Dinasti Buwaihiyah (935-1062)

Dinasti Buwaihiyah adalah salah satu dinasti paling kuat dan berpengaruh pada masa Daylami interlude, muncul pada abad ke-10 sebelum kemunculan Dinasti Seljuq.

Dinasti ini didirikan oleh tiga bersaudara keturunan Abu Syuja’ Buwaih, yang kemudian memainkan peran penting dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Untuk lebih lengkapnya, mari kita bahas lebih lanjut di bawah ini.

Masa Awal Dinasti Buwaihiyah

Sejarah Dinasti Buwaihiyah dimulai dengan tiga bersaudara keturunan Abu Syuja’ Buwaih, seorang Persia dari Daylam, pesisir Laut Kaspia. Abu Syuja’ mengklaim keturunan dari raja-raja Sasaniyah kuno dan memimpin sekelompok pejuang yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dataran tinggi Daylami.

Pada awal abad ke-10, ketiga anak Abu Syuja’—Ali (Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah)—mendirikan Dinasti Buwaihiyah. Mereka pertama kali muncul dalam sejarah Dinasti Abbasiyah melalui posisi sebagai panglima perang yang diraih Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari Dinasti Samaniyah. Namun, mereka kemudian berpindah ke kubu Mardawij ibn Ziyar, pendiri Dinasti Ziyariyyah, untuk melawan Samaniyah.

Wilayah Dinasti Buwaihiyah
Wilayah Dinasti Buwaihiyah. Wikipedia.

Ketika Mardawij terbunuh pada Januari 935 M, Ali, yang tertua dari tiga bersaudara Buwaih, telah menjadi penguasa Isfahan dan tak lama kemudian menguasai seluruh Faris. Hasan menguasai daerah Jibal, dan Ahmad menguasai Karman dan Khuzistan. Syiraz kemudian dipilih sebagai ibu kota dinasti baru ini.

Seperti kebanyakan orang Daylam lainnya, Dinasti Buwaihiyah menganut Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah yang moderat. Mereka memperkenalkan peringatan-peringatan tradisional Syi’ah ke wilayah-wilayah mereka, dan di masa mereka terjadi sistematisasi dan intelektualisasi teologi Syi’ah. Pada tahun 945, kemajuan besar terjadi bagi Dinasti Buwaih ketika Ahmad berhasil memasuki kota Baghdad.

Dominasi Dinasti Buwaihiyah di Baghdad

Sebelum membahas lebih lanjut tentang peran Dinasti Buwaih di bawah kekhalifahan Abbasiyah, penting untuk memahami latar belakang masuknya dinasti ini ke Baghdad. Saat Khalifah al-Mu’tasim menjadi Khalifah Abbasiyah ke-8 menggantikan al-Makmun, ketidakpuasan muncul di kalangan tentara Muslim (Arab-Persia).

Untuk mengurangi pengaruh tentara Arab dan Persia, al-Mu’tasim mempekerjakan tentara bayaran Turki dalam jumlah besar. Tentara Turki ini, dengan sikap ceroboh mereka, sering kali melintasi kota Baghdad, yang menyebabkan ketidakpuasan dan perlawanan dari tentara Muslim dan rakyat Baghdad. Akibatnya, pecah peperangan dan kerusuhan.

Untuk meredakan kekacauan di Baghdad, Khalifah memutuskan untuk mendirikan kota khusus untuk tentara Turki sekitar 60 mil barat laut Baghdad, yang dikenal sebagai Sammara. Kota ini juga menjadi ibu kota baru.

Namun, keputusan untuk memasukkan tentara Turki ke dalam lingkungan khalifah menjadi bumerang. Tentara bayaran Turki mulai menguasai istana dan memerintah sesuka hati mereka sebagai amir al-umara. Mereka terkenal kasar terhadap penduduk Baghdad. Untuk mengakhiri dominasi tentara Turki, Khalifah al-Mustakfi Billah (944-946 M) meminta bantuan kepada salah satu pemimpin Dinasti Buwaihiyah, Ahmad Ibn Abu Syuja’ Buwaih di Daylam.

Ilustrasi Tentara dinasti Buwaihiyah
Ilustrasi Tentara dinasti Buwaihiyah

Pada tahun 945 M, dari ibu kota Shiraz, Ahmad menyerang Baghdad dan berhasil mengusir tentara Turki dari kota tersebut. Namun, setelah mengusir mereka, Ahmad melihat kesempatan untuk menjadi penguasa baru di Baghdad.

Perkembangan Dinasti Buwaihiyah

Kekuasaan Dinasti Buwaihiyah dimulai ketika Ahmad memasuki Baghdad dan mengambil alih kendali atas Khalifah Abbasiyah. Dengan gelar Mu’izz al-Daulah yang diberikan oleh Khalifah Mustakfi Billah, Ahmad memerintah sebagai wazir utama (amir al-umara) dan mengambil alih kekuasaan dari orang-orang Sunni. Untuk memperkuat otoritasnya, Ahmad mengadopsi gelar sultan, mencetak mata uang atas namanya, dan memastikan namanya disebutkan bersama Khalifah dalam khutbah Jum’at.

Pada Januari 946, Mu’izz al-Daulah menggulingkan Khalifah al-Mustakfi setelah membuatnya buta, kemudian memilih al-Muti’ (946-974) sebagai khalifah baru. Perayaan-perayaan Syi’ah seperti peringatan kematian al-Husayn (sepuluh Muharam) dan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai penerus Rasulullah di Ghadir al-Khumm mulai diadakan. Ini adalah masa yang suram bagi institusi kekhalifahan Abbasiyah, di mana pemimpin kaum Muslim hanya menjadi boneka di tangan amir al-umara.

Dinasti Buwaihiyah, yang menguasai Iran, Irak, dan Mesopotamia, memperkenalkan model pemerintahan baru. Khalifah hanya menjadi simbol kepala negara dan pemimpin bagi Muslim Sunni, dengan hak untuk membuat keputusan agama, tetapi kekuasaan nyata berada di tangan keluarga Buwaihiyah. Mereka berbagi kekuasaan melalui koalisi keluarga. Gelar kehormatan seperti Mu’izz al-Daulah (yang memberi kemuliaan kepada negara), ‘Imad al-Daulah (tiang negara), dan Rukn al-Daulah (pilar negara) diberikan kepada tiga saudara Buwaihiyah secara serentak oleh Khalifah. Setelah itu, gelar-gelar kehormatan ini menjadi kebiasaan, meskipun maknanya mulai memudar.

Mu’izz memerintah selama 24 tahun, sementara kedua saudaranya menguasai bagian kerajaan di sebelah timur. Selama kekuasaan mereka, Khalifah bisa dinaikkan atau diturunkan sesuai kehendak mereka. Irak diperintah dari ibu kota Buwaihiyah di Shiraz, Faris, sementara Baghdad, meski masih memiliki beberapa istana megah, tidak lagi menjadi pusat dunia Muslim. Kota-kota lain seperti Shiraz, Ghaznah, Kairo, dan Kordova mulai menyaingi Baghdad.

Dengan berkuasanya Buwaihiyah, aliran Mu’tazilah kembali bangkit, terutama di Persia, bersama dengan kaum Syi’ah. Meskipun para pemikir Mu’tazilah pada masa ini tidak sebesar pendahulu mereka, mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa dibaca hingga sekarang. Periode ini disebut sebagai kebangkitan kedua Mu’tazilah, dengan tokoh seperti al-Qadi Abd al-Jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.

Puncak Kejayaan Dinasti Buwaihiyah

Kekuasaan Dinasti Buwaihiyah mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Adud al-Daulah (949-983), putra Rukn al-Daulah (Hasan). Dia bukan hanya penguasa Buwaih yang paling unggul, tetapi juga yang paling terkenal pada zamannya.

Pada tahun 977 M, ‘Adud al-Daulah berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang telah muncul sejak periode kekuasaan Buwaihiyah di Persia dan Irak, membentuk sebuah negara yang hampir menyerupai imperium. Dia juga memperkuat posisinya dengan menikahi putri Khalifah al-Tha’i dan menikahkan putrinya sendiri dengan sang khalifah pada tahun 980 M, berharap memiliki keturunan yang akan meneruskan kekuasaannya.

‘Adud adalah penguasa pertama dalam Islam yang menyandang gelar syahaniyah (raja atas raja). Meskipun dia mempertahankan pusat pemerintahan di Shiraz, dia juga memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yang usang, dan mendirikan sejumlah masjid di berbagai kota, sebagaimana dicatat oleh Ibnu Miskawaih, bendaharawan ‘Adud.

‘Adud juga sangat peduli terhadap lembaga-lembaga penyantun, menyediakan dana dari perbendaharaan negara. Salah satu bangunan terpenting yang dibangun pada masa itu adalah rumah sakit al-Bimaristan al-‘Adudi di Baghdad, yang rampung pada tahun 978-979. Rumah sakit ini memiliki 24 dokter yang juga bertugas sebagai pengajar ilmu kedokteran.

Dalam upaya menciptakan perdamaian, ‘Adud bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang terampil, Nashr ibn Harus. Atas otoritas khalifah, Nashr mendirikan dan memperbaiki sejumlah gereja dan biara. Kepedulian ‘Adud terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan sastra diikuti oleh putranya, Syaraf al-Daulah, yang menggantikan ‘Adud setelah wafat.

Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Buwaihiyah

Persoalan utama yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Buwaihiyah adalah merosotnya loyalitas kekeluargaan. Dinasti ini sangat bergantung pada hubungan kekeluargaan untuk menjaga dan menjalankan kekuasaan. Namun, ketika loyalitas ini mulai luntur dan saudara mulai berperang melawan saudara, kesatuan kekuatan dinasti pun terpecah-belah.

Peperangan antara Baha’, Syaraf, dan saudara ketiga mereka, Shamsham al-Daulah, serta pertikaian di antara anggota keluarga kerajaan untuk menentukan penerus, semakin memperlemah dinasti. Selain itu, sebagai penganut Syi’ah di tengah mayoritas Sunni di Baghdad, Dinasti Buwaihiyah menghadapi kebencian dan perlawanan yang kuat dari penduduk setempat.

Pada tahun 1055 M, raja Seljuk Tughril Beg memasuki Baghdad, mengakhiri riwayat kekuasaan Buwaihiyah. Raja terakhir dari dinasti ini di Irak, al-Malik al-Rahim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam tawanan Tughril. Begitulah akhir dari Dinasti Buwaihiyah, sebuah dinasti yang sangat mengandalkan ikatan kekeluargaan dalam menjalankan kekuasaannya.

Bibliografi

Abdul Karim, M. 2014. Bulan Sabit di Gurun Gobin: Sejarah Dinasti Mongol Islam di Asia Tengah. Yogyakarta: Suka Press.

Bosworth, C. E. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan.

K Hitti, Philip. 2006. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

M Lapidus, Ira. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam I dan II. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Maryam, Siti, dkk. 2003. Sejarah Peradaban Isma dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *