Marcus Tullius Cicero adalah seorang orator, penulis, dan pemimpin politik Romawi yang terkenal. Ia hidup sezaman dengan Sulla, Pompey, dan Julius Caesar. Ia lahir di Arpinum pada tahun 106 SM dan meninggal di tahun 43 SM. Ia pergi ke Roma untuk mendapatkan pendidikan formalnya. Di Roma ia belajar retorika, filsafat, dan hukum. Selain di Roma, ia juga belajar retorika dan filsafat dengan orang-orang Yunani di Athena dan Rhodes.
Orang-orang Romawi menganggapnya sebagai orator hebat, dan gaya tulisannya memiliki pengaruh kuat dalam penulisan di dunia Barat. Secara politis dan filosofis, pendiriannya melawan pemerintahan otokratis dan dukungannya terhadap pemerintahan republik juga berpengaruh.
Latar Belakang Keluarga Cicero
Cicero berasal dari keluarga beradab dan termasuk golongan tuan tanah, kendati tidak termasuk kelas sosial tertinggi. Meski begitu, ayahnya memastikan bahwa Cicero dan saudaranya, Quintus, memiliki guru terbaik di Roma. Pada usia 16, ia belajar hukum di bawah Mucius Scaevolia, salah satu pengacara terbaik di Roma.
Selama Perang Sosial (91-88 SM), perang antara Romawi dan kota-kota Italia lainnya mengenai hak kewarganegaraan, Cicero bertugas sebagai tentara untuk waktu yang singkat di bawah Konsul Pompeius Strabo. Setelah perang, ia memulai karirnya sebagai pengacara. Pada tahun 82 SM, ia menunjukkan keberanian politiknya dengan membela Sextus Roscius, musuh dari sang diktator Sulla. Ia memenangkan kasus ini dan pergi ke Yunani untuk melanjutkan pendidikannya, dan kembali ke Roma pada tahun 77 SM.
Cerdas dan ambisius, ia mengikuti peta jalan Romawi menuju sukses, bekerja melalui berbagai pekerjaan pemerintah. Pemerintah pertama kali menunjuknya sebagai quaestor (administrator keuangan) di Sisilia pada 76 SM. Tahun tersebut juga merupakan tahun dimana dia menikahi istri pertamanya, Terentia, meskipun pada akhirnya menjadi pernikahan yang tidak bahagia. Ia selanjutnya melambungkan namanya dalam profesi hukum di tahun 70 SM, saat ia berhasil mengadili Gaius Verres, mantan gubernur Sisilia, karena korupsi.
Kehidupan Sebagai Konsul dalam Politik Penuh Konspirasi
Pada tahun 63 SM Cicero menjadi konsul, sebuah posisi yang memberinya kehormatan tertinggi dalam kelas Romawi: seorang anggota bangsawan. Akan tetapi waktunya sebagai konsul berbarengan dengan masa krisis bagi Republik. Sebagian besar tentara Romawi bersama Pompey di timur.
Sementara itu, Catiline, yang telah mencalonkan diri untuk posisi konsul dan kalah, telah menempatkan sebuah tentara bersamaan dengan harapan untuk mengambil alih pemerintahan.
Cicero mengetahui plot konspirasi tersebut dan membuat banyak komplotan ditangkap. Senat memutuskan untuk menghukum mati beberapa konspirator tanpa melalui pengadilan.
Mereka berpendapat bahwa ini adalah masa darurat militer dan pemerintah berada dalam bahaya besar. Cicero mengikuti ini dan dinyatakan sebagai Pater Patriae (Father of His Country). Akan tetapi tidak semua orang senang dengan keputusan tersebut.
Setelah bersaksi dalam kasus melawan seorang bangsawan bernama Clodius, Cicero menemukan kewarganegaraannya dan mungkin hidupnya dalam bahaya. Sebagai pembalasan atas kesaksian tersebut, Clodius mengeluarkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa siapapun yang terlibat pembunuhan seorang warga negara tanpa pengadilan harus diasingkan atau dieksekusi. Cicero pun akhirnya melarikan diri dari negara tersebut dan tidak dapat dengan aman kembali sampai tahun 57 SM. Sementara itu, pejabat Romawi menghancurkan rumahnya dan menyita propertinya.
Cicero, pada dasarnya sangat percaya pada prinsip republik, sehingga ia tidak menyukai kecenderungan politik Romawi yang menuju kediktatoran. Sayangnya, ini adalah tahun Tiga Serangkai Pertama; Pompey, Caesar, dan Crassus memperebutkan kekuasaan.
Setelah Crassus terbunuh dalam pertempuran, perang saudara Romawi telah mencapai puncaknya. Akhirnya, Caesar dan Pompey bentrok secara militer, dan Pompey terbunuh. Caesar memproklamirkan dirinya sebagai diktator abadi pada tanggal Februari 44 SM. Kemudian, pada Ides of March, sekelompok konspirator yang mewakili kembalinya Republik membunuh Caesar. Cicero bukan anggota konspirasi. Meski begitu semua konspirator dan juga Cicero berharap bahwa dengan kematian Caesar, Kekaisaran Romawi akan kembali ke pemerintahan bergaya republik. Meskipun pada kenyataannya tidak.
Sebagai gantinya, Mark Antony mengambil alih kekuasaan, meningkatkan kekuatan politik dan militernya. Brutus salah seorang pembunuh Caesar meninggalkan negara; Cicero pun juga bersiap untuk pergi, tapi Brutus meyakinkannya bahwa ia harus tetap tinggal dan menggunakan kekuatannya untuk meyakinkan orang bahwa Antony bukanlah jawaban bagi mereka. Sebagai respon, Cicero kemudian menulis karyanya yang terkenal Philippics, serangkaian pidato menyerang Antony. Sekali lagi, hasilnya bukan seperti yang ia inginkan.
Akhir Hidup Cicero
Dalam pergantian kekuasaan yang rumit, Octavianus, keponakan Caesar, kembali ke Roma dan menjanjikan kesetiaannya kepada simpatisan republik. Pada awalnya, ia berhasil dalam tantangan militernya melawan Antony, kemudian Octavian membuat kesepakatan dengan Antony dan Lepidus untuk menciptakan Pemerintahan Tiga Serangkai jilid dua.
Sebagian dari kesepakatan itu termasuk sebuah daftar kematian orang-orang yang dirasakan mengancam pemerintah baru. Cicero masuk daftar dan diburu lalu dibunuh. Kepala dan tangannya terputus dan ditempatkan di Roma sebagai peringatan bagi mereka yang akan menulis dan berbicara melawan mereka yang berkuasa.
Kehidupan dan contoh Cicero terbukti dalam tulisannya. Surat-suratnya adalah contoh nyata dari penulisan yang jelas dan juga sumber utama data historis. Dari segi pengaruh, pikirannya telah banyak mempengaruhi tokoh-tokoh besar dunia seperti John Adams dan Thomas Jefferson.