Apabila kita berbicara mengenai Islam dan Komunisme di Indonesia, kita seakan berbicara tentang dua kutub yang saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan antar kedua belah pihak itu semakin meruncing setelah peristiwa 30 September 1965. Meskipun sampai saat ini sejarah dari peristiwa itu masih kabur, namun narasi dominan yang disebarluaskan tentang peristiwa itu, tidak dapat dipungkiri begitu membekas ke dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Karena itu tidak, mengherankan apabila sampai sekarang keberadaan dari komunisme selalu dipertentangkan dengan agama. Komunisme disamakan dengan atheisme yang menganggap Tuhan itu tidak ada. Namun pada realitasnya tidak selalu demikian, bahkan pada masa lalu beberapa tokoh pergerakan nasional mencoba mengkolaborasikan ajaran agama dan komunisme sebagai sebuah ideologi untuk melawan penjajahan, seperti yang dilakukan oleh Haji Misbach.
Bagi Misbach, Islam dan komunisme memiliki kesamaan yakni sama-sama membela kaum yang lemah dan melawan kapitalisme serta kolonialisme. Pada saat itu, dapat dikatakan bahwa komunis adalah ideologoi yang paling keras dalam menghadapi penjajahan Belanda. Karena itu, banyak kelompok termasuk pelajar dan kiai tertarik bergabung dengan komunisme sebagai cara mereka untuk memerangi kolonialisme.
Latar Belakang Haji Misbach
Misbach dilahirkan pada tahun 1876 di Kauman Surakarta yang dikenal sebagai kampung santri. Misbach merupakan anak kedua dari Dipowirono, pengusaha batik sukses dan religius.
Saat masih kecil ia biasa dipanggil dengan nama Ahmad. Namun setelah menikah namanya diubah menjadi Darmodiprono, nama itu kemudian diubah lagi setelah menunaikan haji menjadi Misbach, yang kemudian dikenal dengan nama Haji Moehammad Misbach setelah menunaikan haji (Shiraishi, 1997: 173).
Karena lahir di Kauman dan berasal dari keluarga religius, maka Misbach kecil pun dididik dalam tradisi pesantren, sehingga mempunyai kemampuan bahasa Arab dan ilmu agama yang mumpuni. Selain di pesantren, ia juga pernah bersekolah di sekolah bumiputra Ongko Loro di Batangan Surakarta selama delapan bulan.
Sebagai anak dari pengusaha batik , ia pun meneruskan usaha ayahnya. Usaha batik yang dikelolanya berkembang, sehingga ia mampu membuka sebuah rumah batik.
Menjadi Pendakwah Revolusioner
Selain bergelut dalam dunia bisnis batik, Miscbach juga dikenal sebagai seorang mubalig transformatif dan revolusioner. Selain menjadi anggota Sarekat Islam pada 1912, ia juga mendirikan pusat pengajian di Keprabon dan Kampung Sewu.
Misbach mulai terjun sebagai juru dakwah sejak tahun 1914. Ketika itu, ia bersama R.H. Adnan aktif menjadi mentor kursus keagamaan di Majlis al-Ta’lim. Majlis itu terbilang cukup berkembang degnan materi keagamaan yang meliputi tauhid, akhlak, fikih, tasawuf dan kristologi. Saat majlis semakin berkembang, Misbach mendatangkan K. H. Ahmad Dahlan untuk mengisi sebagian materi pengajian (Bakri, 2015: 102). Majelis ini pun akhirnya berubah menjadi sebuah perkumpulan yang dinamai Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV) yang diketuai oleh Misbach dan diresmikan pada 10 Julis 1918.
Tjipto Mangoenkoesoemo menyebut Misbach sebagai seorang muslim yang teguh. Keteguhan Misbach dalam memeluk agama Islam tidak membuatnya menjadi fanatik. Ia justru dikenal merakyat dan sering berkumpul dengan kawula muda untuk mendengarkan klenengan dan menonton wayang orang.
Hijrah profesi Misbach semakin mantab, karena pada 1914 ia juga memasuki dunia pergerakan saat memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB). IJB merupakan organisasi wartawan bumiputra yang bertujuan untuk mewadahi para jurnalis radikal yang kritis terhadap pemerintah. Organisasi ini didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo.
Perkenalan Misbach dengan Mas Marco dan para aktivis pergerakan anti kolonial telah menghantarkannya menjadi sosok mubalig pergerakan yang revolusioner. Di organisasi ini, ia banyak belajar jurnalisme dari Mas Marco dan para aktivis pergerakan lainnya.
Berbekal pengalamannya di IJB, Misbach akhirnya memutuskan untuk menerbitkan media massa bercorak Islam yang kritis terhadap permasalahan sosial. Media itu diberi nama Medan Moeslimin yang terbit pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada 1917 (Shiraishi, 1997: 175).
Penerbitan media massa Misbach memiliki ciri unik, karena para jurnalisnya juga harus memiliki pemahaman terhadap ilmu agama dan politik. Hal ini berbanding lurus dengan isu yang diangkat kedua surat kabar tersebut yang terkait dengan isu-isu Islam Transformatif.
Misbach dan Medan Moeslimin mendapat apresiasi besar dari masyarakat Surakarta masa itu. Medan Moeslimin tidak hanya menjadi media diskusi para ulama dan masyarakat Islam pada umumnya, tetapi juga diminati para priyayi dan bangsawan Surakarta (Bakri, 2015: 195).
Melejitnya Pamor Haji Misbach dan Tantangan yang Dihadapi
Pamor Misbach semakin melejit sejak ia memimpin kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh SATV pada tanggal 13 April 1919 di Surakarta. Kongres itu dihadiri sekitar 1500 peserta dan 100 perempuan yang berasal dari 30 organisasi agama, jurnalis, sekolah, dan perwakilan organisasi buruh.
Selain aktif di SATV, Misbach juga aktif di Insulinde. Bahkan ia secara de facto adalah pemimpin dari Insulinde Surakarta (McVey: 39). Pada akhir 1918 dan 1919, Insulinde menjadi organisasi populer di Surakarta, organisasi bercorak revolusioner ini menggeser SI yang pamornya memudar. Dengan aktifnya Misbach ke Insulinde, maka pemikiran kirinya pun semakin menguat dan pamornya meningkat.
Pada masa ini memang tidak jarang ditemukan tokoh dengan keanggotaan ganda layaknya Misbach. Tercatat ia aktif di Sarekat Islam, SATV, Insulinde, hingga akhirnya nanti bergabung dengan PKI (Gie, 2005: 6).
Aktivitas Misbach di Insulinde menuai kontroversi. Masalah itu muncul karena Insulinde merupakan organisasi yang didominasi oleh orang Kristen, sehingga Misbach dianggap sebagai agen Kristen. Meskipun demikian, ia tetap meneruskan usahanya untuk melawan penindasan kapitalisme melalui aksi-aksi radikal seperti pemogokan dan demonstrasi.
Serangan terhadap Misbach terus datang, kali ini menimpa media Islam Bergerak. Serangan tersebut berasal dari Darmo Kondo yang menyebut Misbach sebagai ancaman bagi Jawa dan Islam, karena ingin menghapus sistem feodal yang dalam perspektif Islam tertentu sebagai bentuk khilafah yang wajib dipertahankan (Bakri, 2015: 108).
Meskipun mendapat berbagai serangan, Misbach terus meneruskan usahanya untuk membela kaum krama dalam wadah insulinde.
Di tengah kesibukannya di Insulinde, Misbach juga memerankan peran penggeran lain yaitu sebagai wakil ketua Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani (PKBT) Surakarta.
Baca juga: Sepak Terjang sang Raja Mogok, Soerjopranoto
Misbach sempat digadang-gadang sebagai calon wakil ketua SI Surakarta yang diusulkan untuk diaktifkan kembali. Namun pencalonan itu gagal, karena pada 7 Mei 1919 Misbach justru tertangkap karena dituduh sebagai provokator pemogokan dan penyebar benih kebencian terhadap pemerintah.
SATV dan Muhammadiyah memprotes penangkapan Misbach. Protes juga muncul dari perhimpunan Insulinde, tetapi Misbach tetap ditahan dengan tuduhan penghasutan. Nampaknya tuduhan tersebut memang mengada-ngada, karena pada 22 Oktober 1919 Misbach dibebaskan setelah pengadilan tidak menemukan bukti yang kuat.
Setelah bebas dari penahanan, Misbach pun melanjtkan perjuangan membela kaum tani di pedesaan Surakarta. Namun beberapa bulan berselang, Misbach kembali dituduh sebagai provokator pemogokan dan ditangkap petani pada 16 Mei 1920 (Arifin, 2019 dkk: 62).
Saat Misbach menjalani penahanan untuk kedua kalinya, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan untuk menekan perlawanan. Pada 21 Mei 1920, Residen Surakarta, Harloff, mengeluarkan kebijakan khusus yang mengatur secara ketat acara vergadering (rapat/pertemuan) umum tanpa adanya izin resmi pemerintah.
Kebijakan residen ini memperoleh sambutan positif dari pemerintah di Batavia dan kaum ningrat Surakarta. kebijakan tersebut dinilai dapat menciptakan ketenangan di wilayah itu. Keluarnya kebijakan itu, turut diikuti dengan pengerahan serdadu untuk mengawasi pergerakan.
Haji Misbach dibebaskan setelah dua tahun dipenjara. Kebebasannya disambut suka cita oleh kaum pergerakan di Surakarta.
Setelah bebas, ia mendapati telah terjadi perubahan konstelasi politik di Surakarta. Sarekat Hindia (Insulinde) Surakarta telah bubar dan tidak ada aktivitas berarti setelah ideolog revolusioner mereka, Tjipto Mangoenkoesoemo pergi ke Bandung. SATV Surakarta juga sudah berubah menjadi Muhammadiyah Surakarta. Dengan kata lain, pada tahun1922 Misbach telah kehilangan dua kendaraan penting untuk menggerakkan perlawanan.
Misbach sempat diminta oleh Residen Surakarta, van Der Marel untuk menghentikan aktivitas politiknya. Namun himbauan itu tidak ia gubris dan tetap melanjutkan perjuangannya.
Posisi Misbach di Sarekat Islam pada saat itu masih netral. Kenetralan itu dibuktikan dengan bertemu Semaoen di Semarang dan mengunjungi Tjokroaminoto. Ia juga masih aktif sebagai pembicara dalam rapat-rapat SI lokal.
Namun di samping usahanya untuk tetap netral, terdapat momen yang mengubah jalan politiknya. Momen itu saat ia mengisi rapat umum SI di Kebumen pada 30 September sampai 2 Oktober 1922. Karena gaya bicaranya dianggap terlalu radikal, Tjokroaminoto membuat nota agar Misbach menurunkan nada bicaranya (Bakri, 2015: 117). Semenjak saat itu hubungan Misbach dan CSI merenggang
Pergerakan Misbach di PKI
Misbach memang telah dikenal sebagai propagandis revolusioner yang mencoba mengkolaborasikan ajaran Islam dan Komunisme. Perlawanan Misbach terhadap kapitalisme karena ideologi tersebut dianggap sebagai akar dari segala penindasan terhadap rakyat jelata.
Misbach sempat menjadi propagandis andalan Sareka Islam, namun ternyata model perlawanannya yang mengkolaborasikan Islam dan komunisme tidak dapat diterima oleh CSI. Oleh sebab itu, Misbach mulai memutar haluan untuk bergabung dengan PKI, yang saat itu masih bernama Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) (Mcvey, 2006: 173).
Misbach menganggap PKI memiliki komitmen tinggi dalam membela kepentingan rakyat, anti kapitalisme dan menentang keras kolonialise. Meskipun bergabung dengan PKI, tetapi Misbach tidak kehilangan idealismenya. Cara pandang Misbach soal komunisme tidak berpegang pada comintern (Communist International). Oleh sebab itu Comintern menganggap Misbach sebagai sosok yang berbahaya karena tidak berpegang pada prinsip-prinsip mereka
Sikap Misbach ini pun tidak luput dari catatan pemerintah kolonial, yang mengatakan bahwa Misbach lebih termotivasi pada idealismenya dibanding ambisi kariernya (Arifin, dkk, 2019: 61).
Tahun 1923 menandai berpisahnya Misbach dengan teman lamanya Ahmad Dahlan dan Fachrudin dari Muhammadiyah dan muncul sebagai propagandis PKI dan SI Merah. Muhammadiyah pun menjadi perhimpunan pertama yang secara tegas menentang ideologi komunisme.
Sepanjang karier berpolitiknya, Misbach selalu menyerukan bahwa komunisme tidak bertentangan. Dalam pidatonya dalam kongres SI Merah dan PKI, ia mengatakan bahwa kesesuaian antara Islam dan komunisme terletak pada pentingnya pengakuan atas hak setiap manusia, egalitarianisme, dan kewajiban berjuang melawan penindasan. Pidato Misbach dalam kongres itu, turut menandai kembalinya Misbach ke dunia pergerakan.
Mendengar kabar kembalinya Misbach, Residen Van der Marel mengundang Misbach untuk kedua kalinya dan memintanya kembali agar tidak terjun ke dunia pergerakan. Namun Misbach menjawab dengan tegas bahwa dirinya akan tetap melanjutkan perjuangannya.
Setelah gagal membujuk Misbach, pemerintah saat itu pun mulai melakukan pengawasan terhadap aktivitas Misbach di Surakarta. Bahkan kantor Medan Moeslimin dan Islam Bergerak tidak pernah lepas dari aktivitas kepolisian.
Dalam kondisi yang selalu diawasi, Misbach tetap berusaha menjalankan aktivitas propaganda SI Merah dan PKI. Propaganda Misbach tidak hanya bersifat teoritis, namun juga dipraktekkan langsung di lapangan dengan mendirikan PKI Afdeling Surakarta dan Informatie Kantoor Bale Tanjo (IKBT) pada bulan Juni 1923.
Pengaruh Misbach terus meningkat, ia dikenal sebagai propaganda propagandis SI Merah yang paling menonjol di Surakarta setelah memimpin pendirian Sarekat Rakyat Surakarta.
Setelah memperoleh pamor sebagai propagandis, ia mulai mengubah cara berpakaian dengan mengganti pecis putih dengan blangkon (ikat kepala Jawa) (Bakri, 2015: 121). Perubahan gaya berpakaian Misbach menandai keinginan Misbach untuk menunjukkan identitas sebagai orang Jawa yang beragama Islam.
Pengasingan dan Akhir Perjuangan Haji Misbach
Dengan tampilnya Misbach sebagai propagandis berpengaruh, Surakarta kembali memanas dengan aksi-aksi radikal memprotes kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dan pemegang modal.
Pemerintah kolonial tidak tinggal diam, Misbach kembali ditangkap pada 20 Oktober 1923. Melalui keputusan landraad Semarang, Misbach dijatuhi hukuman pembuangan ke Manokwari, dengan tuduhan menghasut rakyat untuk melawan kebijakan pemerintah dan rencana gerakan anarkisme di Surakarta.
Protes terhadap keputusan sepihak Pemerintah Kolonial atas penangkapan Misbach banyak dimuat media-media perlawanan lokal. Simpati pun mengalir dari berbagai pihak. Kendati demikian pengasingan terhadap Misbach tetap dilakukan.
Pada 18 Juli 1924, Misbach dibawa ke Manokwari ditemani istri dan anak-anaknya (Shiraishi, 1997: 343). Sepanjang perjalanan Misbach memperoleh pengawalan ketat dan tidak diperkenankan turun di pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi.
Sesampainya di Manokwari, pada tanggal 7 Agustus 1924, Misbach tetap memperoleh pengawasan selama di Manokwari. Meskipun demikian, ia tidak mengendorkan ambisinya dengan mendirikan Sarekat Rakyat Manokwari dengan anggota sekitar 20 orang.
Di tengah pembuangan, Misbach masih aktif menulis artikel di Medan Moeslimin, khususnya tentang hubungan antara Islam dan komunisme.
Namun lingkungan yang ditempati Misbach mengahalangi perjuangannya. Pada tahun 1925, ia meminta izin untuk berobat ke negeri Belanda karena ia dan keluarganya terserang TBC.
Medan Moeslimin dan Hoofdbestuur PKI mencoba mencari donasi untuk keberangkatan Misbach ke Belanda. Namun uang yang dikumpulkan jauh dari cukup.
Akhirnya Misbach mengurungkan niatnya ke luar negeri dan tetap melanjutkan pergerakan. Namun kesehatan Misbach terus menurun setelah Misbach terserang Malaria. Ia pun meninggal pada 24 Mei 1926. Ia dimakamkan di Penindi Manokwari (Bakri, 2015: 127).
Meskipun sang Haji Merah telah meninggal, tetapi bukan berarti akhir bagi gerakan komunisme Islam. Beberapa santri pendukungnya tetap berusaha melanjutkan perjuangan dalam bingkai yang telah dirangkai Misbach.
Daftar Pustaka
Arifin, Syiaful, dkk. “Communication Style in Media Struggle,Misbach Communication Style in Early 20th Century”. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding (IJMMU), Vol. 6, No. 5, October 2019.
Bakri, Syamsul. Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942. Yogyakarta: LKIS, 2015.
Gie, Soe Hok. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang, 2005.
Mcvey, Ruth T. The Rise: of Indonesian Communism. Jakarta: Equinox, 2006.
Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.