Intoleransi atas nama agama dan tumbuhnya semangat keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini kerap dikaitkan dengan kebijakan non-akomodatif pada masa Orde Baru terhadap umat Islam.
Sikap antagonis Soeharto terhadap Islam, khususnya pada masa-masa awal kekuasaannya, kerap diklaim telah mendorong tumbuhnya kelompok Islam transnasional (Said, 2016: 153; Heryanto: 2015: 44).
Tekanan Soeharto yang berlebihan terhadap gerakan Islam politik membuat artikulasi keislaman mereka tersumbat. Oleh sebab itu, saat rezim Orde Baru tumbang dan muncul ruang kebebasan yang cukup besar, berbagai kelompok Islam politik itu bermunculan.
Tidak ada yang salah dari penjelasan tersebut, namun mengabaikan faktor sejarah yang lebih panjang dapat menghalangi kita dalam melihat persoalan secara lebih komprehensif dan adil.
Perkembangan Islam Indonesia masa kontemporer tidak dapat dipisahkan dari latarbelakang masa lalunya yang panjang. Bangkitnya semangat keagamaan yang muncul belakangan ini tidak muncul begitu saja, tapi merupakan rangkaian dari perjalanan panjang islamisasi di Indonesia.
Sebelum Islam masuk, Jawa telah dikenal sebagai wilayah yang memiliki peradaban yang maju. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan berbagai karya sastra, candi, dan kerajaan Hindu-Buddha.
Setelah pengaruh Islam masuk, budaya Islam mulai membaur dengan budaya Jawa sehingga menghisalkan suatu sintesa mistik (mystic synthesis) yang diambil dari berbagai tradisi dan khazanah budaya Indonesia pra-Islam (Hindu-Buddha dan tradisi Jawa) serta ajaran Islam.
Budaya Islam saat itu dapat diterima karena disikapi sebagai salah satu khazanah budaya yang kaya. Oleh karena pencampuran tersebut, mayoritas Muslim di Indonesia pada rentang abad ke-14 hingga awal abad ke-19, menjalankan agama mereka dengan semangat sinkretis semacam ini (Ricklefs, 2006: 6).
Pemahaman sinkretis tersebut menjadikan umat Islam saat itu sangat religius dalam kesadaran hubungan mereka dengan kesatuan dan ketergantungan pada prinsip kosmik yang mencakup semua yang mengatur kehidupan mereka (Mulder, 1983: 260).
Abangan dan Putihan
Berbicara mengenai kemunculan terminologi abangan, Merle Ricklefs, sejarawan Australia, memaparkan bahwa munculnya istilah abangan dalam sistem masyarakat Jawa bersamaan dengan fenomena kebangkitan/pemurnian Islam yang dimulai pada paruh pertama abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Ricklefs (2007: 49) dalam bukunya Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions 1830-1930 meyakini bahwa proses kebangkitan Islam di Jawa bermula setelah berakhirnya Perang Jawa (1830). Pada rintang periode setelah peristiwa tersebut muncul gelombang pasang kaum “putihan” yang tak ada presedennya dalam sejarah Indonesia.
Istilah putihan ini merujuk pada muslim yang sangat berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan Hadis. Menurut laporan para misionaris Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG), istilah putihan lebih populer sebagai lawan kata “abangan” yang baru muncul pada abad ke-19 (Ricklefs, 2006: 41; Woodward, 2011: 58).
Sejarah kemunculan istilah itu penting untuk menyimak awal mula munculnya polarisasi dalam masyarakat Islam di Jawa dan sekaligus sebagai awal mula lahirnya kesadaran baru masyarakat muslim Indonesia.
Abad ke-19 adalah masa yang sangat menentukan bagi budaya dan peradaban di seluruh dunia, termasuk wilayah-wilayah yang mayoristas penduduknya beragama Islam.
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa yang krusial bagi sejarah dan masa depan kehidupan beragama di Indonesia. Berbagai polarisasi dan ketegangan sosial yangterjadi pasa masa ini memiliki implikasi jauh kedepan.
Istilah abangan muncul pada paruh pertama abad tersebut. Kaum putihan adalah kelompok yang pertama kali memperkenalkan istilah abangan untuk mengejek muslim lain yang tidak menjalankan syariat Islam secara sempurna.
Istilah abangan sendiri berasal dari kata Jawa rendahan (ngoko) abang, berarti warna merah atau coklat. Pada waktu itu, istilah yang biasa digunakan adalah bangsa abangan atau wong abangan. Dalam kata Jawa Tinggi (kromo) disebut abrit dan orang-orang ini disebut tiyang abritan (Ricklefs, 2006: 35).
Di lain pihak, kaum putihan yang merupakan minoritas saat itu, menganggap kelompok mereka sebagai kelompok yang paling saleh karena menjalankan syariat Islam layaknya di Timur Tengah.
Para haji dan pelajar yang pulang dari Mekah memainkan peran cukup besar dalam menyemai tumbuhnya kaum putihan di Indonesia. Jumlah mereka pun cukup banyak, tercatat pada tiga dekade terakhir abad ke-19, sebanyak 4000-8000 –15% dari keseluruhan jamaah di Arab– jamaah haji pergi ke Arab setiap tahunnya (Reid, 1967: 269).
Mereka inilah yang secara gencar dan terus-menerus melakukan pemurnian Islam di Nusantara. Tentu saja, yang menjadi model bagi mereka adalah praktek-praktek Islam yang dijalankan di Timur Tengah, di Jazirah Arab khususnya yang saat itu sedang tumbuh pesat gerakan Wahhabi.
Hubungan dengan Wahhabi
Apabila dikaitkan dengan sejarah perkembangan Islam di Timur Tengah, maka pada masa abad ke-18 sampai 19 merupakan periode perkembangan bagi gerakan Wahhabi di Jazirah Arab.
Wahhabisme sendiri merupakan gerakan pemurnian yang dicetuskan oleh Muhammad Abd al-Wahhab pada abad ke-18, sebagai respon terhadap ajaran-ajaran Islam yang disintesiskan dengan ajaran tradisional setempat. Ia menganggap praktek Islam seperti itu sebagai perilaku syirik atau politeisme (Nasution, 1975: 23-25; Hitti, 2006: 948).
Pada awal abad ke-19, Wahhabisme memasukkan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah ke dalam ajaran pokok mereka dan praktek mengkafirkan muslim lain (takfir) yang pernah ditolak oleh Abd al-Wahhab justru dijadikan sebagai salah satu praktek mereka yang menonjol.
Hingga saat ini pun, gerakan ini bersikeras bahwa umat Islam yang tidak menerima atau menjalankan doktrin-doktrin mereka adalah kafir (Armstrong, 2014: 664).
Kelahiran abangan di Jawa dan perkembangan Wahhabi di Arab yang bersamaan memperkuat asumsi bahwa ada beberapa jamaah haji Indonesia yang pulang dari tanah suci membawa doktrin Wahhabi untuk kemudian diterapkan di Jawa.
Penerapan inilah yang pada akhirnya memunculkan dikotomi abangan dan putihan di Jawa, karena menurut Ricklefs kaum abangan adalah orang-orang menjalankan ibadah yang dicampurkan dengan tradisi yang dianggap oleh orang putihan sebagai bidah dan sesat. Untuk itu salah satu misi utama mereka adalah meluruskan praktek-praktek Islam lokal yang dilakukan oleh kelompok abangan.
Berkembangnya Polarisasi
Dikotomi antara bangsa putihan dan bangsa abangan dalam memeluk Islam tidak hanya tergambarkan dalam praktek keagamaan, tetapi juga mencerminkan perbedaan sosial yang lebih umum.
Bangsa putihan umumnya lebih kaya, aktif dalam perdagangan atau perusahaan, berpakaian lebih baik, memiliki rumah yang lebih baik, tampak lebih baik dalam tatakrama, menghindari opium, judi, menjalankan rukun Islam, dan lebih memberi perhatian lebih pada pendidikan anak-anak mereka.
Sementara itu kaum Abangan lebih tertarik pada ritual-ritual yang berhubungan dengan alam dan hubungan sosial antar manusia. Jadi meskipun mereka lebih miskin, namun lebih aktif dalam aktivitas yang berhubungan dengan tradisi seperti slametan, pertunjukkan wayang dan gamelan daripada menjalankan rukun Islam dan menampilkan kesalehan agama.
Perilaku abangan ini seringkali memicu konflik antar golongan, karena banyak pula golongan putihan yang menganggap pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang terlarang dalam ajaran Islam (Ricklefs, 2006: 52).
Abangan dan putihan adalah dunia yang berbeda satu sama lain. Mereka dibedakan berdasarkan kelas sosial, pendapatan, pekerjaan, pakaian, pendidikan, sopan santun, kehidupan budaya, dan cara membesarkan anak-anak.
Perbedaan ini semakin berkembang hingga merambah pada bidang ekonomi yang meliputi (perdagangan, peminjaman uang, dan hutang). Pada akhirnya kepentingan mereka yang saling bertentangan dengan mudahnya menimbulkan ketidaksukaan dan konflik.
Pada dekade-dekade awal abad ke-20, identitas-identitas Jawa yang saling bertentangan ini menjadi dilembagakan dalam organisasi-organisasi modern dan khususnya politik. Setelah itu mereka menjadi lebih kaku dan konfliktual.
Berkaitan dengan uraian di atas, sudah seharusnya perpecahan antara kaum abangan dan putihan dapat dijadikan sebagai pelajaran pada masa kini, agar kerukunan dan toleransi yang telah menjadi identitas masyarakat Indonesia tetap terjaga.
Tanpa adanya kesadaran pada sejarah masa lalu, maka bangsa ini pada akhirnya hanya akan terjebak pada ego masing-masing yang tidak memberi manfaat apapun bagi perkembangan negara ini. Perbedaan aliran dan praktek keagamaan seharusnya disikapi dengan cara bijak.
Sikap-sikap arogan yang menganggap golongannya paling suci dan benar, sementara menganggap golongan lain lebih rendah sebaiknya dihindari. Dengan kedewasaan sikap tersebut, maka Islam Indonesia dapat bersemai kembali dengan identitas aslinya yang penuh toleransi dan menjunjung tinggi persatuan.
Daftar Pustaka
Buku
Armstrong, Karel. 2014. Fields of Blood. Bandung: Mizan.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs. Jakarta: Serambi.
Nasution,Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ricklefs, Merle Calvin. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: EastBridge Books.
Ricklefs, Merle Calvin. 2007. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions 1830-1930. Singapura: Nus Press.
Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Mizan.
Woodward, Mark. 2011. Java, Indonesia, and Islam. London: Springer.
Jurnal:
Mulder, Niels. 1983. “Abangan Javanese Religious Thought and Practice”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 139, 2de/3de Afl.
Reid, Anthony. 1967. “Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia”. The Journal
of Asian Studies, 26.
Ricklefs, Merle Calvin. 2006. “The Birth of the Abangan”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 162, No. 1.