Minyak merupakan salah satu komoditas paling berharga yang sering diperebutkan. Di Indonesia, perlombaan untuk mengeksploitasi minyak telah berlangsung sejak masa kolonial. Persaingan tanpa henti antara Bataafsche Petroleum-Maatschappij (Royal Dutch dan Shell) dan Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (Standard Oil) mewarnai sejarah eksploitasi minyak di Hindia-Belanda.
Eksplorasi paling awal
Indonesia telah lama dikenal memiliki kekayaan mineral jauh sebelum rempah-rempah menarik perhatian para pedagang Eropa. Dalam catatan Cina disebutkan bahwa penduduk Nusantara telah mengolah garam pada abad ke-1, sedangkan bukti-bukti arkeologis menunjukkan penggunaan emas, tembaga, perunggu, dan besi pada abad kuno.
Selama periode awal kolonial, timah menjadi mineral utama yang diperdagangkan. Sementara eksploitasi terhadap minyak baru dimulai pada paruh kedua abad ke-19.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa minyak telah digunakan untuk pertempuran laut di pesisir Sumatra sejak abad ke-8. Sementara catatan masa VOC menyebutnya sebagai “zat ajaib” di Kepulauan Melayu yang tidak bisa dipadamkan setelah dinyalakan di laut. Di samping itu, minyak juga dimanfaatkan untuk pengobatan penduduk setempat, terutama untuk keperluan pijat.
Pemanfaatan minyak sebagai bahan mentah baru ditemukan dua abad kemudian. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah metode penyulingan minyak bumi untuk penerangan dan pelumas ditemukan.
Dalam waktu singkat, permintaan produk-produk baru ini meroket, sehingga merangsang eksplorasi di berbagai penjuru dunia, termasuk Hindia-Belanda.
Kepala Dinas Pertambangan, C. de Groot, meyakini bahwa minyak bumi dapat diproduksi dalam jumlah besar di Indonesia. Sebagai langkah pertama, pada 1865, ia membuat daftar lokasi-lokasi yang berpotensi memiliki kandungan minyak bumi.
Dalam daftar tersebut, terdapat sekitar 52 titik rembesan minyak. Daftar itu terus diperbaharui hingga menghasilkan sebuah gambaran lengkap tentang keberadaan minyak di Hindia-Belanda pada 1870.
Kemunculan Perusahaan-Perusahaan Minyak
Upaya pertama eksploitasi minyak bumi di Indonesia dilakukan oleh Jan Reerink, seorang pemilik toko yang mencoba mencari peruntungan baru. Ia mulai melakukan pengeboran di kaki Gunung Ciremai, selatan Kota Cirebon pada tahun 1871.
Minyak berkualitas sempat ditemukan, tetapi hasilnya terlalu sedikit untuk dijual kembali. Upayanya ini harus berhenti setelah lima tahun karena kehabisan modal.
Pada 1880, A. J. Zijlker, manajer Perusahaan Tembakau Sumatera Timur, secara kebetulan menemukan adanya kolam minyak di sekitar perkebunannya di Telaga Said.
Setelah konsesi tanah didapatkan dari Sultan Langkat, pada 1884 upaya pengeboran pertama mulai dilakukan di Telaga Tiga. Hasil penggalian sumur pertama cukup lumayan, tetapi penggalian sumur kedua di Telaga Tunggal, dengan kedalaman 121 meter, memberikan hasil lebih banyak.
Pada 1890, Zijlker menyerahkan konsesinya kepada perusahaan yang baru dibentuk, Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch Indie (Perusahaan Kerajaan Belanda untuk Eksploitasi Sumur-Sumur Minyak Bumi di Hindia Belanda), yang kemudian berganti nama menjadi Royal Dutch Petroleum Company.
Perusahaan ini didirikan dengan modal awal 1,3 juta gulden dan pada tahun pertama pengoperasiannya berhasil memproduksi 200 metrik ton minyak dari Telaga Tunggal. Sumur ini menyediakan bahan baku untuk kilang pertama perusahaan, yang didirikan di Pangkalan Brandan pada tahun 1892.
Selama masa perintisan ini, terdapat delapan belas perusahaan yang melakukan eksplorasi dan pengeboran di berbagai daerah di Indonesia. Diantaranya adalah Shell Transport and Trading Company, yang didirikan oleh pengusaha Inggris, Marcus Samuel. Perusahaan ini awalnya bergerak di bidang perdagangan kerang dan rempah-rempah, tetapi beralih ke bisnis pengapalan dan pengeboran minyak.
Pada penghujung abad ke-19, perusahaan ini mendanai penemuan minyak Jacobus Henricus Menten di Balikpapan. Akan tetapi, perusahaan ini mengalami kesulitan untuk berkembang karena kalah bersaing dengan perusahaan Kerajaan Belanda yang berkembang pesat. Akhirnya Shell Transport and Trading Company memutuskan melakukan merger dengan Royal Dutch pada 1907.
Perusahaan baru ini diberi nama Royal Dutch/Shell Group. Tiga anak perusahaan dibentuk di bawah perusahaan induk tersebut: Bataafsche Petroleum Maatschappij (B.P.M.), menangani produksi dan penyulingan; Asiatic Petroleum Company, menangani pemasaran; dan Anglo-Saxon Petroleum Company, menangani transportasi.
Pada saat yang sama, perusahaan besar Amerika, Standard Oil, mencoba untuk masuk ke Hindia-Belanda. Namun, perusahaan ini kesulitan mendapatkan konsesi karena dihalang-halangi oleh Royal Dutch/Shell Group dan Pemerintah Belanda.
Hanya dalam empat tahun, Royal Dutch/Shell Group melalui anak perusahaannya, B.P.M., berhasil meraih dominasi penuh atas industri minyak di Hindia-Belanda. Selain mengakuisisi banyak perusahaan independen, perusahaan juga mempunyai 44 konsesi seluas 32.000 km2; 19 di antaranya berada di Sumatra, 18 di Jawa, dan 7 di Kalimantan.
Untuk mengejar ketertinggalannya, Standard Oil membentuk anak perusahaan baru bernama Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (Koloniale). Namun, upaya tersebut tidak langsung membuahkan hasil manis.
Hingga tahun 1920, perusahaan hanya mampu memproduksi 100 barel per hari. Jumlah ini kalah jauh dari produksi Royal Dutch/Shell yang mencapai 48.000 barel per hari.
Di tengah masa sulit, Koloniale masih dapat memperoleh konsesi penambangan selama 75 tahun dari pemerintah di daerah Talang Akar di Sumatra Selatan. Kawasan ini awalnya dianggap tidak berharga oleh BPM, tetapi pada 1922, cadangan minyak dalam jumlah besar ditemukan. Sejak saat itu, produksi Koloniale meningkat dengan cepat.
Pada dekade yang sama, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sebuah perusahaan minyak baru, Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij (N.I.A.M.). Pemerintah kolonial menggandeng BPM sebagai penyedia manajemen operasional dan pemasaran produk.
Tujuannya untuk memperbaiki keseimbangan antara perusahaan-perusahaan minyak dan negara (Hindia-Belanda). Pemerintah merasa bahwa sistem konsesi yang berlaku terlalu menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut.
Perusahaan baru ini memperoleh hak eksploitasi cekungan minyak di Jambi, Sumatra Selatan, sebuah wilayah kecil di Sumatra Utara, dan pulau Bunyu di Kalimantan Timur Laut. Dari semua wilayah yang disebutkan, Jambi menjadi yang terpenting karena mampu menghasilkan lebih dari 60 juta barel antara tahun 1924 dan 1940.
Kemunculan NIAM dan Koloniale mengancam monopoli yang dipegang oleh BPM. Pangsa pasar anak perusahaan Royal Dutch/Shell itu turun signifikan sejak tahun 1930 dan sulit untuk kembali ke posisi semula setelahnya. Sementara itu, Koloniale merangsek ke posisi kedua dengan pangsa pasar 30%, sedangkan NIAM menduduki peringkat ketiga dengan 15%.
Komoditas Baru yang Melejit
Bangkitnya industri minyak Indonesia merupakan kesatuan dari proses ekspansi yang mengubah kondisi ekonomi di Hindia-Belanda selama periode 1905-1930. Ekspansi ini berorientasi pada ekspor dan momentumnya bergantung pada permintaan dunia.
Ekspansi juga disertai dengan pergeseran besar dalam komposisi komoditas ekspor; dari bahan pokok tradisional seperti gula, kopi, dan tembakau menjadi bahan pokok baru seperti minyak dan karet.
Pangsa gabungan rata-rata dari bahan pokok baru mencapai lebih dari 40% pada tahun 1930-an. Minyak dan karet menduduki peringkat kedua setelah gula sebagai penghasil devisa utama.
Selain itu, perusahaan-perusahaan juga membuka banyak lapangan kerja bagi penduduk. Pada tahun 1929, jumlah pekerja di perusahaan-perusahaan minyak mencapai 57.000 orang; sebagian besar adalah orang Jawa. Banyaknya pegawai perusahaan turut merangsang pertumbuhan toko-toko di seputar pabrik.
Perbaikan infrastruktur regional merupakan efek menguntungkan yang paling nyata dari keberadaan kilang. Investasi besar dilakukan di jalan, pelabuhan, lapangan terbang, telekomunikasi, rumah sakit, dan sekolah. Inisiatif-inisiatif tersebut terkadang berasal dari perusahaan-perusahaan itu sendiri.
Akan tetapi, sebagian besar proyek hanya diperuntukkan bagi pegawai perusahaan. Penduduk non perusahaan hanya dapat menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut dengan izin khusus.
Di Balikpapan, pengendara nonperusahaan diminta untuk memiliki izin khusus sebelum menggunakan jalan BPM ke arah Samarinda. Sementara di Cepu, pembangkit listrik BPM hanya menyediakan listrik bagi karyawan perusahaan.
Harga yang Fluktuatif
Kontribusi minyak terhadap keseluruhan pendapatan ekspor tidak bisa dikatakan stabil. Pada awal abad ke-20, pangsa minyak mengalami peningkatan pesat dari 5% menjadi 28% dari total pendapatan pada tahun 1918. Perang menjadi salah satu faktor utama meroketnya permintaan tersebut.
Selepas perang usai, permintaan terhadap minyak mengalami penurunan signifikan. Akibatnya, kontribusi minyak dalam total pendapatan turun dari 16% pada 1919 menjadi kurang dari 10% pada 1927.
Selama Krisis Malaise, pangsa minyak justru mengalami perbaikan. Pada periode ini, harga komoditas itu terbukti lebih mampu bertahan dibandingkan dengan harga gula dan karet.
Menjelang Perang Dunia II, produksi minyak mencapai 61,5 juta barel dengan tingkat produksi harian adalah 136.000 barel. Lebih dari 1 juta metrik ton gas juga diproduksi.
Kala itu, B.P.M. telah membangun enam kilang minyak, dua di setiap wilayah produksi utama di Sumatra, Jawa dan Kalimantan; sedangkan Koloniale memiliki dua kilang di Sumatra dan Jawa.
Tatkala Perang Dunia II meletus, minyak kembali menjadi primadona. Seluruh negara peserta perang menyadari pentingnya posisi sumber daya tersebut dalam perang, sehingga perburuan terhadapnya menjadi tidak terelakan.
Salah satu target utama invasi Jepang ke Asia Tenggara pada Perang Dunia II adalah Hindia-Belanda, yang dinilai kaya sumber daya alam.
Pemerintah kolonial menyadari bahwa mereka tidak mungkin mempertahankan kekuasaannya dari Jepang. Langkah terakhir yang bisa dilakukan adalah mencegah Jepang mendapatkan sumber daya penting dari wilayah ini.
Kebijakan bumi hangus ditempuh, kilang-kilang dibakar, sumur-sumur ditutup dengan semen dan jaringan pipa diledakkan, tetapi karena waktu yang terbatas beberapa kilang masih dapat dioperasikan.
Invasi yang telah diprediksi terjadi pada 12 Januari 1942 ketika Jepang mendarat di Tarakan, tepat setelah tentara Belanda membakar instalasi BPM. Tidak lama berselang, Jepang bergerak ke Balikpapan, sedangkan serangan lain dilancarkan di Sumatra pada 15 Februari. Pada akhir Maret, tentara Jepang menguasai seluruh ladang minyak di Indonesia.
Meskipun telah menguasai seluruh ladang minyak, Jepang masih memiliki tugas untuk memulihkan produksi. Akan tetapi, upaya rehabilitasi hanya bisa dilakukan semampunya lantaran terhalang kurangnya teknologi dan tenaga ahli.
Mereka memang masih dapat menghasilkan bahan bakar dari sumur-sumur yang belum dirusak, tetapi jumlahnya sangat kecil dengan rata-rata 26 juta barel tiap tahunnya.
Daftar Pustaka
Bee, O. J. (2013). The petroleum resources of Indonesia. Singapura: National University of Singapore.
de Vries, B. (2021). Petroleumscape as Battleground: Pladjoe, Pearl in the Crown of the Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM/Shell) in the Dutch East Indies. In Oil Spaces (pp. 43-65). Routledge.
Lindblad, J. T. (1989). The petroleum industry in Indonesia before the Second World War. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25(2), 53-77.
Reed, P. M. (1958). Standard Oil in Indonesia, 1898–1928. Business History Review, 32(3), 311-337.