Pembangunan jalan raya di Hindia-Belanda merupakan implementasi dari modernisasi teknologi di negara kolonial. Daendels memulai proyek besar ini pada awal abad ke-19 untuk kepentingan militer dan ekonomi.
Beberapa tahun kemudian jalan semakin dianggap vital dan selalu dimasukkan ke dalam agenda proyek tahunan. Berbagai kebijakan pemerintah kolonial berhasil menyulap jalanan Hindia-Belanda yang tadinya hanya berupa tanah menjadi jalanan aspal yang dipenuhi aneka ragam kendaraan.
Awal dari Sebuah Mega Proyek
Mega proyek pembangunan jalan raya di Hindia-Belanda dirintis oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels pada 1808. Proyek ini dilatarbelakangi oleh kepentingan militer dan ekonomi.
Ia ingin menjadikan Jawa, yang notabene pusat kegiatan politik dan ekonomi Hindia-Belanda, siap menghadapi gempuran kekuatan asing khususnya Inggris. Sebuah jalur transportasi yang memadai dianggapnya sebagai keharusan untuk menjamin pasokan logistik pasukannya.
Tatkala dirinya melakukan survei melintasi Jawa pada Mei 1808, Daendels awalnya hanya berencana membuat jalan antara Buitenzorg (Bogor) hingga Karangsemboeng (di Cirebon). Namun, beberapa hari kemudian, ia memutuskan untuk membuat Grote Postweg (jalan raya pos) dari Anyer hingga Panarukan.
Sebenarnya proyek ini bisa dibilang sangatlah ambisius dan berisiko. Pertama, kondisi keuangan kala itu tengah buruk. Bahkan, Menteri Urusan Daerah Jajahan di Belanda menyurati langsung Daendels mengenai kondisi ini. Kondisi politik saat itu juga belum stabil, ancaman dari Inggris dan pemberontakan di Jawa masih harus diatasi.
Sementara itu, pengerjaan proyek ini terbilang sangat menantang. Untuk jalanan yang sudah ada biasanya tidak membutuhkan waktu pengerjaan yang lama karena cukup melakukan perbaikan dan menghubungkannya dengan jaringan jalan raya.
Sebaliknya, pembangunan jalan di daerah pegunungan terpencil, rawa-rawa, dan pedalaman sangatlah melelahkan dan membahayakan. Tidak jarang hal ini membuat pekerja jatuh sakit hingga meninggal dunia.
William Thorn (1815) mencatat sekitar 12.000 penduduk bumiputra harus meregang nyawa dalam proses pembangunan jalan raya pos. Sementara itu, Mantan Gubernur Pantai Timur-Laut Jawa, Nicolaus Engelhard (1816), melaporkan sekitar 500 orang meninggal saat pembangunan jalan di perbukitan Megamendung, Buitenzorg.
Meskipun pembangunan jalan raya pos sudah pasti menimbulkan korban jiwa, tetapi angka yang dipaparkan dua tokoh tersebut tidak memiliki angka yang pasti dan rawan bias. Thorn sendiri merupakan anak buah Raffles, sedangkan Engelhard semenjak dicopot dari posisinya dari Gubernur sering melontarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial.
Daendels sendiri tampaknya sadar kalau pembangunan di pegunungan sangat berisiko, sehingga dirinya memerintahkan pengerjaan jalan antara Buitenzorg dan Soemedang, dilakukan pada saat musim kemarau.
Kepala korps insinyur memegang tanggung jawab keseluruhan proyek. Ia diberi wewenang memanggil dan menugaskan sejumlah insinyur militer. Para insinyur militer ini tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam pembangunan di wilayah Hindia-Belanda, sehingga mereka banyak melakukan uji coba.
Akan tetapi, untuk pekerjaan yang medannya sulit, sebagian pekerja konstruksi yang dikerahkan berasal dari pekerja paksa. Istilah “kerja rodi” yang populer saat ini lahir dari peristiwa pembangunan jalan tersebut.
Meskipun demikian, tidak semua pekerja bekerja tanpa upah. Untuk rute berat seperti sekitar Sumedang dan Cirebon, para pekerja dibayar dengan uang dan beras. Sementara untuk para pekerja yang belum menikah, dibayar dengan beras dan garam (Stapel, 1940).
Jalanan yang dibangun memiliki lebar minimal 7.5 m, tetapi sering kali diperlebar hingga 10-12 m. Pada periode awal ini, permukaan jalan belum dibuat dari aspal, tetapi dari kombinasi bebatuan dan kerikil. Sementara jalan-jalan di perkotaan besar kadangkala menggunakan paving.
Jalanan tersebut tidak memakai pondasi bawah karena hingga tahun 1857 kendaraan berat tidak boleh melaluinya. Yang terpenting, jalanan yang dibuat dapat dilalui selama musim hujan.
Pada pertengahan 1809, sekitar 1.000 km jalan selesai dibangun. Keberadaan jalan raya pos itu berhasil memangkas waktu tempuh dari Batavia–Surabaya, baik untuk layanan pos atau penumpang.
Sebelumnya, petugas pos membutuhkan waktu 2–3 minggu (tergantung musim) untuk mengirim surat-surat ke tempat tujuan. Sedangkan untuk melakukan perjalanan biasa, penumpang butuh waktu satu bulan pada musim kemarau.
Setelah jalan raya baru dioperasikan, layanan pos yang diberangkatkan dari Batavia–Surabaya bisa dua kali seminggu. Surat dapat tiba dalam waktu 6-7 hari, sedangkan pos kilat hanya memakan waktu 4-5 hari. Sementara itu, perjalanan penumpang biasa yang tadinya membutuhkan waktu sebulan penuh, kini hanya memerlukan 9-10 hari.
Dalam pembangunan jalan di Jawa, Daendels secara terang-terangan meniru sistem jalan di Prancis. Di sepanjang jalan, ia menerapkan sistem pergantian kuda Prancis. Stasiun rute pos, tempat kuda-kuda dikandangkan, dibuat dengan interval 8-9km. Kuda-kuda tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk pos, tetapi orang-orang yang berpergian dapat menyewa kuda di tempat itu.
Selain jalan raya besar, rute pesisir dibuat antara Batavia dan Cirebon, jalan militer penghubung utara-selatan dibangun (menuju Surakarta dan Yogyakarta) serta berbagai rute pedalaman utama.
Rute ke wilayah pedalaman jauh lebih menantang dari pada jalan raya besar. Saat melalui jalan menanjak, biasanya dibutuhkan 2-8 kerbau untuk menarik kereta ke atas bukit, sedangkan kusir dan penumpang harus berjalan kaki. Begitu pula saat menuruni bukit, kereta yang melaju dengan kecepatan tinggi mengharuskan kusir memiliki kemampuan tinggi kalau tidak ingin terjadi kecelakaan.
Daendels menyatakan kalau jalan yang dibuatnya selain untuk keperluan militer, juga difungsikan untuk kegiatan sipil. Kereta kuda, kereta pribadi, dan pegawai negeri dapat menggunakannya.
Akan tetapi, masyarakat Jawa biasa tidak dizinkan untuk menggunakannya, baik untuk mengangkut ternak ataupun gerobak sapi. Gerobak yang ditarik oleh sapi atau kerbau dianggap dapat merusak jalan.
Untuk lalu lintas penduduk bumiputra, dibuatkan jalur yang terpisah di sepanjang jalan raya pos. Jalur itu berupa jalanan biasa tanpa permukaan dan jembatan.
Setelah Daendels membuka gerbang megaproyek ini, pembangunan dan perbaikan jaringan jalan terus dilanjutkan penerusnya hingga tahun 1835. Kala itu, Gubernur Jenderal memutuskan untuk menghentikan seluruh kegiatan pembangunan jalan dan menegaskan tidak ada jalan baru yang dibangun tanpa persetujuan tertulis darinya.
Delapan belas tahun kemudian, pada 1853, pemerintah kolonial memutuskan bahwa tidak ada lagi pembangunan jalan terpisah untuk pengangkutan barang. Selanjutnya, pada 1857, pemerintah memutuskan membuka rute pos untuk seluruh lalu lintas, asalkan kendaraan yang melaluinya memenuhi persayaratan tertentu. Meskipun demikian, penduduk setempat lebih suka menggunakan jalur gerobak yang telah ada.
Pembangunan jaringan jalan di luar Jawa terbilang jauh lebih lambat. Pembangunan jalan pada masa ini biasanya hanya untuk keperluan ekspansi kekuasaan.
Pengembangan Jalan Raya
Memasuki paruh kedua abad ke-19, pembangunan dan pengembangan Groote Postweg diambil alih oleh Burgelijke Openbare Werken (BOW)/Kementerian Pekerjaan Umum yang didirikan pada 4 November 1854.
Kemunculan BOW merupakan hasil dari proses modernisasi negara kolonial. Di samping itu, badan ini juga memberikan dorongan pada proses tersebut.
Pembentukan BOW juga menandai semakin diperhitungkannya peran insinyur sipil lulusan Universitas Teknologi Delft. Bersama pegawai negeri sipil, dan ahli pertanian, mereka saling bekerjasama pada tahap akhir pembentukan negara kolonial.
Pasca-1870, jalan raya semakin banyak bermunculan di luar Jawa. F.G. Dumas dan J.H. Blok dari BOW menyatakan tujuan digencarkannya pembangunan jalan di luar Jawa adalah untuk mempertahankan kekuasaan, pengembangan ekonomi dan membuka akses ke daerah yang terisolasi. Dampaknya, bermunculan perusahaan-perusahaan tambang di daerah yang sebelumnya belum terjamah, seperti pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung.
Sementara itu, menjelang akhir abad ke-19, jalan-jalan di Jawa telah dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni: jalan raya pos, jalan raya pedalaman, dan jalan pedesaan yang dikelola oleh pekerja paksa. Namun, kategori itu tidaklah berlaku permanen, kadang kala jalan dikategorikan berdasarkan pemeliharaan, yaitu jalan yang dikelola oleh tenaga rodi atau pekerja bayaran.
Seiring berjalannya waktu, pekerja rodi yang tersedia semakin dibatasi. Hal ini mengakibatkan membengkaknya biaya pembuatan jalan yang berimbas pada penurunan kualitas dan penyempitan lebar jalan. Pada 1887, BOW mengusulkan tiga standar lebar jalan: 5.5 m untuk jalan raya pos, 4m untuk jalan yang tidak terlalu penting, dan 3 m jalan pegunungan dan luar Jawa.
Hingga tahun 1920, batu alam digunakan sebagai pondasi karena mudah didapatkan. Sebagai alternatif, batu karang atau sungai juga digunakan. Secara keseluruhan, pondasi jalan yang dibuat cukup kokoh. Sementara untuk permukaan jalan terdiri dari kerikil yang dicampur semen. Di beberapa kota, terkadang sudah menggunakan aspal.
Merintis Jalan Modern
Di Jawa, transportasi barang semakin dianggap penting dan bertambah banyak. Seringkali angkutan barang mengguakan gerobak roda dua yang ditarik oleh kerbau. Akan tetapi, pada musim hujan, gerobak-gerobak kerbau sering merusak jalan hingga tidak dapat digunakan. Penduduk biasanya harus memperbaikinya secara swadaya agar dapat digunakan.
Lantaran kerusakan akibat gerobak barang cukup mengkhawatirkan, pada tahun 1901 dan 1905 dikeluarkan peraturan untuk mendenda perusahaan-perusahaan yang mengakibatkan kerusakan jalan. Kebijakan ini dianggap kontroversial sehingga menimbulkan perdebatan.
Pada penghujung abad ke-19, sepeda dan mobil mulai bermunculan di jalan-jalan Hindia-belanda. Kemunculan moda transportasi baru ini mengharuskan pengaturan lalu lintas.
Secara khusus beberapa ketentuan baru tentang lalu lintas dibuat, salah satunya adalah keharusan mengemudi di lajur sebelah kiri. Peraturan pertama yang dirancang untuk mengatur lalu lintas kendaraan, mulai dari kecepatan maksimum hingga surat izin mengemudi, diperkenalkan pada tahun 1900; pada tahun 1910 muncul peraturan terkait dengan sepeda.
Kedua rangkaian peraturan tersebut merupakan permulaan dari peraturan lalu lintas jalan. Menariknya, regulasi lalu lintas di Hindia-Belanda justru lebih awal muncul dari Belanda sendiri yang baru muncul pada 1905.
Pemberlakuan desentralisasi administratif berdasarkan UU Desentralisasi 1903 dan Keputusan Desentralisasi 1905, mengarah pada pembentukan dewan kota dan regional. Lewat keputusan itu tanggung jawab untuk mengelola dan memelihara jalan raya pos dan jalan pedesaan dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Pada periode awal setelah pemberlakuan desentralisasi, pekerja rodi masih dapat dikerahkan untuk proyek jalan, kecuali di beberapa kota besar. Namun, secara bertahap pekerja rodi dihapuskan hingga benar-benar hilang pada 1916.
Pada awal abad ke-20, aktivitas pembangunan jalan semakin meningkat karena keberadaan mobil yang semakin banyak. Untuk mengorganisasi rencana pembangunan jalan, Inspektorat Lalu Lintas Jalan Raya didirikan pada tahun 1908. Pada tahun 1912, inspektorat tersebut menjadi divisi Jembatan dan Jalan dari BOW.
Inspektorat Lalu Lintas Jalan Raya diberi tugas untuk merancang blue print jalan raya modern untuk Jawa dan Sumatera. Rencana ini selesai dibuat pada 1913. Di Jawa, total biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana umum diperkirakan sekitar 8 juta gulden dan 35 juta gulden untuk berbagai rencana jalan daerah.
Sementara itu, di Sumatra masih terdapat banyak jaringan jalan yang terpisah. Untuk menghubungkan jalan raya antara Kuta Raja–Padang–Sumatra Selatan, dibutuhkan anggaran mencapai 60 juta gulden.
Dana untuk pembangunan jalan sebagian berasal dari pajak. Pada tahun 1908, pajak untuk minyak bumi diperluas sampai mencakup bensin. Implementasi aktual dari rencana jalan Jawa dimulai pada tahun 1914. Pada tahun yang sama, rencana Sumatra mulai disusun dan segera dikerjakan.
Era Baru Jalan Raya
Setelah Perang Dunia I, banyak truk Amerika diimpor ke Hindia-Belanda untuk mengangkut produk-produk yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan.
Fenomena ini menuntut penyesuaian antara jalan dengan kebutuhan lalu lintas yang baru. Para pejabat terkait mendapati terbatasnya dana pembangunan dan pemeliharaan jalan. Berbagai wacana pun bermunculan, mulai dari sentralisasi atau desentralisasi pengelolaan jalan hingga keterlibatan swasta dalam mengelola jalan.
Awalnya, pada tahun 1915, Inspektur Rute Lalu Lintas menyatakan bahwa lalu lintas mobil harus beradaptasi dengan jaringan jalan yang telah ada. Akan tetapi, pada tahun 1920, direktur BOW berpendapat kalau sudah waktunya untuk menyesuaikan semua jalan raya yang ada dengan lalu lintas mobil dan angkutan barang.
Banyak hal yang perlu diperbaiki untuk mencapai tujuan tersebut, seperti pelebaran, pelonggaran tikungan, dan pengurangan jumlah tikungan. Namun, masalah terbesar adalah kualitas material untuk permukaan jalan.
Untungnya, memasuki dekade 1920-an, teknologi pembangunan jalan mengalami kemajuan pesat. Ketersediaan pengetahuan baru dan material baru seperti aspal, dapat menjawab dan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang meningkat.
Setelah tahun 1920, aspal menjadi bahan paling umum untuk permukaan jalan. Kendati demikian, aspal yang banyak digunakan bukanlah aspal alami, tetapi aspal minyak.
Pada pertengahan 1920-an, wilayah-wilayah di Hindia-Belanda diubah menjadi provinsi, bersamaan dengan itu pengelolaan jalan berada di bawah administrasi provinsi. Setiap provinsi memiliki dinas pekerjaan umum yang terdiri dari sejumlah dinas kabupaten yang lebih kecil.
Tanggung jawab untuk jembatan dan jalan dilimpahkan kepada dinas pekerjaan umum kabupaten. Pada saat yang sama, jalan-jalan yang tidak terlalu penting tetap berada di bawah kendali kotamadya dan desa.
Peningkatan tajam arus lalu lintas pasca-1920 membuat penyesuaian peraturan lalu lintas semakin mendesak. Hingga saat itu, jalur darat, air, trem, dan kereta api masih ditangani secara terpisah.
Baru pada awal 1920-an, pemerintah kolonial mulai menyadari kalau peningkatan tajam kendaraan di jalan raya berimbas pada jalur kereta api dan trem, sehingga masalah lalu lintas perlu dilihat lebih luas.
Akhirnya, Komite Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dibentuk pada 1925. Tugas komite ini meliputi inventarisasi jumlah kendaraan di jalan raya, mengatur keselamatan lalu lintas dan pajak kendaraan.
Salah satu hasil kerja komite ini adalah Ordonansi Lalu Lintas Jalan Raya yang dibuat pada tahun 1933. Lewat peraturan ini hampir semua yang berkaitan dengan transportasi jalan raya menjadi terorganisasi, mulai dari peraturan lalu lintas, persyaratan kendaraan dan surat izin mengemudi, hingga peraturan angkutan umum.
Bertepatan dengan itu, pajak kendaraan mulai diterapkan di Jawa dan Madura, setelah sebelumnya diterapkan di luar Jawa. Memasuki penghujung 1934, peraturan pajak kendaraan bermotor yang baru diberlakukan di seluruh wilayah Hindia-Belanda.
Baca juga: Menatap Era Modern: Sejarah Listrik di Hindia-Belanda
Pada tahun 1938, rencana pembangunan jalan tahun 1913 untuk wilayah Jawa hampir selesai. Sekitar 23.000 km permukaan jalan modern telah dibangun. Kala itu, jaringan jalan Sumatra memiliki panjang 10.000 km, sedangkan total panjang seluruh jalan raya di Hindia-Belanda mencapai 70.000 km.
Hampir seluruh jalan sudah dirombak menggunakan pengetahuan dan teknologi baru. Tidak mengherankan bila Lembaga Insinyur Kerajaan di Belanda sampai menyimpulkan bahwa sistem jalan Hindia-Belanda sangatlah baik bila dibandingkan negara lain di daerah tropis.
Pada tahun 1939, undang-undang lalu lintas jalan yang baru mulai berlaku. Peraturan yang baru ini mencakup seluruh aspek berkendara, mulai dari izin mengemudi, registrasi kendaraan, ketentuan parkir, hingga penyeragaman peraturan lalu lintas di seluruh Hindia-Belanda. Bersamaan dengan keluarnya peraturan baru, catatan tentang kecelakaan lalu lintas, jumlah kendaraan dan jumlah pengendara mulai dibuat secara rinci.
Referensi
Engelhard, N. (1816). Overzigt van den staat der Nederlandsche Oost-Indische bezittingen, onder het bestuur van gouverneur-generaal Herman Willem Daendels enz. enz.; ter betere kennis en waardering van ‘s mans willekeurig en geweldadig bewind. Amsterdam: Van Geef.
NAS, P. J. M., & PRATIWO. (2002). Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 158(4), 707–725. http://www.jstor.org/stable/27867990
Stapel, F.W. (1940). Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V Uitgeversmaatschappij Joost van den Vondel.
Stibbe, D.G. (ed). (1921), “Wegen” dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië Vol. 4. The Hague.
__________________, (1939). “Wegverkeer. Wegverkeerswetgeving”, dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. The Hague.
ten, M. L., Nispen, H. V., & Ravesteijn, W. (2009). The Road to an Empire: Organisation and Technology of Road Construction in The Dutch East Indies, 1800–1940. The Journal of Transport History, 30(1), 40-57.
Thorn, W. (1815). Memoir of the conquest of Java; with the subsequent operations of the British forces in the Oriental Archipelago etc. London: Egerton, Military Library and Whitehall.