Sejarah dinasti Ghaznawi diawali dengan kisah seorang budak Turki yang disukai, dan dihargai pemerintahan dinasti Samaniyah. Budak tersebut diberi jabatan penting dalam pemerintahan Samaniyah, budak tersebut bernama Alptigin. Pada perkembangannya Alptigin inilah yang akan menjadi peletak fondasi pendirian dinasti Ghaznawi. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas sejarah salah satu dinasti yang berada di kawasan Asia Tengah pada abad klasik tersebut.
Awal Pendirian Dinasti Ghaznawi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pada awalnya Alptigin hanya merupakan seorang budak keturunan Turki. Namun, dalam perkembangannya ia diberi kepercayaan menduduki posisi penting di pemerintahan daulah Samaniyah. Alptigin memula kariernya sebgai pengawal, jabatannya kemudian naik menjadi kepala pengawal. Ternyata jabatan sebagai kepala pengawal bukan jabatan terakhirnya, karena pada tahun 961 M ia dipromosikan menjadi gubernur Khurasan.
Wilayah Samaniyah tepatnya di Bukhara, pada abad ke- 10 M tampil sebagai literatur dan kesenian Islam-Persia yang baru lantaran ide-ide keagamaan, hukum, filsafat, dan kesastraan Islam yang berbahasa Arab disusun kembali dalam bahasa Persia. Pada saat itu merupakan pertama kalinya agama dan kultur Islam tersedia dalam bahasa selain bahasa Arab. Meskipun demikian, sebenarnya dinasti Samaniyah telah mengalami disintegrasi pada abad kesepuluh.
Tidak lama setelah Alptigin menjabat gubernur Khurasan, penguasa Samaniyah yang baru menunjukkan sikap tidak suka terhadapnya. Akhirnya ia memilih pergi menuju daerah perbatasan sebelah Timur kerajaan. Pada tahun 962 M, dia berhasil merebut wilayah Ghaznah yang terletak di Afghanistan dari penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen yang kemudian berkembang menjadi imperium Ghaznawi.
Bentuk Pemerintahan Dinasti Ghaznawi
Ketika Alptigin mendirikan sebuah rezim tentara budak, dapat dikatakan dinasti Ghaznawi sebagai pelopor sebuah rezim yang di dalamnya didominasi prajurit budak. Para penguasa Ghaznawi sendiri berasal dari prajurit budak. Sebagaimana penguasa Buwaihiyah, mereka juga memberikan hak iqtba’ kepada prajurit mereka, bahkan mereka juga mempertahankan administrasi birokratis Samaniyah untuk mempertahankan kekuasaan pusat atas distribusi tanah perkebunan dan mengumpulkan upeti, harta rampasan, dan pendapatan dari pertanian. Ghaznawi juga menerapkan kebijakan untuk memelihara dukungan dari pemimpin-pemimpin Islam, melalui pernyataan kesetiaan terhadap khalifah, menopang pengajaran Islam, dan sebuah kenamgkitan kesastraan Persia.
Perkembangan Dinasti Ghaznawi
Meskipun, Alptigin merupakan peletak fondasi pendirian dinasti, namun yang dianggap pendiri sebenarnya dari dinasti Ghaznawi adalah Subuktigin (976-997). Seorang budak keturunan Turki yang juga merupakan menantu Alptigin. Enam belas raja Ghaznawi selanjutnya adalah keturunan langsung darinya. Subuktigin memperluas wilayah kekuasaannya hingga meliputi wilayah Pesyawar di India dan Khurasan di Persia, yang pertama kali dia kuasai ketika masih berada di bawah kekuasaan Samaniyah.
Dinasti Ghaznawi mencapai puncak kejayaan ketika dipimpin oleh putra Subuktigin, Mahmud Yamin al-Daulah. Pada tahun 999, ia berhasil mengalahkan Amir terakhir daulah Samaniyah Abdul Malik II ibn Nuh II, sekaligus menandai runtuhnya daulah Samaniyah dan menjadikan Ghaznawi sebagai penguasa di Asia Tengah. Mahmud merancang rencana serangannya ke arah Timur melalui puncak sebuah bukit tinggi di wilayah Ghaznah, dari bukit tersebut ia dapat memandang jelas seluruh daratan India Utara. Antara tahun 1001 hinggga 1024, Mahmud melakukan tidak kurang dari tujuh belas serangan ke India, diantaranya berhasil menduduki kawasan Punjab, dan pusat kotany, Lahore dari penguasa Multan dan Sind.
Dari sejumlah serangan tersebut, Mahmud kembali ke Ghaznah dengan membawa banyak barang rampasan dari kuil-kuil Hindu. Ia mendapatkan penghargaan segaligus pahlawan besar dari kalangan Islam ortodoks. Dalam sejarah Islam, dialah oran pertama yang menerima gelar al-ghazi kira-kira tahun 1001. Gelar tersebut diberikan karena kegigihannya dalam peperangan melawan kaum kafir.
Mahmud tidak hanya melakukan ekspansi ke wilayah India, tetapi dia juga memperluas garis batas barat wilayah kekuasaannya. Di sini dia berhasil merebut Irak-Persia, termasuk Rayyi dan Isfaha, dari para penguasa Buwaihi-Syiah, yang ketika itu memegang kendali atas nama khalifah di Baghdad. Sebagai seorang Sunni, Mahmud sejak awal mengakui kekuasaan khalifah al-Qadir yang pada saat itu sebagai khalifah Abbasiyah. Khalifah al-Qadir memberinya gelar Yamin al-Dawlah (tangan kanan negara).
Mahmud mempunyai semangat besar untuk menyiarkan Islam Sunni. Semangat ini diwujudkan antara lain dengan mengirimkan kelompok-kelompok pengajar Islam Sunni ke daerah-daerah yang ditaklukannya, seperti bangsa Ghur yang ditaklukannya pada tahun 401 H. Ia juga menyingkirkan kaum Mu’tazilah ke Khurasan dan buku-buku mereka, sebagaimana ia membakar buku-buku filsafat dan ilmu perbintangan.
Wilayah kekuasaan Mahmud merupakan wilayah yang terluas dalam sejarah dinasti Ghaznawi. Wilayah tersebut mencangkup India utara di timur, dan Irak-Persia di barat, serta seluruh daerah Khurasan, Takaristan yang berpusat di Balkh, sebagian Transoxiana di utara, dan Sijistan di selatan. Dia menhiasi wilayah Ghaznah dengan bangunan-bangunan megah, mendirikan sebuah pusat pendidikan, serta menjadikan istananya sebagai tempat peristirahatan bagi para penyair dan ilmuwan.
Keruntuhan Dinasti Ghaznawi
Kebangkitan dinasti Ghaznawi merepresentasikan kemenangan pertama keturunan Turki dalam perjuangannya melawan kelompok Iran untuk mencapai kekuasaan tertinggi dalam Islam. Namun, eksistensi Ghaznawi tidak jauh berbeda dengan Smaniyah atau Sffariyah. Dinasti Ghaznawi tidak ditopang oleh angkatan bersenjata yang kuat, sehingga ketika seorang pemimpinnya yang sangat berpengaruh meninggal, maka semuanya segera menemui kehancuran. Demikian pula yang terjadi, setelah Mahmud meninggal pada tahun 1030 M.
Wilayah kekuasaan dinasti Ghaznawi di sebelah timur berangsur melepaskan dri dari pusat kota, dan munculah sejumlah dinasti Muslim independen di India. Di utara dan barat muncul dinasti Khan dari Turkistan dan dinasti Saljuk dari Persia. Keduanya memisahkan diri dari kekuasaan Ghaznawi. Di bagian tengah, dinasti Ghuriyah dari Afghanistan yang dipimpin Syihab al-Din al-Ghuri melakukan pemberontakan luar biasa dan puncaknya, pada tahun 1186 berhasil menghancurkan pijakan Ghaznawi yang terakhir di Lahore. Dengan hancurnya pijakan terkahir dinasti Ghaznawi tersebut maka berakhir pula eksistensi dinasti Ghaznawi.
BIBLIOGRAFI
K Hitti, Philip. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
M Lapidus, Ira. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam I dan II. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Maryam, Siti, dkk. 2003. Sejarah Peradaban Isma dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi.
Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.