Apotek dan Perdagangan Obat di Hindia-Belanda

Konsep apotek modern tidak muncul bersamaan dengan kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara. Konsep ini baru mulai dikenal pada penghujung abad ke-19, bersamaan dengan perkembangan pengobatan Eropa. Sebelum itu, penduduk lebih banyak mengandalkan obat-obatan herbal yang diperoleh dari dukun, toekang rempah-rempah, dan sinse.

Pedagang Obat Tradisional

Sebelum era kolonial, konsep apotek masih sangat asing bagi masyarakat. Jamu yang menjadi obat andalan penduduk setempat biasanya diperoleh dari para dukun. Di samping itu, mereka juga sering meracik jamu yang bahannya didapatkan dari toekang rempah-rempah di pasar.

Saat itu, dukun menjadi andalan penduduk bumiputra yang menderita sakit. Mereka dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit lewat pengetahuan yang diperoleh secara turun menurun ataupun mistis.

download 3 1
Potret dukun tengah meracik ramuannya. Sumber: Troppenmuseum

Sebagai pakar kesehatan, dukun tidak hanya melakukan diagnosis penyakit pasiennya, tetapi juga memberikan obat untuk penyakit tersebut. Obat-obatan itu didapatkan dari tanaman herbal yang tumbuh di sekitar rumah sang dukun.

Selain mengandalkan tanaman yang ditanam sendiri, dukun juga sering mencari bahan obat dari toekang rempah-rempah. Di pasar tradisional zaman dahulu, pada umumnya terdapat deretan kios yang khusus menjual tanaman herbal.

Borsma dalam Aantekeningen Over Ostresche Geneesmidelen (1913), menyamakan kios toekang rempah-rempah dengan apotek sekarang. Layaknya seorang apoteker, toekang rempah-rempah tidak hanya menjual obat kepada pembeli, tetapi juga memberikan petunjuk penggunaan obat tersebut.

Para pemilik kios menyimpan stok tanaman herbalnya di dalam kaleng atau peti-peti kecil. Tanaman herbal itu dikategorikan sesuai jenisnya.

Stok obat toekang rempah-rempah bisa dikatakan cukup variatif. Mereka tidak hanya menjual jamu dari tanaman yang dibudidayakan sendiri, tetapi juga bahan yang diperoleh dari toekang akar-akar (orang yang mencari tanaman herbal langsung dari hutan) dan toko obat Cina/Tionghoa.

Toko obat Tionghoa memiliki sejarah panjang di Indonesia. Claudine Salmon (2007) memperkirakan para tabib tradisional Tionghoa atau yang disebut sinse telah menetap di Jawa sejak akhir masa Dinasti Ming.

Secara operasional, toko obat Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari kehadiran seorang sinse (tabib). Dalam pengobatan Tionghoa, para sinse tidak hanya menduduki posisi sebagai tabib, tetapi juga sebagai peracik obat layaknya apoteker.

De Haan (1935) memaparkan bahwa kemampuan pengobatan para sinse juga dipercaya oleh para pejabat VOC. Pada 1635, seorang sinse Tionghoa beragama Kristen yang bernama Ishak, ditunjuk sebagai dokter VOC dengan bayaran 10 real per bulan.

Lima tahun berselang, Gubenur Jenderal memberikan izin kepada orang-orang Tionghoa di Batavia untuk mengumpulkan dana guna mendirikan sebuah rumah sakit Tionghoa. Rumah sakit yang disebut Yangji yuan (Rumah Sakit untuk Orang Miskin) ini selesai dibangun pada 1646. Rumah sakit tersebut tidak hanya memiliki dokter dan perawat, tetapi juga apoteker yang bertugas meracik obat.

Yanji yuan didirikan di sisi barat Rhinocerosgracht, area di luar Kota Tua. Bangunan itu awalnya dibuat dari bambu, tetapi pada perkembangannya dibangun permanen menggunakan batu bata.

Sayangnya, Geger Pecinan (1740) membuat bangunan ini terbengkalai setelah orang-orang Tionghoa dilarang memasuki Batavia. Meskipun demikian, ilmu pengobatan Tionghoa tidak hilang begitu saja. Dua tempat suci yang berhubungan dengan dokter dan apotek didirikan di Batavia pada penghujung abad ke-18. Pertama, sebuah kuil kecil yang didedikasikan untuk Lu Dongbin, pelindung para dokter. Kuil kedua didedikasikan untuk Yaowang, dewa pengobatan.

Pasca Geger Pecinan, orang-orang Tionghoa lebih memilih membentuk kelompok masyarakat yang agak tertutup dengan pemimpin mereka sendiri. Keterasingan ini terjadi akibat berbagai larangan yang dikeluarkan oleh VOC.

Kendati demikian, toko obat Tionghoa masih tetap eksis pada awal abad ke-19. Setidaknya terdapat sepuluh toko obat Tionghoa di wilayah Batavia dan satu di wilayah Kedu.

Regulasi Perdagangan Obat dan Kemunculan Apotek Modern

Walaupun orang-orang Eropa sering kali jemawa karena merasa lebih superior dibanding penduduk asli di koloninya, bukan berarti pengobatan yang mereka bawa selalu lebih manjur.

Pada periode awal kedatangan bangsa Eropa, mereka dikagetkan dengan berbagai penyakit tropis yang belum pernah ditemui sebelumnya. Dokter dan apoteker Eropa kewalahan menghadapi situasi ini, dalam waktu singkat berbagai penyakit yang muncul merengut nyawa orang-orang Eropa. Hindia-Belanda khususnya Batavia akhirnya menjelma menjadi kuburan orang-orang Eropa.

Medium sized JPEG 59 1
Apotek militer di Makasar. Sumber: KITLV

Menghadapi realitas ini, mau tidak mau, para tenaga medis harus mencari pengetahuan baru dari para praktisi kesehatan lokal, seperti para dukun dan toekang rempah-rempah. Dokter asal Jerman, Friedrich August Carl Waitz, menjadi salah seorang dokter yang gencar mempelajari ilmu pengobatan penduduk bumiputra.

Saat dirinya ditugaskan menjadi dokter kota di Semarang pada 1823, ia mendapati kenyataan bahwa lebih dari separuh obat yang biasa diresepkan di Jerman tidak tersedia di wilayah itu. Biaya pengiriman obat-obatan ke Hindia-Belanda tidak bisa dibilang murah. Ditambah, obat yang sampai sering mengalami kerusakan sehingga tidak memberikan khasiat apapun.

Selain itu, ia tidak terbiasa dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani penyakit daerah tropis, seperti disentri dan radang tenggorokan. Dirinya dibuat heran oleh dukun bumiputra yang mampu menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dengan relatif mudah.

Memasuki abad ke-19, banyak dokter Eropa mulai tidak memercayai metode pengobatan berdasarkan teori humoral yang telah diterapkan selama berabad-abad. Tradisi pengobatan yang mengandalkan cuci darah, merkuri, pencahar, dan emetik semakin dikecam setelah penemuan-penemuan dari Sekolah Kedokteran Prancis dan Jerman menantang dasar-dasar teoretisnya.

Sayangnya, pemahaman baru tentang fisiologi dan patologi dari para dokter di Eropa ini tidak menghasilkan pendekatan terapeutik praktis yang dapat menggantikan pendekatan yang lama.

Ketidakpuasan ini membuat Waitz enggan mempraktikkan pengobatan allopathic atau konvensional, yang mengharuskannya meresepkan kalomel (senyawa merkuri), akar jalappa, opium, dan kalium yodium dalam jumlah besar.

Kenyataan ini membuat tenaga medis di Hindia-Belanda tidak bisa mengandalkan obat-obatan impor semata. Sebaliknya, mereka mulai melirik tanaman-tanaman herbal yang ditemukan di wilayah tersebut sebagai alternatif.

Pada tahun 1850, rumah sakit militer di Weltevreden tercatat memiliki kebun yang ditanami tanaman herbal. Kebun ini diprakarsai oleh Geerlof Wassink, yang selama lebih dari satu dekade menjabat sebagai direktur layanan kesehatan kolonial, Presiden Perhimpunan untuk Kemajuan Ilmu Kedokteran di Hindia Belanda, dan Editor Jurnal Kedokteran Hindia Belanda.

Masalah ketersediaan obat impor menjadi semakin pelik akibat minimnya apotek yang menjualnya. Hesselink menyebutkan hanya ada 3 apoteker pusat, 25 apoteker militer, dan 9 apoteker swasta di Jawa. Minimnya jumlah apoteker tidak dapat dilepaskan dari kurangnya kesejahteraan mereka dibandingkan profesi tenaga medis lainnya.

Medium sized JPEG 55 1
Apotek milik Rathkamp & Co di Yogyakarta. Sumber: KITLV

Apoteker Eropa terikat oleh berbagai ketentuan pemerintah. Mereka harus bekerja sesuai dengan farmakope/panduan. Di samping itu, mereka diberi tanggung jawab untuk memastikan ketersediaan obat setidaknya untuk satu tahun ke depan.

Sejalan dengan perkembangan ilmu medis di Eropa, pemerintah kolonial memutuskan mengontrol penuh peredaran obat-obatan. Melalui Staatsblad No. 97 tahun 1882, pemerintah kolonial mengatur pelayanan apotek di Hindia-Belanda.

Dalam pasal 58 diterangkan bahwa seorang apoteker hanya diperbolehkan menjalankan profesinya pada satu apotek. Apabila ia ingin membuka apotek kedua miliknya maka dirinya harus menempatkan seorang apoteker kompeten yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan apotek.

Setiap apotek harus memiliki timbangan dan takaran yang akurat, salinan farmakope Belanda, dan stok obat-obatan yang wajib tersedia. Yang terpenting, apoteker hanya diperbolehkan memberikan obat sesuai dengan resep dokter.

Seiring dengan banyaknya jenis obat yang beredar, pemerintah kolonial berupaya menyempurnakan peraturan yang sudah berlaku dengan mengeluarkan Ordonansi Obat-Obatan yang termuat dalam Staatsblad 1937 No. 641.

Medium sized JPEG 61 1
Potret seorang apoteker di Weltevreden. Sumber: KITLV 13475

Beberapa poin penting dari peraturan tersebut adalah pendirian Geneesmiddelencommissie yang bertugas mengawasi peredaran obat di Hindia-Belanda. Tugas komisi ini kurang lebih mirip BPOM sekarang.

Di samping itu, regulasi dalam pendirian dan pengoperasian toko obat resmi juga diperketat. Seorang pedagang obat harus memiliki lisensi yang diperoleh dari kepala jawatan kesehatan. Lisensi ini hanya berlaku untuk dirinya sendiri dan tidak boleh dipergunakan orang lain. Apabila yang bersangkutan meninggal otomatis lisensi menjadi tidak berlaku.

Sebuah toko obat harus memiliki papan nama yang menunjukkan kalau toko tersebut menjual obat. Namun, tidak semua toko obat diperbolehkan memajang label “apotek” atau “apoteker” di tokonya, hanya toko obat yang mempekerjakan apoteker yang diperbolehkan.

apotek
N.V. Simpangsche Apotheek. Salah satu apotek terbesar di Surabaya. Sumber: KITLV

Selain itu, mereka juga dilarang memakai label “toekang-toekang rempah”. Kebijakan ini diberlakukan untuk membedakan toko obat Eropa dan toko obat tradisional.

Setelah menerima obat dari distributor, apoteker wajib memilahnya dan memberikan label pada setiap obat. Secara berkala mereka juga diwajibkan mengikuti update obat-obat berbahaya yang termuat di dalam Javasche Courant.

Mereka dilarang menjual obat keras tanpa resep dokter atau menjual obat yang rusak segelnya. Regulasi yang ketat ini merupakan bentuk antisipasi peredaran obat ilegal di dalam masyarakat. Bagi pemilik apotek yang melanggar peraturan tersebut, dapat dicabut izinnya, dipenjara selama tiga bulan, dan didenda f500.

Dalam melakukan pekerjaannya, seorang apoteker Eropa biasanya dibantu oleh asisten bumiputra. Akan tetapi, tidak semua penduduk bumiputra dapat menjadi asisten apoteker, mereka setidaknya harus memiliki ijazah Mulo.

Penduduk bumiputra belum diperbolehkan mengelola toko obat sendiri. Bahkan, wacana untuk mendirikan sekolah untuk asisten apoteker baru mulai terdengar pada dekade ketiga abad ke-20.

Baca juga: Sejarah Jamu di Nusantara

Perkembangan bisnis apotek di Hindia-Belanda juga terbilang cukup lambat. Sampai pada tahun 1937 hanya terdapat 76 apotek swasta yang dikelola oleh apoteker Eropa; sekitar 69 apotek berada di Jawa. Sementara itu, terdapat 190 asisten apoteker yang membantu.

Daftar Pustaka

Baas, P. (2017). The golden age of Dutch colonial botany and its impact on garden and herbarium collections. Tropical plant collections: Legacies from the past, 53-62.

Boomgaard, P. (1996). Dutch medicine in Asia, 1600–1900. In Warm Climates and Western Medicine (pp. 42-64). Brill.

Boorsma, W.G. (1913). Aanteekeningen over oostersche geneesmiddelleer op Java. Buitenzorg: Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel.

Bruijn, I. (2009). Ship’s Surgeons of the Dutch East India Company: Commerce and the progress of medicine in the eighteenth century (p. 388). Leiden University Press.

de Haan F. (1935). Oud Batavia. Bandung: A.C.Nix.

Dienst der Volksgezondheid. (1939). Pharmaceutische Voorschriften in Nederlandsch-Indië. Bijeengebracht door het Hoofdkantoor D.V.G.

Dutch East Indies. (1882). Staatsblad van Nederlandsch Indie. Batavia: Landsdrukkerij.

Hesselink, Liesbeth. Healers On The Colonial Market. Leiden: KITLV Press, 2011.

Jones, A.W. (2011), Early drug discovery and the rise of pharmaceutical chemistry. Drug Test Analysis, 3: 337-344. https://doi.org/10.1002/dta.301.

Pols, H. (2009). European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation. East Asian Science 3.

Salmon, C., & Sidharta, M. (2007). Traditional Chinese medicine and pharmacy in Indonesia–some sidelights. Archipel74(1), 165-204.

Teichfischer, P. (2016). Transnational entanglements in colonial medicine. German medical practitioners as members of the health service in the Dutch East Indies (1816-1884). Histoire, médecine et santé, (10), 63-78.

Theunissen, W.F (Ed.). (1937). Nationaal Rapport van Nederlandsch-Indie. Mededeelingen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië. Vol. 26 No. 3.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *