Sejarah Gladiator: Hiburan Berdarah Bangsa Romawi

Hiburan penuh kekerasan dalam pertarungan Gladiator bisa dikatakan sebagai hiburan utama penduduk Romawi Kuno. Walaupun mayoritas para petarung diambil dari para budak, atau penjahat, tetapi para petarung yang sukses dalam pertarungan mendapat perhatian yang sama seperti selebritis saat ini, karena itu cita-cita menjadi gladiator dianggap menarik bagi masyarakat kelas bawah.

Asal Mula Pertarungan Gladiator

Para gladiator semula tampil di pemakaman Etruscan (orang yang pertama kali menempati Roma), sebagai bagian ritual untuk memberikan pengawal kepada orang yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, pertarungan biasanya sampai mengakibatkan para petarung mati.

Sementara itu, sejarawan Romawi Titus Livius (Livy) mengatakan pertarungan gladiator pertama kali diselenggarakan pada 310 SM oleh orang-orang Campanians, dalam rangka perayaan kemenangan atas Samnites.

Tidak dapat dipungkiri, Roma mengadopsi banyak ritual Etruscan. Contohnya pada 264 SM, saat keluarga M. Brutus mengadakan upacara pemakaman dengan menyelenggarakan pertempuran para budak dan kriminal. Sejak saat itu, pemakaman yang menghadirkan oleh para gladiator menjadi hal biasa dan besar. Sekolah petarung dan jenis pertarungan pun berkembang dengan pesat.

Kelas-Kelas Petarung

Ada berbagai kelas petarung yang dibedakan oleh perlengkapan atau model pertempuran mereka. Di model pertempuran hand to hand combat ada kelas Samnite yang bertempur dengan senjata nasional — perisai besar, visor, helm berbulu, dan pedang pendek. Thraces yang menggunakan buckler bulat kecil dan belati melengkung seperti sabit; mereka umumnya diadu melawan mirmillone, yang mengenakan busana Galia dengan helm, pedang, dan perisai. Nama mirmillone diambil dari nama ikan yang menjadi lambang helm mereka.

Ada juga  petarung yang menggunakan kuda, seperti andabatae yang diyakini bertempur di atas kuda dan memakai helm dengan visor tertutup — untuk bertempur dengan mata tertutup; dimachaeri (“pria dua pisau”) yang membawa pedang pendek di masing-masing tangan; dan essedarii yang bertempur dari kereta seperti orang Inggris kuno.

sejarah gladiator
Petarung yang menggunakan kereta kuda

Selain bertempur melawan sesama, para petarung terkadang juga harus menghadapi hewan-hewan liar seperti singa dan melawan para kriminal.

sejarah gladiator
Ilustrasi pertarungan melawan hewan buas

Jalannya Pertarungan Gladiator

Sinyal untuk pertempuran gladiator ditandai oleh bunyi terompet dan mereka yang menunjukkan ketakutan didorong ke arena dengan cambuk dan besi panas. Ketika seorang petarung terluka, penonton berteriak “Habet” (Ia terluka); jika ia berada di bawah kekuasaan musuh, ia akan mengangkat jari telunjuknya untuk memohon ampunan kepada penonton.

sejarah gladiator
Ilustrasi petarung memberikan sinyal kepada penonton. Sumber: Wikimedia

Jika para penonton mendukung belas kasihan, mereka melambaikan saputangan mereka, tetapi jika mereka menginginkan kematian petarung yang ditaklukan, mereka membalikkan ibu jari mereka ke bawah.

Perkembangan Pertarungan Gladiator

Penindasan yang harus diterima oleh para petarung mengakibatkan terjadinya revolusi untuk menentang pertunjukan ini. Pada tahun 73-71 SM, seorang gladiator bernama Spartacus memimpin revolusi budak di selatan Italia. Ia berhasil memperoleh beberapa kemenangan atas pasukan Romawi, hingga akhirnya dihentikan oleh Marcus Licinius Crassus

Perkembangan hiburan penuh kekerasan ini mencapai puncaknya pada masa akhir Republik, ketika para kandidat menggelar pertunjukan besar untuk kesenangan publik dan pengaruh politik, yang mencapai puncaknya pada pemilihan Julius Caesar sebagai aedile pada 65 SM.

Ia mengadakan perayaan besar-besaran, lengkap dengan lebih dari 300 pasang petarung. Sejak saat itu, kontes menjadi bagian penting dari kontrol imperial terhadap massa Romawi, memuaskan kehausan orang Romawi untuk beraksi dan melepaskan rasa frustasi mereka.

Meskipun demikian, gladiator sebenarnya bukan merupakan bagian utama dari ludi (permainan publik diadakan berkali-kali sepanjang tahun di Roma). Sebaliknya, pertempuran itu dipentaskan secara pribadi oleh keluarga-keluarga yang berkuasa.  Penguasa diharapkan memberikan hiburan yang sama dengan kemegahan pemerintahan mereka.

Kaisar Agustus (27 SM-14 M) merombak pakem pertarungan yang sebelumnya bagian dari ritual pemakaman, menjadi olahraga hiburan bagi orang-orang. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh penerusnya.

Pada tahun 80 M, Kaisar Titus (79-81 M) meresmikan Colosseum dengan serangkaian upacara rumit dan pertunjukan gladiator yang berlangsung selama 100 hari. Colosseum sendiri adalah sebuah arena melingkar tempat sekitar 50.000-70.000 mata menyaksikan pertarungan maut itu.

Salah satu penguasa yang dikenal sangat menggemari pertunjukan ini adalah Trajan (98-117 M). Ia merayakan kemenangannya dalam Perang Dasia dengan menghadirkan 5000 petarung di Colloseum. Ia sangat menyukai pertunjukan dan pemerintahannya dicatat karena pertunjukannya.

Beberapa penguasa bahkan ikut serta dalam pertunjukan gladiator, seperti Hadrian, Caligula dan Commodus.

Dengan datangnya agama Kristen, pertunjukan gladiator mulai jatuh ke dalam ketidakberesan. Orang-orang Kristen sangat menentang pertunjukan itu dan bahkan menganggapnya sebagai bagian dari ritual paganisme. Kaisar Konstantin I akhirnya menghapuskan pertarungan gladiator pada tahun 326 M.

Namun kebijakan Konstantin tidak langsung menghapuskan gladiator sepenuhnya. Sepanjang abad keempat undang-undang yang lebih keras disahkan, sampai pada akhirnya sekitar 399 Honorius memerintahkan sekolah gladiator terakhir ditutup.

BIBLIOGRAFI

Bauer, Susan Wise. 2010. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Terj. Aloysius Prasetya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Matthew Bunson. 2002. Encyclopedia of the Roman Empire. New York: Facts on File.

Montefiore, Simon Sebag. 2008. Tokoh Kontroversial Dunia : Mereka yang Menggores Sejarah Kemanusiaan Dunia. Jakarta: Erlangga.

Nossov, Konstantin. 2009. Gladiator: Rome’s Bloody Spectacle. Oxford: Osprey Publishing.

Wiedemann, Thomas. 1992. Emperors And Gladiators. London: Routledge.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *