Engels, Komandan Tentara Belanda di Bandung mendesak Westerling untuk pergi dari kota itu.
Setelah terdesak, gerombolan APRA pergi meninggalkan Bandung. Setelah meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai wilayah dan terus dikejar oleh Apris. Dengan bantuan rakyat,, gerombolan APRA yang telah berceceran berhasil dilumpuhkan oleh TNI.
Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di daerah ini, Westerling mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri negara tanpa portofolia di dalam kabinet RIS.
Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling dan Sultan Hamid II menyusun rencananya sebagai berikut:
- APRA akan menyerang gedung tempat Kabinet RIS bersideng.
- Semua Menteri RIS akan diculik
- Menteri Pertahanan (Sultan Hamengku Buwono IX), Sekjen Kementrian Pertahanan (Ali Budiarjo) dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang (Kol. T. B. Simatupang) akan dibunuh.
Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan atau kakinya agar orang mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh Westerling. Sultan Hamid II dijanjikan oleh Westerling akan dijadikan Menteri Pertahanan jika rencana itu sukses.
Akan tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui kegagalan. Meskipun demikian Westerling dengan gerombolannya masih terus mencoba untuk mencapai tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung pada kegagalan.
Sementara itu, Westerling yang melihat indikasi kegagalan rencananya, memilih melarikan diri dengan pesawat Catalina Angkatan Laut Belanda ke Singapura pada 22 Februari 1950. Di Singapura, Westerling justru ditahan polisi setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah itu tanpa izin.
Westerling menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah Indonesia berusaha menuntut agar buronannya tersebut diserahkan kepada Indonesia. Namun, tuntutan itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris, dengan alasan bahwa RIS tidak punya perjanjian dengan Inggris tentang hal itu.
Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar tersebut baru tertangkap pada 5 April 1960.
Presiden Soekarno di depan Singan DPR RIS menyampaiakan pidato yang menegaskan sikap pemerintah untuk menumpas pemberontakan APRA. Selanjutnya, ia mengingatkan pula agar rakyat, khususnya umat Islam agar tidak terpancing dan masuk gerakan pemberontak.
Dampak Kegagalan APRA
Kegagalan gerakan APRA justru meningkatkan sikap anti-federal negara-negara bagian RIS. Usaha untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah pusat RIS semakin keras.
Pada tanggal 30 Januari 1950, R. A. A Wiranatakusumah, Wakil Negara Pasundan mengundurkan diri dan pada tanggal 8 Februari Perdana menteri mengangkat Sewaka sebagai penggantinya dengan jabatan komisaris RIS di Pasundan.
Gerakan unitarisme juga meluas ke daerah-daerah lain. Negara Jawa Timur yang dibentuk oleh Belanda dalam Konferensi Bondowoso, akhirnya dibubarkan setelah dididesak oleh rakyat. Selanjutnya, Gubernur Jawa Timur, Samadikoen, pada tanggal 27 Februari mengeluarkan suatu intruksi kepada segenap residen, bupati, walikota serta aparat bawahannya dari bekas Negara Jawa Timur agar menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada pejabat Republik Indonesia yang telah ditujuk sebelumnya.
Tindakan tersebut diambil oelh Gubernur untuk meredakan suasana panasa di kalangan rakyat yang menuntut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Selain Negara Jawa timur, Negara Madura juga ikut bergabung ke dalam wilayah RI.
Di Sumatra Selatan, tuntutan hampir unitarisme juga muncul dan mencapai puncaknya pada awal tahun 1950. Oleh karena itu, RIS harus menerima pembubaran itu.
Pada 24 Maret 1950, pemerintah RIS meresmikan pembubaran Negara Sumatra Selatan dan daerahnya dimasukkan ke lingkungan provinsi Sumatra Selatan di bawah RI.
Peristiwa unitarisme Sumatra Selatan kemudian disusul dengan pembubaran Daerah Istimewa Bangka Belitung penyerahannya dilaksanakan pada tanggal 23 April 1950.
Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Di Sulawesi Selatan, gerakan-gerakan menuju unitarisme mendapatkan tantangan dari golongan federal yang ingin mempertahanakan Negara Indonesia Timur (NIT).
Berbagai demonstrasi yang menuntut pembubaran NIT terjadi di Ujungpandang, Gorontalo, Poso, Donggala, Takalar, dan Jeneponto. Meskipun sempaat muncul peberontakan Andi Aziz, tetapi keinginan rakyat Sulawesi untuk melepaskan diri dari NIT tidak kendor.
Sebelum pemerintah RIS dengan resmi membubarkan NIT, rakyat provinsi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara telah menyatakan melepaskan diri dari ikatan NIT dan menggabungkan diri dengan RI.
Pernyataan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk proklamasi yang dikeluarkan di Polongbangkeng pada tanggal 17 April 1950 dan ditandatangai oleh Makkaraeng Dg. Djarung yang mengatasnamakan gubernur-gubernur Provinsi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.
Tindakan Westerling di Jawa Barat serta Pengkhinatan Sultan Hamid II juga telah diprotes oleh rakyat Kalimantan. Di daerah ini sejak awal 1950 telah terjadi pergolokanan yang menuntut unitarisme.
Pada pertengahan Januari 1950, dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah RI mengadakan kunjungan ke Kalimantan Timur guna menyaksikan penggabungan daerah tersebut ke dalam RI. Sementara itu, Dewan Kalimantan Timur dalam sidangnya telah mengambil suatu resolusi yang mendesak Dewan Gabungan Kesultanan untuk menyerahkan mandat secepatnya kepada RIS. Dalam resolusi tersebut disepakati penggabungan daerah Kalimantan Timur sebagai daerah otonomi Negara Kesatuan.
Di Kalimantan Selatan juga terjadi pergolakan menuntut unitarise. Penggabungan tersebut dilakukan setelah bubarnya Dewan Banjar. Peristiwa penggabungan itu juga disaksikan oleh dr. Murdjani.
Di Kalimantan Barat, kondisinya sedikit berbeda dengan daerah lainnya. Gerakan-gerakan rakyat yang menuntu unitarisme tidak berhasil. Hambatan utamanya adalah karena yang dikirimkan ke Kalimantan Barat sebagai wakil RIS adalah Mr. Indrakusuma, seorang tokoh pendukung negara federal.
Akibatnya, tuntutan rakya hanya berhasil membubarkan Dewan Istimewa, tetapi tidak berhasil menuntut penggabungan. Faktor tersebut menyebabkan Kalimantan Barat menjadi wilayah terakhir di Kalimantan yang bergabung ke NKRI.
Gan maaf serangan apra 150 org melawan 18 orang bukan 180,makasih
terima kasih atas koreksinya
Wah… tulisannya lengkap dan informatif. Makasih ya…