Eksistensi Kacamata di Era Kolonial

Kacamata atau tesmak mulai dikenal oleh penduduk Indonesia sejak masa VOC. Kendati demikian, alat bantu penglihatan ini masih tergolong eksklusif dan tidak semua orang dapat memilikinya.

Kehadiran Kacamata

Pada masa VOC, kesadaran tentang masalah kesehatan mata mulai muncul. Orang-orang Eropa yang hidup pada masa itu menyadari bahwa kerusakan mata yang disebabkan oleh penuaan hampir mustahil dihindari sepenuhnya. Namun, mereka meyakini bahwa pelemahan mata dapat diperlambat atau dikurangi dengan gaya hidup yang sehat dan teratur.

Selain penuaan, kebiasaan membaca dalam ruangan gelap dan membaca huruf yang terlalu kecil dianggap berkontribusi pada kasus rabun dekat.

Pada masa itu, kacamata sebagai alat bantu penglihatan sudah mulai digunakan oleh segelintir orang, terutama orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara.

Kacamata hanya dianggap memiliki fungsi kesehatan. Mengenakan tesmak tanpa memiliki masalah penglihatan dinilai sebagai sesuatu yang aneh. Beberapa orang pada masa tersebut menjelaskan hal ini dengan perumpamaan “seperti orang yang bisa berjalan sehat, tetapi menggunakan kruk.”

Potret penjual kacamata era kolonial.
Potret penjual tesmak era kolonial. Sumber: collectie.wereldculturen

Meskipun begitu, pada masa itu, tidak semua orang memiliki pengetahuan yang memadai tentang kacamata. Banyak orang yang memakai tesmak secara asal-asalan tanpa mengetahui ukuran lensa yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bahkan, orang-orang pada masa itu seringkali bertukar tesmak meskipun ukurannya tidak cocok. Akibatnya, penglihatan mereka tidak semakin jernih, malahan dapat menjadi semakin kabur.

Sebagian besar tesmak pada waktu itu diperoleh dari warung-warung penjual kacamata yang penjualnya sendiri minim pengetahuan tentang kacamata. Sehingga, ukuran tesmak yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Ironisnya, ada anggapan bahwa semakin besar ukuran lensa yang digunakan, semakin jelas penglihatannya, padahal kebiasaan ini justru merusak indra penglihatan.

Pada saat bersamaan, orang-orang bumiputra pada umumnya belum banyak yang mengenal kacamata. Mereka lebih sering menggunakan daun pisang muda, yang memiliki efek menyejukkan, atau mengandalkan ramuan dukun untuk mengobati masalah penglihatan.

Mulai Menjamurnya Kacamata

Bersamaan dengan perkembangan kacamata, pada paruh kedua abad ke-19, tesmak mulai banyak digunakan oleh masyarakat, ditandai dengan munculnya banyak iklan kacamata di surat kabar. Meskipun demikian, kacamata masih dianggap sebagai barang mewah yang tidak semua orang mampu memilikinya.

Potret seorang bupati di Jawa tengah mengenakan kacamata hitam
Potret seorang bupati di Jawa tengah mengenakan tesmak hitam. KITLV 32128

Beberapa foto yang dihimpun oleh KITLV menunjukkan potret seorang bupati Jawa yang mengenakan kacamata hitam. Meskipun tidak ada deskripsi lanjut tentang alasan penggunaannya, namun mengingat tesmak yang digunakan berupa tesmak hitam, dapat diasumsikan bahwa yang bersangkutan mungkin memiliki masalah penglihatan.

Medium sized JPEG 90
Potret seorang nelayan mengenakan tesmak. KITLV 87476

Dalam periode yang hampir sama, terdapat foto seorang nelayan Jawa yang memakai kacamata. Namun, tesmak yang digunakan tampak sebagai tesmak baca model lama dan hampir rusak. Untuk mengaitkannya dengan wajah, nelayan tersebut menggunakan tali yang diikatkan pada kepala.

Memasuki abad ke-20, kacamata semakin banyak digunakan oleh masyarakat. Pada periode ini, tesmak tidak hanya dianggap sebagai alat bantu penglihatan, melainkan juga sebagai bagian dari tren fashion.

Dalam harian Sumatra-Bode, pada tanggal 30 Agustus 1919, terdapat iklan dari toko tesmak, A. Jesinowski, yang mengklasifikasikan kacamata berdasarkan lapisan bahannya. Frame berlapis nikel dihargai sebesar f5.50, yang berlapis perak seharga f6.60, sementara frame berlapis emas dijual dengan harga f22. Harga-harga ini tentu saja sulit dijangkau oleh penduduk bumiputra biasa.

Dokter mata J. Tijssen melaporkan bahwa pada masa itu, kacamata masih dianggap sebagai barang mewah di kalangan penduduk desa. Berdasarkan surveinya, mayoritas penduduk desa yang menggunakan tesmak berasal dari golongan penderita katarak. Ironisnya, frame kaca yang digunakan sering kali tidak layak, sehingga mudah rusak.

Jika frame tersebut rusak, mereka tidak mampu membeli frame baru. Sebagai solusi, mereka meminta pandai besi di desa untuk mengganti framenya dengan besi atau tembaga. Jika tidak mampu membayar pandai besi, mereka menggantinya dengan frame bambu yang diikatkan di kepala dengan tali.

Pemerintah kolonial tidak memiliki banyak inisiatif untuk membantu pengadaan kacamata bagi orang-orang yang membutuhkannya. Inisiatif ini malah dilakukan oleh lembaga swasta seperti Vereeniging tot Verbetering van het lot der Blinden in Ned. Oost-Indie (Perkumpulan untuk Meningkatkan Nasib Penyandang Tunanetra di Hindia-Belanda). Secara rutin, perkumpulan ini menyelenggarakan kegiatan pembagian tesmak gratis kepada penduduk yang tidak mampu.

Pada akhir masa kolonial, kacamata menjadi lebih mudah didapatkan. Warga hanya perlu pergi ke optik atau apotik untuk membelinya. Sayangnya, kemudahan ini tidak selalu diikuti dengan kemampuan finansial untuk membelinya.

Screenshot 2023 10 10 094102
Potret wanita Eropa bersama anaknya yang baru lahir. Sumber: collectie.wereldculturen

Bersamaan dengan itu, pemerintah kolonial menerapkan regulasi yang mengatur peredaran kacamata. Melalui peraturan ini, tesmak dilarang diperjualbelikan secara bebas tanpa izin. Hanya orang-orang yang memiliki sertifikat keahlian yang boleh memasoknya. Sertifikat tersebut dapat diperoleh di Technische Hoogeschool.

Selain itu, untuk membeli sebuah tesmak, orang tersebut harus menunjukkan resep dokter atau menjalani tes untuk menentukan ukuran lensa yang diperlukan. Kebijakan ini diimplementasikan untuk mengurangi peredaran kacamata yang tidak sesuai ukuran dan juga ilegal.

Referensi

Adams, George. (1786). Regels tot Behoudenis Des Gezigts, en Wegens het Gebruik der Brillen en Vergrootglazen. Nieuwe algemeene vaderlandsche letter-oefeningen, waar in de boeken en schriften. Amsterdam: Kroe.

Anonim. (1923). Pharmaceutisch Weekblad voor Nederland: Tijdschrift voor Apothekers en Apotheekhoudende Geneeskundigen, No. 43, 27 Oktober.

_______. (1935). Beknopt verslag van de werkzaamheden van den Gezondheidsraad in 1934, dalam Mededeelingen van den Dienst Der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië, No. 5.

_______. (1938). Vereeniging tot Bevordering der Geneeskundige Wetenschappen in Ned.-Indië. Verslagen der Afdeelingsvergaderingen: Afdeeling Batavia. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. 78, No. 24.

Sumatra Bode, 30 Agustus 1919.

Tijssen, J. (1937). “Om de eer van het land van donders: een persgesprek met dr. J. Tijssen”.

_______. (1940). “Oogheelkundig werk in de dorpen van Nederlandsch-Indië van 1931-1939”. Haarlem: De Erven.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *