Abad ke-13 menjadi periode keemasan bagi orang-orang Mongol. Bangsa yang sebelumnya tidak terlalu diperhitungkan ini bertransformasi dengan cepat menjadi sebuah imperium ekspansif yang mampu menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Tidak hanya Timur Tengah dan Asia Tengah yang menjadi sasarannya, akan tetapi wilayah-wilayah Asia lain tidak luput dari invasi Mongol.
Setelah sukses menaklukkan Cina dan Korea, Jepang menjadi sasaran invasi orang-orang Mongol. Dua kali usaha invasi dilakukan, namun karena ketidakberuntungan dan kehendak alam, Kublai Khan gagal menguasai Jepang.
Latar Belakang Invasi Mongol ke Jepang
Setelah pemerintahan Jenghis Khan berakhir, Mongol terus memperluas pengaruhnya. Pada tahun 1230, Bangsa Mongol berhasil menaklukkan Cina utara.
Setahun berselang mereka telah menyeberangi Sungai Yalu untuk memperluas wilayahnya ke Semenanjung Korea. Raja Korea (Koryo) dipaksa untuk setia pada Mongol, sebagai imbalan ia masih dapat memerintah sebagai vasal.
Pada tahun 1259 Kubilai Khan, cucu Jenghis Khan, naik tahta Mongol dan menjadi Kaisar Yuan Cina. Kubilai Khan memerintah hingga 1294.
Mengikuti tradisi kaisar Tiongkok, ia berusaha memaksa negara-negara tetangga untuk tunduk. Sejalan dengan tradisi ini, yang dirasionalisasi oleh argumen irasional dari “misi surgawi,”
Kublai mengirim utusan ke Jepang disertai oleh perwira Korea sebagai pemandu. Mereka membawa pesan untuk menjalin hubungan perdaganan dan menghimbau “Raja Jepang” untuk menyerah atau seluruh negaranya akan diinvasi (Sasaki, 2008: 25).
Para duta besar itu berencana berangkat dari pelabuhan Korea pada 1267, tetapi kondisi cuaca di laut memaksa mereka untuk kembali ke semenanjung.
Setelah kegagalan keberangkatan pertama, Kubilai masih berupaya mengirimkan duta-dutanya ke Jepang hingga tahun 1274. Namun, seluruh usahanya tersebut sia-sia, karena seluruh utusannya tidak pernah diizinkan oleh Jepang untuk memasuki Kyoto, ibukota kekaisaran, atau Kamakura, pusat Bakufu (pemerintahan militer).
Malah pada tahun 1268 para utusan ditahan di Dazaifu, kediaman Komisaris Pertahanan Barat di pulau Kyushu. Para utusan Khan itu lalu dipindahkan ke Kyoto, kediaman Kaisar dan hakim pengadilan (Sansom, 1958: 400).
Karena khawatir ancaman itu menjadi nyata, Kaisar mencoba berkompromi dengan menyusun draf untuk mengajak Khubilai berdamai. Namun, pada saat itu Kaisar hanyalah penguasa simbolik negara, karena kekuatan yang berada di tangan Bakufu yang dipimpin oleh seorang pemimpin militer, Hojo Tokimune. Bakufu memilih untuk mengabaikan Draf kekaisaran dan mengusir utusan Mongol.
Pada tahun 1274, utusan Mongol datang kembali, namun pemimpin militer langsung memerintahkan untuk mendeportasi para utusan itu sebagai bentuk penghinaan terhadap Mongol. Tindakan tersebut berarti memantik api perang antar kedua belah pihak. Untuk mengantisipasi invasi Mongol, Bakufu kemudian melakukan berbagai persiapan pertahanan.
Perang dimulai: Invasi Mongol Pertama 1274
Untuk melancarkan invasi ke Jepang, Khubilai Khan membutuhkan kapal dan pelaut (serta tentara). Bangsa Mongol terkenal sebagai petarung darat yang hidup di padang rumput, bisa dibilang mirip seperti Dothraki di film Game of Thrones. Mereka bukan pembuat kapal, mereka juga tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman pelayaran.
Karena itu, Khan memerintahkan Raja Korea untuk membangun 900 armada kapal perang dan melatih pasukannya untuk dapat mengoperasikan kapal (Sasaki, 2015: 25). Tidak hanya itu, untuk menyuplai pasokan makanan pasukannya di laut, ia juga memerintahkan area luas di semenanjung itu ditanami dengan padi.
Pada bulan November 1274, sebuah armada berjumlah 40.000 orang yang terdiri dari 20.000 orang Mongol dan Cina, 8.000 tentara Korea, dan sekitar 7.000 pelaut Korea dan Cina, berangkat dari pelabuhan di Korea. Armada itu menggunakan 300 kapal besar dan sekitar 400-500 kapal kecil (Neuman: 1168).
Armada Kubilai pertama-tama menyerbu beberapa pulau kecil di lepas pantai Kyushu memusnahkan garnisun Jepang dan kemudian pada 19 November mendarat di Hakata dan Imazu di Kyushu. Berbekal busur besar, pasukan Kublai Khan mampu mendominasi pertempuran melawan para samurai.
Bahkan menurut beberapa catatan kontemporer, bangsa Mongol membawa serta senjata beracun dan bom-bom kertas dan besi yang dilemparkan melalui pelontar (Turnbull, 2010: 45). Ini adalah kali pertama Jepang menghadapi senjata tersebut, sehingga tidak mengherankan apabila pasukan Jepang terdesak.
Di tengah situasi genting, Pasukan Kyushu mati-matian mempertahankan wilayahnya, sambil berharap bala bantuan dari provinsi tengah dan timur segera tiba.
Saat pasukan Mongol sedang berada di atas angin, para navigator cuaca Korea tiba-tiba meminta para Jenderal Mongol untuk menaikkan pasukannya kembali ke atas kapal. Mereka telah memperkirakan kedatangan badai yang dapat mengisolasi mereka di pulau itu apabila tidak segera berlayar. Mendengar peringatan itu, akhirnya para Jenderal Mongol memerintahkan pasukannya agar naik ke kapal dan berlayar kembali. Namun keputusan itu nampaknya terlambat, karena badai telah mengamuk dan menenggelamkan sebagian kapal-kapal Mongol yang mencoba kembali ke daratan Korea (Delgado, 2008: 96).
Di lain pihak, badai menyelamatkan pasukan Jepang dari kehancuran di Kyushu. Pada siang harinya mereka melihat orang-orang dari armada musuh keluar dari teluk karena kapalnya tenggelam di laut terbuka selama badai. Mereka kemudian ditangkap dan dibawa ke Mizuki untuk dieksekusi.
Menurut beberapa catatan, dua ratus orang hilang. Semetara menurut catatan Korea, sekitar 13.000 orang dari pasukan penjajah kehilangan nyawa mereka selama ekspedisi ini, kemungkinan sebagian besar dari mereka tenggelam (Sansom, 1958: 444). Invasi Mongol telah gagal dan sisa-sisa pasukan Kublai kembali ke Korea dengan tangan hampa.
Demi Ambisi: Invasi Kedua 1281
Khubilai percaya penyebab kegagalan invasi pertamanya ke Jepang adalah badai. Oleh karena itu, ia kembali mengirim utusan ke Jepang pada 1275. Utusan tersebut membawa pesan dari Khublai agar Jepang menyerah dan tunduk pada kekaisarannya. Alih-alih mendapat respon positif, mereka justru ditahan selama empat bulan sebelum akhirnya dipenggal di Kamakura (Delgado, 2008: 100).
Kublai masih tetap tidak menyerah, pada 1279 ia kembali mengirim lebih banyak utusan. Mereka tidak bernasib lebih baik dan dieksekusi di pantai di Hakata. Serangkaian eksekusi utusannya itu membawa Kublai pada kesimpulan, bahwa Jepang memang tidak berniat untuk tunduk kepada kekaisaran Mongol. Setelah menaklukkan Cina Selatan, Kublai segera memerintahkan penduduk daerah Yangtze untuk membangun 600 kapal perang dan Raja Koryo (Korea) agar membangun 900 kapal untuk invasi kedua.
Pada musim gugur 1280 Kublai Khan menggelar konferensi tingkat tinggi di salah satu istananya untuk membahas strategi lebih lanjut melawan Jepang. Berangkat dari pengalaman buruk tahun 1274, ia merencakan strategi yang lebih matang untuk menghadapi perlawanan sengit pasukan Jepang, di Tsushima, Iki, dan Hakata. Sumber daya militer dan angkatan laut dari dinasti Song Selatan sekarang sepenuhnya di bawah kendali Mongol, sehingga Khubilai Khan dapat membangun serangan dari Korea dan Cina selatan dengan pasukan besar (Turnbull, hlm: 55).
Enam ratus kapal perang dipesan dari Cina selatan, selain 900 dari Korea. Ditambah Jumlah pasukan yang diperkirakan sebanyak 40.000 di rute timur dari Korea dan 100.000 Cina Selatan. Setidaknya kesuluruhan pasukan Mongol pada invasi kedua ini tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah pasukan 1274. Dapat dibilang, invasi kedua Mongolia ke Jepang seperti sekuel film blockbuster; lebih besar dalam skala, pemain lebih banyak, anggaran lebih besar, dan sutradara yang sama (Kublai Khan).
Perintah resmi untuk menyerang Jepang keluar pada bulan pertama 1281. Serangan Rute Timur dari Korea dilakukan dengan cara yang mirip dengan invasi 1274. Sementara pasukan Yangzi akan berlayar langsung dari Cina selatan melintasi 768 km (480 mil) lautan untuk bertemu dengan Tentara Rute Timur di sekitar Iki sebelum bergabung untuk pendaratan secara besar-besaran di daratan Jepang (Sasaki, 2015: 25).
Pasukan dari Korea berangkat pada 22 Mei 1281 sesuai rencana, namun membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai Tsushima daripada pendahulunya pada tahun 1274. Tsushima diserang pada 9 Juni dan Iki pada 14 Juni. Pasukan Jepang yang dipimpin oleh Shoni Suketoki dan Ryuzoji Suetoki tidak mampu menahan gempuran persenjataan tentara Mongol dan mereka pun tewas terbunuh dalam penyerbuan itu.
Serangan tersebut menewas 300 penduduk. Beberapa penduduk berlarian menyelamatkan diri ke pegunungan, namun tentara Mongol yang mendengar tangisan anak-anak mencari mereka dan akhirnya membunuh para penduduk yang bersembunyi di gunung. Seperti yang direncakan sebelumnya, Tentara Rute Timur diharapkan untuk menunggu Tentara Rute Selatan yang diperkirakan akan tiba pada 2 Juli di Iki.
Di lain pihak, dengan berbekal pengalaman dari serangan tahun1274, pasukan Jepang telah membangun tembok pertahanan Genkō Bōrui di sepanjang zona pendaratan kapal di Hakata. Tembok tersebut dibangun selama lima tahun dan memiliki panjang sekitar 20 kilometer.
Pada musim semi, Pasukan Rute Timur telah sampai pada titik pertemuan, namun pasukan Selatan terlambat untuk sampai pada tanggal yang ditentukan. Akan tetapi pasukan dari Korea nampaknya tidak sabar menunggu kedatangan pasukan Cina Selatan, sehingga seminggu sebelum rencana pertemuan pasukan Selatan dan Timur Mongol, Komandan Pasukan Ruten Timur malah memutuskan menyerang terlebih dahulu(Sansom, 1958: 449). Serangan itu tidak membuat mereka dengan mudah mendarat, namun justru memecah konsentrasi pasukan.
Pihak Jepang membalas serangan itu dengan mengirimkan perahu kecil penuh samurai untuk menyerang dan menaiki kapal musuh yang lebih besar. Strategi ini terbukti efektif mencegah pasukan Mongol untuk mendarat (Yamada, 1916: 185).
Selama berminggu-minggu pasukan Mongol kesulitan untuk mendarat. Kondisi ini menyebabkan mereka frustasi dan akhirnya mundur ke pulau Iki.
Pada pertengahan bulan Juli, armada Selatan tiba. Kedua armada kemudian bergabung untuk menyerang Hirado pada awal Agustus dan dilajutkan serangan ke Takashima yang terletak di pantai barat laut Kyushu pada 12 Agustus (Turnbull, 2010: 70).
Pertempuran sengit berkobar selama beberapa minggu. Lamanya durasi pengepungan menyebabkan cadangan pangan pasukan Mongol menipis. Di sisi lain, perang tersebut bertepatan dengan musim badai yang sewaktu-waktu bisa datang.
Pada tanggal 14 Agustus, topan yang dikenal penduduk Jepang dengan sebutan Kamikaze (angin dewa) menghantam armada Mongol di garis pantai. Tidak diketahui secara pasti apa yang terjadi pada armada Mongol, namun menurut kronik Yuan sekitar 20.000-30.000 pasukan Mongol dan Korea yang selamat dari badai ditangkap dan dipenggal. Sementara armada Song Selatan yang dulunya partner bisnis Jepang masih diampuni dan hanya dipenjara.
Bukti arkeologis yang lebih baru menunjukkan bahwa armada itu sebagian besar hancur bukan karena kekuatan angin saja, tetapi juga karena konstruksi kapal yang buruk (Ibid: 78). Hal ini masuk akal mengingat kapal-kapal perang Mongol dibuat secara tergesa-gesa dan dalam waktu yang singkat.
Kabar mundurnya pasukan Mongol sampai akhirnya sampai pada pemerintahan Jepang pada 23 September 1281. Kemenangan ini dirayakatn di kuil Iwashimizu sebagai bentuk syukur kepada dewa. Keberhasilan Jepang untuk bertahan melampaui harapan semua orang, sehingga cerita mengenai kamikaze pun diwariskan hingga sekarang.
Di lain pihak, Kublai Khan sebenarnya masih ingin melakukan upaya ketiga, tetapi prajuritnya telah mengalami kelelahan akibat kegagalan dua invasi itu. Akhirnya ia memilih untuk fokus mengurus permasalahn domestik yang pada masa itu tengah kacau (Sansom, 1958: 450).
Daftar Pustaka
Delgado, James. Khubilai Khan’s Lost Fleet: In Search of a Legendary Armada. Toronto: Douglas & McIntyre Ltd, 2008.
Neumann, J. “Great Historical Events that were Significantly Affected by the Weather: The Mongol Invasions of Japan”. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol. 56, No. 11, 1975.
Turnbull, Stephen. The Mongol Invasions of Japan 1274 and 1281. Oxford: Osprey Publishing, 2010.
Sansom, G., 1967: A History of Japan to 1334. Stanford, Stanford University Press,
Sasaki, Randall J. The Origins of the Lost Fleet of the Mongol Empire. Texas: Texas A&M University, 2008
Yamada, Nakaba. Ghenko: The Mongol Invasion of Japan. London: Smith, Elder & Co., 15 Waterloo Place, 1915.
Blog-nya bagus. Tolong, perbanyak artikelnya. Bagikan artikel sejarah seperti ini.