Dakwah Islam di pulau Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke 13. Dimana pada waktu itu disebarkan oleh para pedagang dari timur tengah. Para pedagang timur tengah membawa ajaran tarekat untuk mendakwahkan Islam, yang dipelopori oleh munculnya tarekat Qadiriyah, sebagai tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Namun tarekat belum mampu untuk menembus dimensi kebudayaan masyarakat Jawa yang masih kental dengan Animisme, Dinamisme, dan budaya Hinduisme-Budhisme.
Setiap kali suatu agama datang pada suatu daerah, maka mau tidak mau, agar ajaran agama tersebut dapat diterima oleh masyarakatnya secara baik, penyampaian agama tersebut haruslah bersifat “membumi”. Maksudnya adalah, ajaran agama tersebut harus menyesuaikan diri dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak bertentangan secara diametris dengan ajaran subtantif agama tersebut.[1] Sehingga ajaran agama itu dapat diterima oleh masyarakat secara terbuka.
Islamisasi di Jawa pada abad ke 15 mempuyai karakteristik yang berbeda dengan Islamisasi abad ke13, pada masa ini Islam begitu mudah diterima, penyebabnya karena para pendakwah dalam menyampaikan ajaran Islam menggunakan metode yang mengedepankan keharmonisan, yakni dengan merangkul tradisi lokal yang baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa enjoy menerima Islam menjadi agamanya.
Adapun yang memimpin penyebaran Islam ke pulau Jawa dewasa itu, adalah para wali (Walisongo), dalam berdakwah para wali menggunakan tradisi hasil pencampuran ajaran Islam dan budaya lokal setempat untuk menarik perhatian masyarakat. Terbukti metode ini berhasil, dan Islam dapat menyebar di seluruh tanah Jawa. Salah satu tradisi lokal yang digunakan dalam berdakwah ialah kesenian wayang kulit. Metode dakwah menggunakan wayang kulit dikenalkan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kaljaga menanamkan unsur-unsur ajaran Islam di dalam pertunjukan pewayangan, sehingga Islam dapat diterima oleh masyarakat.
-
Seni Pertunjukan Wayang di Jawa pra-Islamisasi.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga. Pada abad ke-11 Masehi, kerajaan Kediri mencapai kemajuan pesat di bawah kekuasaan Raja Airlangga yang memeluk Agama Syiwa-Budha. Yakni sinkretisme antara Agama Syiwa dan Buddha Tantrayana. Pada masa ini mulai muncul gubahan sastra keagamaan Ramayana dan Mahabbarata dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin.
Menurut penelitian filologi, serat yang paling tua adalah Ramayana Kakawin. Naskah ini ditulis pada pemerintahan raja Dyah Balitung (889-910), yang merupakan gubahan dari kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki, Bahasa kakawin ini mirip dengan bahasa-bahasa dalam piagam-piagam abad ke-8 M hingga ke-10 M, atau mirip dengan versi cerita Ramayana dalam relief Candi Prambanan di Jawa Tengah.[2]
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabrata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memaskukkan falsafah Jawa ke dalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa, Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi Indonesia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri, (1130-1160).[3]
Pertunjukan wayang yang ditampilkan pada masa itu berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang ditampilkan oleh para wali, wayang pada masa ini terbuat dari lembar kertas (wayang Beber) yang berisi adegan demi adegan cerita Ramayana dan Mahabbarata. Belum ada iringan gamelan yang mengiringi pagelaran wayang pada masa tersebut. Abad ke-12 sampai abad ke-15 adalah tahap mulai dimasukannya berbagai mitos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa ke dalam pertunjukan wayang.
Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan “aringgit” yang maksdunya adalah pertunjukan wayang.[4]
Cerita legenda yang termuat dalam Ramayana dan Mahabarata memang dimanfaatkan oleh para sastrawan Jawa untuk menanamkan konsep raja binathara. Konsep ini menuntut ketaatan rakyat kepada raja, baik mengenai urursan dunia maupun juga urusan akhirat. Dalam wayang ditanamkan kesadaran adanyagolongan luhur (kusuma rembesing madu) dengan watak halus, berbudi bawa leksana, ahli tapabrata, tidak tamak dalam dunia, kehidupannya dibaktikan bagi kepentingan kemanusiaan dan pelindung masyarakat kecil. Sehingga seni pertunjukan wayang pada masa sebelum Islamisasi memang sudah mencerminkan karakteristik kebudayaan Jawa.[5]
-
Islamisasi awal di Jawa
Dalam proses Islamisasi di Nusantara peranan para pedagang muslim sangatlah penting artinya. Pada proses ini penyebaran Islam tidak sama antara daerah yang satu dengan lainnya disebabkan pengaruh keterkaitan yang erat dengan daerah yang sudah dipengaruhi oleh Hindu- Budha. Sehingga sangat wajar jika Islam menyebar terlebih dahulu di Sumatera, dan baru masuk ke Jawa sekitar abad ke 13.
Masuknya Islam ke pulau Jawa dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Salah satu sejarawan yang berpendapat seperti ini adalah Pinnapel, ia berpendapat bahwa Islamisasi di Indonesia dilakukan oleh orang-orang Arab melalui India, terutama Gujarat dan Malabar, dengan argumentasinya bahwa “ada persamaan antara mazhab syafi’i di India dan Indonesia. Mazhab ini dibawa oleh orang Arab yang bermigrasi dan menetap di Gujarat dan ke Indonesia.[6]
-
Fungsi Pertunjukan Wayang dalam Islamisasi di Jawa abad 15.
Islamisasi masyarakat Jawa dapat dikatakan merupakan hasil dakwah dan perjuangan para walisongo. Mustahil kiranya Walisongo bisa sukses dalam usaha dakwah kecuali mereka itu memang juru dakwah andal dalam menyusun strategi dakwah. Dalam melakukan dakwah para wali tidak serta merta menyingkirkan budaya lokal yang masih mengandung budaya Hinduisme-Buddhisme, para wali justru memanfaatkan kearifan budaya lokal tersebut sebagai alat dakwah mereka.
Salah satu anggota Walisongo yaitu Sunan Kalijaga pernah mengajukan usulan tentang pedoman para wali dalam berdakwah di tanah Jawa. Yaitu menggunakan cara-cara dan usaha yang baik serta disukai oleh rakyat harus seiring dengan tata cara rakyat banyak, yang bertalian dengan kepercayaan agama mereka yang lama.[7]
Sunan Kalijaga melihat terdapat budaya lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, yaitu seni pertunjukan wayang. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, wayang pada masa sebelum munculnya Walisongo sudah menjadi seni pertunjukan yang digemari oleh masyarakat, wayang merupakan cerminan dari kebudayaan Jawa.
Dalam seni pertunjukan wayang masa sebelumnya telah ditanamkan kesadaran adanya golongan luhur (kusuma rembesing madu) dengan watak halus, berbudi bawa leksana, ahli tapabrata, tidak tamak dalam dunia, kehidupannya dibaktikan bagi kepentingan kemanusiaan dan pelindung masyarakat kecil. Dari unsur-unsur kebaikan yang ada di wayang ini Sunan Kalijaga memutuskan untuk membuat suatu inovasi dalam seni pertunjukan wayang.
Wujud pertunjukan wayang masa Kediri-Majapahit masih berupa Wujud Beber Kuno yang menggambarkan wujud manusia secara detail dan adegannya digambarkan di atas lembaran kertas. Sebelum para wali mengambil wayang sebagai alat dakwahnya, terlebih dahulu Walisongo bermusyawarah tentang hukum gambar wayang yang mirip manusia pada masa itu, Sunan giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram jika menyerupai bentuk manusia, sedangkan menggambar manusia hukumnya adalah haram.
Sunan Kalijaga mengusulkan agar tidak menjadi haram, wujud wayang yang ada pada saat itu dirubah bentuknya, umpamanya tangannya yang memiliki panjang melebihi kaki, hidungnya panjang-panjang, kepalanya menyerupai hewan dan lain-lain agar tidak serupa persis dengan manusia, usulan dari Sunan Kalijaga tersebut akhirnya disetujui para wali yang lain, sehingga pada abad ke 15 dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijga membuat wayang yang berbeda dengan jenis wayang beber, Sunan Kalijaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa digerakan. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit kerbau. Sebagai papan tempat wayang ditancapkan dalam pertunjukan menggunakan batang pisang.
Perlengkapan dalam seni pertunjukan wayang purwa terdapat unsur-unsur simbolis di dalamnya. Kelir (layar), secara simbolis melambangkan langit serta alam semesta, debog (batang pisang) melambangkan bumi, belencong (pelita besar) melambangkan matahari. Sedang sang Dalang merupakan perlambang cara Tuhan mengatur Makhluknya,[8]
Lakon-lakon yang dibawakan dalam pertunjukan wayang pun lebih Islami, bukan lakon-lakon Hindu seperti Ramayana dan Mahabratha. Karakter-karakter wayang yang dibawakan Sunan Kalijaga ditambah dengan unsur-unsur ajaran Islam di dalamnya. Tidak hanya sebagai pencipta wayang, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Dalam pagelaran wayangnya, Sunan Kalijaga sering menampilkan cerita pewayangan hasil karyanya sendiri, seperti Jimat Kalimasada, Serat Dewa Ruci, Petruk Dadi Ratu, dan lain-lain. Semua cerita pewayangan Sunan Kalijaga ini mengandung unsur-unsur ajaran Islam di dalamnya, seperti di dalam cerita Jimat Kalimasada, yaitu jimat yang dimiliki Puntadewa, yang menyebabkan dirinya tidak dapat mati meskipun sudah sakit-sakitan, pada akhir cerita Puntadewa dapat meninggal setelah mengucapkan kalimat syahadat. Cerita Jimat Kalimasada ini lah yang paling sering dipentaskan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga sering keluar masuk kampung untuk melakukan pagelaran-pagelaran wayang. Ia melakukan pagelaran tanpa memungut biaya pada penontonnya, beliau hanya meminta mereka untuk mengucapkan kalimat syahadat kepada siapa saja yang menonton pertunjukan wayangnya.[9]
Cara dakwah yang dilakukan wali menggunakan media pertunjukan wayang ini memperoleh sambutan yang positif dari masyarakat. Mereka sedikit demi sedikit mau menerima ajaran agama Islam karena wali dalam menyebarkan ajaran agama Islam benar-benar paham keadaan rakyat yang masih kental terpengaruh kepercayaan agama Hindu-Budha. Sehingga metode dakwah para wali yang luwes menyesuaikan dengan budaya lokal mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat dan memudahkan proses Islamisasi di Jawa.[10]
[1]Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam, (Yogyakarta : Narasi, 2010)., hlm. 19
[2]Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1996)., hlm. 114
[3] Ensiklopedia Wayang Indonesia Jilid 5 (jakarta: Sunarwangi, 1999)., hlm. 1408.
[4] Ibid., hlm. 1409
[5]Simuh, Sufisme Jawa., hlm. 120
[6] Azyumardi Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, (Bandung; Mizan, 2002)., hlm. 22
[7] Efendi Zarkasi, Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan (Bandung : Al-Ma’arif, 1983)., hlm. 70
[8]Mundiri; Wasit; Ridin Sofwan, op. cit., hlm. 277
[9] Kafanjani, Menyingkap Kisah keteladanan perjuangan Walisongo, (Surabaya: Anugerah, 1994)., hlm. 104.
[10] Mundiri; Wasit; Ridin Sofwan, op. cit., hlm. 283
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman, Dudung. 2011. Metode Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
Kafanjani. 1994. Menyingkap Kisah keteladanan perjuangan Walisongo. Surabaya: Anugerah.
Koenjaraningrat. 1985. pengantar ilmu antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Mundiri. Sofwan, Ridin. 2004. Wasit. Islamisasi di Jawa : Walisongo, penyebar Islam di Jawa, menurut penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Salam, Solichin. 1960 Sekitar Walisanga. Semarang : Menara Kudus. .
Sholikhin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Islam. Yogyakarta : Narasi.
Simuh. 1996 Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.
Zarkasi, Efendi. 1983. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung : Al-Ma’arif.
Artikel yang menarik dan bermanfaat. Saya memiliki artikel terkait, silahkan kunjungi web berikut
https://repository.unair.ac.id/26889/