Budaya Populer, Globalisasi dan Demokratisasi

Budaya populer atau yang biasa disebut dengan budaya rendah merupakan budaya yang dianut oleh masyarakat kebanyakan. Pada dasarnya, kehadiran dari budaya populer sangat erat kaitannya dengan globalisasi, industri, kapitalis dan demokratisasi. Kaum kapitalis menyebarkan ideologinya melalui pengglobalan budaya dengan memproduksi segala aspek kehidupan manusia, seperti makanan dan fashion untuk kemudian disebarkan kepada masyarakat dunia melalui media. Hal ini kemudian menjadikan budaya-budaya di satu tempat dengan tempat yang lain sangat dengan mudah dapat tersebar dan diketahui oleh berbagai lapisan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia.

Kehadiran budaya populer di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya membawa dampak negative dan positif. Namun dalam hal ini dampak negative lebih mendominasi. Salah satu faktanya adalah kehadiran budaya populer telah menggantikan budaya rakyat (folk cunture), yang merupakan budaya masyarakat yang sebenarnya.[1]

Globalisasi dan demokratisasi berperan besar dalam penyebaran budaya populer. Globalisasi merupakan bukti keberhasilan kaum kapitalis yang ingin mengglobalkan budaya manusia di seluruh penjuru dunia, sedangkan demokratisasi merupakan salah satu aspek yang juga mendukung penyebaran budaya populer. Baik globalisasi maupun demokratisasi, berkaitan erat dengan budaya populer. Maka dari itu, pada bab selanjutnya akan dibahas hal-hal yan berkaitan dengan hal tersebut.

 

Pengertian budaya populer, globalisasi, dan demokratisasi

Budaya populer, globalisasi, dan demokratisasi merupakan tiga aspek yang saling berkaitan. Budaya populer sebagai budaya yang dianut oleh kebanyakan orang, meluas di masyarakat seiring dengan merebaknya globalisasi dan demokratisasi. Globalisasi dan demokratisasi yang meluas menjadi media yang menjembatani budaya populer tersebar kepada masyarakat luas. Sebelum membahas lebih jauh berkaitan dengan pengaruh dari globalisasi dan demokratisasi terhadap budaya populer, maka akan dijelaskan terlebih dahulu berkaitan dengan pengertian dari ketiga aspek ini.

Budaya Populer

Budaya pop (cultural popular), dalam bahasa Spanyol dan Portugis secara etimologis diartikan sebagai kebudayaan dari rakyat. Dalam bahasa dan kebudayaan Latin, budaya populer lebih banyak mengacu kepada ide bahwa kebudayaan berkembang dari kreativitas orang kebanyakan.[2] Selain disebut sebagai budaya rakyat, istilah budaya populer juga terkenal dengan nama budaya massa. Istilah tersebut mengacu kepada budaya yang direndahkan, diremehkan, dangkal, dibuat-buat, dan seragam.[3]

Pada hakikatnya, budaya populer merupakan produk masyarakat industrial, yang mana kegiatan pemaknaan dan hasilnya diwujudkan dalam kebudayaan yang dihasilkan dan ditampilkan dalam jumlah besar, didukung dengan kemajuan teknologi produksi, dan penggandaan masal, agar dengan mudah dapat  diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa batas ruang dan waktu.

Budaya populer sering dipahami terutama sebagai barang hiburan dan barang dagangan untuk meraup laba, meskipun terkadang di sisi lain, budaya populer dirancang untuk hal-hal yang memiliki kepentingan lain selain sebagai hiburan, seperti kepentingan politik. Hal ini memberikan fakta bahwa budaya populer tidak hanya berafiliasi dalam satu aspek kehidupan manusia, melainkan di segala aspek, seperti makanan, fashion, politik, dan lain-lain.

Globalisasi

Globalisasi berasal dari kata global, yang berarti universal atau menyeluruh. Menurut  Anthony Giddens, globalisasi adalah intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang sana, dan begitu pula sebaliknya. Menurut Achmad Suparman, globalisasi adalah sebuah proses untuk menjadikan sesuatu –benda ataupun perilaku-, sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin ditolak, yang pada mulanya muncul dari aspek ekonomi, kemudian politik, budaya, dan saat ini menjadi fenomena yang benar-benar nyata.[4]

Fenomena globalisasi berasal dari Negara-negara adidaya, seperti Uni Soviet dan Amerika, yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Sapuan besar globalisasi di Indonesia menurut Samuel Huntington dimulai sejak 1974 dan semakin membesar melalui gerakan reformasi pada akhir tahun 1990-an.

Merebaknya globalisasi di dunia juga tidak dapat dilepaskan dari kemunculan ideologi kapitalisme yang merupakan suatu faham ekonomi yang  mengedepankan modal individu  atau pihak swasta yang memiliki modal besar, dengan tujuan mendapatkan laba yang sebesar-besarnya. Para kapitalis melakukan pengglobalan melalui usaha produksi. Fenomena ini merupakan salah satu dampak dari globalisasi yang telah berhasil menciptakan sebuah dunia global tanpa batas. Seluruh aspek yang diproduksi secara massa dan dianut oleh kebanyakan orang, inilah yang kemudian disebut sebagai budaya populer. Jadi, telah jelas hubungan yang terjalin antara globalisasi dan budaya populer.

Demokratisasi

Demokratisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses untuk menerapkan demokrasi. Menurut Sidney Hook, demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan pemerintahan yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[5] Dalam hal ini, demokratisasi difahami sebagai sebuah proses demokrasi yang dialami setelah runtuhnya rezim orde baru di Indonesia. Hubungan demokratisasi dengan budaya populer adalah adanya fenomena kebebasan media atau yang biasa disebut dengan liberalisasi media.

 

Pengaruh globalisasi dan demokratisasi terhadap perkembangan budaya populer

  1. Globalisasi dan Gaya Hidup Orang Kota

Masyarakat kota merupakan masyarakat yang cenderung untuk lebih mudah mengikuti budaya asing. Hiburan, gaya hidup, budaya, serta nilai-nilai asing yang ditawarkan oleh arus globalisasi akan dengan cepat melekat di kalangan masyarakat kota dan perlahan tapi pasti menjadi konsumsi publik dan budaya massa di kalangan masyarakat kota. Hal ini kemudian memunculkan adanya homogenisasi atau yang biasa disebut dengan pluralisasi budaya.

Globalisasi tidak hanya menawarkan hiburan yang global, melainkan juga gaya hidup, budaya, dan nilai bagi anak-anak muda yang sedang gelisah dalam menemukan identitas dirinya. Dalam hal ini, masyarakat perkotaan yang cenderung akan lebih mudah dalam menerima segala jenis hal-hal baru yang ditawarkan oleh globalisasi kepada mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan mendunianya fast food, dan soft drink seperti hamburger, coca cola, trend pakaian seperti jeans, serta berbagai sarana kenikmatan lainnya. Keseluruhan contoh-contoh tersebut berkembang pesat pada masyarakat perkotaan dan telah menjadi sebuah identitas dari kehidupan mereka yang penuh materialis.

 

  1. Kebebasan atau Liberalisasi Media

Dalam fenomena merebaknya budaya populer, media massa berperan besar. Media massa berkedudukan sebagai media yang difungsikan untuk mendistribusikan budaya-budaya populer tersebut kepada khalayak umum. Secara umum, istilah media dipahami sebagai segala hal yang berkaitan dengan sarana komunikasi, seperti pers, media penyiaran, dan sinema. Namun terkadang media juga diartikan dalam ranah yang lebih luas, yakni mencakup berbagai jenis hiburan (entertainment) dan informasi untuk audensi yang besar, meliputi majalah ataupun industri musik.[6]

Sejak runtuhnya rezim Suharto, yang memerintah selama lebih kurang 32 tahun, Indonesia memasuki masa baru, yakni masa demokrasi. Peristiwa ini membawa dampak besar terhadap perkembangan media di Indonesia, yang kemudian menghasilkan fenomena kebebasan atau liberalisasi media. Pada tahun 1999, Habibi berusaha untuk  meliberalisasikan media yang ada di Indonesia. Salah satu bukti dari fenomena tersebut adalah dengan adanya Undang Undang no. 40/1999, yang menghapuskan pengawasan dari pemerintah terhadap pers. Namun hal ini kemudian membawa dampak negative bagi media, salah satunya adalah munculnya jurnalisme kuning. Selain maraknya jurnalisme kuning, demokratisasi dan liberalisasi media yang terjadi di Indonesia, juga berdampak pada bangkitnya budaya populer di Indonesia, di antaranya adalah dengan banyaknya novel-novel Islami dan novel-novel dewasa.

  1. Ledakan Infotainment

Fenomena ledakan infotainment sangat berkaitan erat dengan pengesahan undang-undangn media. Pengesahan ini kemudian memunculkan banyak perusahaan penyiaran berbasis nasional maupun swasta. Pada masa Soeharto, media sangat dikuasai oleh pemerintah. Namun pada masa orde baru yang memberikan angin segar kepada media, muncullah fenomena baru, yakni ledakan infotainment. Hal ini merupakan salah satu dampak dari adanya demokratisasi dan liberalisasi media. Infotainment merupakan sebuah industri berbasis-televisi yang menggabungkan informasi dan hiburan.

Pada dasarnya, infotainment senantiasa menampilkan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti kehidupan public figure dan juga kemewahan dari kehidupan para selebritis. Fenomena ledakan infotainment ini tidak dapat dilepaskan dari adanya permintaan pasar terhadap informasi-informasi yang sebenarnya hanya berorientasi pada hal-hal keduniawian. Ledakan infotainment akan mengubah wujudnya pada saat-saat tertentu. Misalnya pada bulan Ramadhan, maka akan lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan sisi keriligiusan seorang public figure. Berita-berita yang disampaikan juga disajikan dan dikemas sereligius mungkin, baik dari penampilan pembawa acara hingga berita-berita yang ditampilkan.

[1] Graemen Burton, Media dan Budaya Populer, terj.  (Yogyakarta: JALASUTRA, 2012), hlm. 38.

[2] James Lull, Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm. 85.

[3] Ariel Heryanto (ed.), Budaya Populer di Indonesia Mencairnya Identitas Pasca Orde-Baru, terj. Eka S. Saputra (Yogyakarta: JALASUTRA, 2012), hlm. 6.

[4] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terjemah oleh Abdullah Hakam Shah (Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hlm. 4.

[5] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hlm. 110.

[6] Burton, Media dan Budaya Populer, hlm. 9.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Burton, Graemen. Media dan Budaya Populer, terj.  Yogyakarta: JALASUTRA, 2012.

Heryanto, Ariel (ed.). Budaya Populer di Indonesia Mencairnya Identitas Pasca Orde-Baru, terj. Eka S. Saputra. Yogyakarta: JALASUTRA, 2012.

Lull, James. Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi, terjemah oleh Abdullah Hakam Shah. Yoyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *