Praktik sunat perempuan mungkin terdengar asing bagi masyarakat Indonesia abad ke-21, terutama karena popularitasnya jauh tertinggal dibandingkan sunat pria. Namun, tradisi ini memiliki akar sejarah yang panjang di Nusantara, dengan jejaknya yang masih dapat ditemukan di berbagai daerah.
Dalam perjalanannya, kontroversi selalu menyelimuti praktik ini. Mulai dari landasan dasar pelaksaan, urgensi, dan manfaatnya. Memasuki abad modern, gerakan untuk menghapus tradisi ini semakin menguat. Meski demikian, masih terdapat celah besar dalam pemahaman sejarah tradisi ini, yang sering kali terabaikan dalam diskusi publik.
Story Guide
Jejak yang Tertinggal
Catatan historis terkait sunat perempuan di Indonesia terbilang cukup langka. Salah satu catatan tertua tentang topik ini ditemukan dalam karya Nicolas Gervaise berjudul Description historique du royaume de Macacar, yang ditulis pada abad ke-17.
Dalam tulisannya, Gervaise menyebutkan bahwa sunat perempuan dilakukan sebagai upaya untuk “menyelamatkan jiwa” dan dianggap berbeda dari praktik sunat perempuan di kalangan masyarakat Turki.
Catatan ini menimbulkan pertanyaan tentang asal usul praktik tersebut: apakah tradisi ini sudah ada sebelum kedatangan Islam, atau justru baru muncul setelahnya? Beberapa pendapat menyatakan bahwa bentuk sunat perempuan mungkin telah ada sebelum masuknya Islam. Namun, argumen ini kerap tidak didukung oleh bukti yang jelas.
B. J. O. Schriecke, seorang pejabat Belanda yang mempelajari laporan dari seluruh Hindia-Belanda, menyatakan bahwa tidak ada indikasi masyarakat animis di Nusantara pernah mempraktikkan sunat perempuan.
Selain itu, pengaruh kepercayaan Hindu-Buddha yang mendominasi wilayah Nusantara selama milenium pertama Sebelum Masehi, khususnya di Jawa, juga memperkecil kemungkinan adanya tradisi sunat perempuan sebelum kedatangan Islam (Hefner 1985; Koentjaraningrat 1988).
Dalam tradisi Hindu, mutilasi alat kelamin dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana terlihat pada masyarakat di Pegunungan Tengger atau India modern.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa penutur bahasa Austronesia di Nusantara mempraktikkan sunat perempuan sebelum masuknya pengaruh Islam.
Menurut Feillard dan Marcoes (1998), sunat perempuan di Nusantara mulai dikenal bersamaan dengan kedatangan Islam pada awal abad ke-13. Pendapat ini diperkuat oleh temuan etnografer Belanda, G.A. Wilken, yang menyatakan bahwa praktik tersebut hanya dilakukan secara eksklusif oleh komunitas Muslim. Wilken juga menegaskan bahwa sunat perempuan bukan merupakan tradisi asli penduduk Nusantara, melainkan diadopsi dari budaya Arab.
Praktik ini menjadi populer di kalangan umat Islam yang menganut mazhab Shafii, yang menganggap sunat perempuan sebagai kewajiban agama. Namun, pandangan ini mungkin lebih mencerminkan norma-norma budaya pra-Islam dari wilayah seperti Lembah Sungai Nil, ketimbang bersumber langsung dari ajaran Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh lemahnya dasar-dasar kitab suci dalam mendukung prosedur tersebut.
Al-Quran sama sekali tidak menyebutkan ataupun melarang sunat perempuan. Meskipun ada beberapa hadits yang sering digunakan untuk melegitimasi praktik ini, kesahihannya diragukan dan interpretasinya masih menjadi perdebatan. Dengan demikian, praktik sunat perempuan lebih bersifat sebagai tradisi budaya yang dilekatkan dengan agama, daripada aturan yang berasal langsung dari ajaran Islam.
Tujuan Sunat Perempuan
Dalam penelitiannya di Jawa, Wilken mencatat bahwa sunat perempuan dilakukan dengan membuang sebagian kecil klitoris, yang secara lokal dikenal dengan istilah putung-itil, berarti “memotong klitoris.”
Beberapa ahli mengaitkan praktik ini erat dengan upacara penerimaan agama, di mana seorang perempuan dianggap resmi menjadi Muslim setelah menjalani sunat. Menurut Wilken, tujuan utama dari sunat perempuan di Jawa lebih bersifat ritual keagamaan, berbeda dengan praktik mutilasi kelamin di Afrika, yang melibatkan pengangkatan seluruh klitoris, sebagian besar labia, hingga infibulasi.
Di Asia Tenggara, termasuk Jawa, sunat perempuan secara tradisional dilakukan dengan sayatan kecil yang hanya mengeluarkan setetes darah atau bahkan hanya berupa gerakan simbolis tanpa melukai. Catatan dari tahun 1680-an di Sulawesi Selatan menggambarkan anak perempuan yang disunat tetap bisa beraktivitas normal keesokan harinya, menandakan bahwa prosedur ini tidak melibatkan operasi besar.
Dasar hukum sunat perempuan dalam Islam masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Snouck Hurgronje mencatat bahwa sebagian kecil masyarakat Jawa dan Sunda pada masa kolonial menganggap praktik ini sebagai kewajiban religius, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam kitab suci. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat cenderung mengabaikan praktik ini.
Sejalan dengan Wilken, Snouck juga melihat sunat perempuan sebagai simbol masuknya seorang perempuan ke dalam Islam. Dalam bahasa krama Jawa, praktik ini disebut njelamaké, berasal dari kata selam yang berarti “menjadikan seorang Muslim.” Snouck mencatat bahwa prosedur ini umumnya dilakukan pada anak perempuan berusia 2 hingga 7 tahun, meskipun ia tidak memberikan detail rinci mengenai prosesnya.
Praktik sunat perempuan di masa lalu dilakukan secara tertutup dan minim publikasi. Dalam laporan De Locomotief (12 Februari 1892), tercatat bahwa seorang ayah menyelenggarakan pesta sunat untuk anak laki-laki dan perempuan pada hari yang sama.
Namun, para tamu hanya diberi tahu bahwa anak laki-lakinya yang disunat, sementara informasi mengenai sunat anak perempuannya hanya diketahui oleh kerabat perempuan dan dukun beranak yang bertugas melakukannya.
Ritual ini kerap berlangsung dalam suasana hening, dan detail pelaksanaannya jarang diketahui publik. Baru pada tahun 1950-an, para antropolog mulai mendokumentasikan prosedur sunat perempuan secara rinci. Sunat perempuan biasanya melibatkan rangkaian upacara kompleks yang diakhiri dengan ritual makan.
Seorang bidan atau dukun perempuan dipercaya untuk melaksanakan prosedur ini. Mereka menggunakan berbagai alat tradisional seperti bambu tajam, duri pandan, jarum, pisau dapur, pisau lipat, silet, atau gunting untuk membuat sayatan kecil, goresan, gosokan, atau peregangan pada klitoris, labia minora, atau keduanya.
Setetes darah yang keluar dianggap sebagai tanda keberhasilan prosedur. Sepotong kecil daging yang diambil—sering digambarkan tidak lebih besar dari sebutir beras—kemudian dikuburkan sebagai bagian dari seremonial tradisional.
Sikap Masyarakat
Snouck Hurgronje (1923) mencatat bahwa pada akhir abad ke-19, banyak perempuan Jawa tidak menjalani sunat. Hal ini terkait dengan oposisi dari golongan sinkretis atau abangan terhadap praktik tersebut, yang mereka pandang sebagai simbol kepatuhan terhadap “tradisi Arab” yang kurang mereka sukai.
Baca juga: Kelahiran Abangan dan Polarisasi Islam di Jawa
Namun, sikap golongan sinkretis ini tidak sepenuhnya menolak sunat perempuan. Beberapa di antaranya menganggap sunat perempuan sebagai pilihan, sama seperti ritual lainnya dalam ajaran Islam. Banyak priyayi (bangsawan) Jawa, yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu, juga menyunat anak perempuan mereka.
Para ahli Jawa memilih menggunakan istilah lokal non-Arab, seperti kres di Jawa Tengah, atau istilah tetesan yang berasal dari kata Jawa kuno tetes, yang mungkin mengacu pada kepercayaan bahwa sunat perempuan dapat meningkatkan kesuburan.
Di Asia Tenggara, seperti di wilayah lain dalam dunia Islam, sunat perempuan sering kali terkait erat dengan sunat laki-laki. Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan pada tahun 1680-an, seorang anak laki-laki yang telah dijodohkan akan disunat pada hari yang sama dengan calon pasangannya, meskipun pelaksanaannya dilakukan di lokasi yang berbeda.
Sunat perempuan juga sering dikaitkan dengan dominasi budaya patriarki. Sunat telah lama dikatakan dapat mengatur nafsu perempuan, yang dipandang berlebihan dan dengan demikian mengancam stabilitas keluarga dan tatanan moral masyarakat.
Di samping itu, praktik ini juga kerap diklaim dapat meningkatkan kenikmatan seksual pria, yang menjadi salah satu alasan mendasar dalam pelaksanaannya. Pandangan seperti ini, yang umumnya dipegang oleh ulama pria, lambat laun diadopsi pula oleh kalangan perempuan.
Memasuki abad ke-21, penentangan terhadap praktik ini semakin kuat seiring dengan kemajuan ilmu medis. Meski pemerintah Indonesia terkadang mengambil sikap ambigu terhadap praktik ini, komunitas medis secara tegas menolak sunat perempuan.
Praktik ini dinilai tidak memberikan manfaat kesehatan sama sekali. Para ahli medis menekankan bahwa pemotongan klitoris atau bagian genital lainnya tidak hanya menyakitkan tetapi juga dapat membahayakan kesehatan. Dampaknya meliputi risiko pendarahan, infeksi vagina, dan infeksi saluran kemih yang serius.
Daftar Pustaka
Bočko, V. (2016). Khitan Perempuan: who speaks for the Indonesian female circumcision?. Ethnologia Actualis, 16(2), 43-65.
Bosworth, C. E., et al. (1978). Encyclopaedia of Islam. Leiden: Brill.
Clarence-Smith, W. G. (2012). Female circumcision in Southeast Asia since the coming of Islam. Self-determination and women’s rights in muslim societies, 127-134.
De Locomotief. 12 Februari 1892.
Feillard, A., & Marcoes, L. (1998). Female circumcision in Indonesia: to” Islamize” in ceremony or secrecy. Archipel, 56(1), 337-367.
Hurgronje, C. S. (1923). Verspreide geschriften van C. Snouck Hurgronje (Vol. 1). K. Schroeder.
Koentjaraningrat. (1988). Javanese Culture. Singapore: Oxford University Press.
Wilken, G. A. (1885). De besnijdenis bij de volken van den Indischen Archipel. Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 34, 165-206.