Islamisasi Nusantara yang dimulai pada abad ke-13 ternyata ikut merambah ke pulau Kalimantan. Masuknya Islam di Kalimantan merubah corak budaya Hindu-Budha yang sudah berada di sana sejak abad ke-4. Transformasi budaya Hindu ke Islam dimulai dengan Pangeran Samudra penguasa Banjar yang menjadi mualaf. Dengan penguasa yang memeluk agama Islam tersebut, menandai periode kesultanan Islam di Banjar. Pada pembahasan kali ini kita akan mengkaji kesultanan Banjar, mulai awal Islamisasi hingga perkembangannya.
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan
Islam masuk ke Kalimantan Selatan sudah dimulai sejak abad ke-15. Sama seperti daerah Nusantara lainnya, pedagang masih memegang peran penting dalam proses Islamisasi di Kalimantan Selatan. Para pedagang Muslim yang datang ke Kalimantan bagian Selatan ini mayoritas berasal dari pulau Jawa. Pelayaran dari Jawa ke Kalimantan yang tidak begitu dipengaruhi oleh angin musim timur dan barat, mendorong perluasan Islam dari Jawa. Dengan ini menjelaskan banyaknya unsur kebudayaan Jawa di Banjarmasin.
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan sebenarnya sudah ada sebelum Sultan Suriansyah (raja pertama Kerajaan Banjar) memerintah. Dikatakan Sunan Giri pernah berlayar ke Pulau Kalimantan dengan membawa barang dagangannya. Sesampainya di pelabuhan Banjar, penduduk yang miskin diberinya barang dengan cuma-cuma. Kedatangan Sunan Giri ini bisa dikatakan sebagai usaha perluasan dakwah Islam. Sunan Giri sendiri mempunyai hubungan dengan Raja ketiga Nagara Daha yaitu Sari Kaburungan. Diriwayatkan anak dari Sari Kaburungan, Raden Panji adalah murid sekaligus menantu dari Sunan Giri.
Proses Berdirinya Kesultanan Banjar
Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang kedatangan Islam dapat kita telusuri dari Hikayat Banjar. Kerajaan Hindu di Kalimantan pada masa itu berpusat di Nagara Dipa, kerajaan ini didirikan pada abad XII oleh Empu Jatmika. Kemudian dalam perkembangannya raja ketiga Nagara Dipa, Sari Kaburungan memindahkan pusat kerajaan ke sebelah Selatan, tepatnya di hulu sungai Nagara (sekarang dikenal sebagai daerah Amuntai).
Kerajaan tersebut mempunyai hubungan dengan kerjaan Majapahit semasa pemerintahan Suryanata, karena perkawinannya dengan putri Jungjung Buih. Kitab Negarakertagama telah menyebut pengaruh kekuasaan Majapahit yang sampai daerah-daerah sepanjang sungai Nagara, Batang Tabahing, Barito, dan sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Kalimantan Selatan, muncul konflik perebutan Tahta Nagara Daha antara dua keturunan Maharaja Sukarama, pangeran Samudra dan pangeran Tumenggung. Pangeran Tumenggung yang haus akan kekuasaan sangat memusuhi Pangeran Samudra, karena menurut wasiat Maharaja Sukarama (raja keempat Nagara Daha) pangeran Samudra merupakan yang berhak mewarisi tahta Nagara Daha. Untuk menghindari ancaman Tumenggung, Patih Aria Trenggana memberikan nasehat agar pangeran Samudra yang saat itu masih kecil meninggalkan Istana untuk sementara.
Setelah Pangeran Samudra meninggalkan istana, ia menyamar sebagai nelayan di pesisir pantai Serapat, Belandian, Kuin, Balitung, dan Banjar. Ketika pangeran Samudra dewasa, dia bertemu dengan Patih Masih penguasa daerah tersebut. Kemudian, setelah berunding dengan Patih Balit, Patih Balitung, dan Patih Kuin mereka sepakat mengangkat pangeran Samudra menjadi Raja Banjar. Salah satu alasan mereka mendukung pangeran Samudra adalah karena mereka tidak ingin lagi daerahnya menjadi kampung yang terus menerus mengantar upeti ke Daha.
Pada tahun 1526, Pangeran Tumenggung yang mendengar kabar berdirinya sebuah kerajaan di Pantai Kalimantan Selatan, tidak tinggal diam. Ia segera menyusun rencana dan mengirimkan armadanya ke sungai Bariot dan di Hujung Pulau Allak. Sadar kekuatan pasukannya belum cukup untuk mengalahkan Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudra memutuskan meminta bantuan raja Demak Sultan Trenggana. Demak bersedia membantu pangeran Samudra, namun dengan syarat mereka mau menganut Islam beserta rakyatnya.
Pangeran Samudra menerima syarat tersebut dan Sultan Trenggana mengirim 1000 pasukan bersenjata di bawah pimpinan seorang penghulu. Bantuan dari Demak menambah kekuatan 40.000 pengikut pangeran Samudra. Dengan bantuan tentara Demak, Kerjaan Nagara Daha dapat dikalahkan dan pangeran Tumenggung mengakui Raden Samudra sebagai raja. Sejak saat itulah kesultanan Banjar berdiri dan daerah-daerah lainnya tunduk kepada Banjar. Setelah penghulu mengislamkan Raden Samudra dan rakyatnya. Seorang Arab memberikan gelar baru kepada Raden yaitu Sultan Suryanullah. Setelah itu, rombongan pasukan Demak dan penghulu kembali ke tanah Jawa, dengan membawa hadiah-hadiah. Selanjutnya, semua raja Banjarmasin menggunakan nama-nama Arab.
Perkembangan Kesultanan Banjar
Ketika Pangeran Samudra naik tahta dengan gelar Sultan Suriansyah, beberapa daerah mengakui kekuasaannya, seperti Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan. Sultan Suriansyah memerintah dari tahun 1526 hingga 1550. Pada masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Banjar meliputi Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebangau, Mandawai, Katingan, Sampit, Pambuang, Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan, Kota Waringin, Pasir, Kutai, dan Berau. Secara keseluruhan daerah-daerah ini terletak di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, sedangkan pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Ibukota Kerajaan Banjar adalah Banjarmasin. Kota ini terletak di muara Sungai Barito, sehingga memungkinkan kapal-kapal besar berlabuh di sana kemudian Raden Samudra memindahkan Bandar kerajaannya dari Muarabahan (Marabahan) ke Banjarmasin. Dengan pemindahan Bandar perdagangan ke Banjarmasin itu dimungkinkan untuk mengadakan pengawasan langsung terhadap lalu lintas perdagangan yang menjadi sektor yang paling berpengaruh dalam Negara.
Setelah Sultan Suriansyah wafat, dia digantikan oleh putranya, yaitu Sultan Rahmatullah, ia berkuasa pada tahun 1550-1570. Setelah Sultan Rahmatullh wafat ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Hidayatullah, yang berkuasa pada tahun 1570-1595. Setelah Sultan Hidayatullah mangkat, maka jabatan sultan dipegang oleh putranya yang bernama Sultan Mustain Billah, yang memerintah tahun 1595-1620.
Pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah inilah pusat Kesultanan Banjar dipindahkan ke Kayuwangi, Martapura. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Mustain Billah (1595-1620), Sultan Inayatullah (1620-1637), dan Sultan Saidullah (1637 – 1642).
Ketika Belanda datang dan menimbulkan kekacauan, Kesultanan Bajar mengalami kerugian. Akibatnya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Amuntai, kemudian ke Tambangan, dan Batang Banju. Sebenarnya VOC sudah datang ke Banjar sejak 1606 untuk meminta monopoli lada namun usaha mereka belum terwujud. Baru setelah adanya kontrak yang ditandatangani Belanda dan Syahbandar Kesultanan Banjar pada 1635 perdagangan lada dimonopoli oleh Belanda. Setelah perjanjian antara VOC dengan Sultan Martapura ditandatangani, perlawanan terhadap Belanda menurun.
Ketika Inggris datang daerah Banjar sempat dimonopoli Inggris selama 75 tahun, setelah itu kembali dikuasai Belanda. Sejak 1826 kekuasaan Sultan Banjar dibatasi oleh pihak Belanda. Pada tahun 1852, terjadi persaingan antar dua putra mahkota yang memperebutkan jabatan sultan di Kesultanan Banjar. Mereka adalah Pangeran Hidayatullah, putra Sultan Muda Abdurrahman dari permaisuri Ratu Sitti dan Pangeran Tamjidillah, putra Sultan Muda Abdurrahman dari selir keturunan Cina, yang bernama Nyai Aminah. Secara tradisi, kedudukan Pangeran Hidayatullah lebih kuat untuk menggantikan ayahnya sebagai sultan, tetapi karena adanya campur tangan Belanda, maka yang berhasil menjadi sultan adalah Pangeran Tamjidillah. Pangeran Tamjidillah dilantik menjadi Sultan Banjar tanggal 8 Agustus 1852 dan sekaligus merangkap sebagai mangkubumi, ia bergelar Sultan Sulaiman Muda akan tetapi rakyatnya tidak senang dengan kepemimpinannya.
Melihat campur tangan pemerintahan Belanda dalam istana yang sedemikian rupa, membuat Pangeran Antasari, seorang keluarga istana Banjar, bergerak memimpin gerakan rakyat Banjar menentang kekuasaan Tamjidillah yang disokong oleh Belanda. Gerakan Pangeran Antasari didukung oleh Pangeran Hidayatullah, Kyai Adipati Anom, Tumenggung Surapati, Pembakal Sulil, Kyai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin. Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mulai berperang melawan Belanda dan Tamjidillah.Pada tanggal 25 Juni 1859, Tamjidillah dipecat Belanda karena tidak mampu meredam gerakan yang dilakukan oleh Pangeran Antasari.
Pada tahun 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah dan dibuang oleh Belanda ke Cianjur kemudian Pangeran Antasari diangkat sebagai pemimpin rakyat Banjar, dia diberi gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. dia melanjutkan perjuangan rakyat Banjar sampai tanggal 11 November 1862 kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Muhammad Seman. dia melanjutkan perjuangan ayahnya sampai tahun 1905 dan dia lebih memilih mati syahid di tangan musuh daripada merelakan rakyat Banjar dijajah oleh Belanda.
Sistem Pemerintahan Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar pada abad ke-17 M, mempunyai hubungan dengan kerajaan Mataram di Jawa. Hubungan yang terjalin ini memberi pengaruh terhadap sistem pemerintahan Banjar. Cence, seorang sarjana mengatakan corak organisasi pemerintahan Banjar banyak mendapatkan pengaruh dari Jawa, kemungkinan berasal dari Demak atau Mataram. Meskipun, sistem pemerintahan dibangun menurut model Jawa, raja tidak mempunyai kekuasaan seabsolut raja-raja Mataram.
Dalam sistem pemerintahan Kesultanan Banjar, keturunan dan kekayaan sangat menentukan dalam kedudukan raja. Pada dasarnya pemerintah kesultanan Banjar bersifat aristokratis, yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Sultan mempunyai posisi sebagai penengah golongan bangsawan dan para pedagang besar.
Sultan dalam struktur kesultanan Banjar adalah penguasa tertinggi, yang mempunyai wewenang dalam masalah politik dan keagamaan. Dalam struktur pemerintahan ini, kekuasaan tertinggi kedua dipegang oleh putra mahkota yang dikenal dengan sebutan Sultan Muta. Sultan Muta tidak mempunyai jabatan tertentu, tetapi pembantu Sultan. Disamping Sultan, terdapat lembaga dewan mahkota yang terdiri dari kaum bangsawan dan Mangkubumi.
Seperti yang sudah djelaskan, posisi sultan memang mempunyai wewenang tertinggi. Namun, dalam melaksanakan pemerintahan sultan dibatasi oleh dewan Mahkota, keluarga dekat raja, dan Mangkubumi. Dewan Mahkota berfungsi sebagai penasehat sultan dalam mengambil keputusan penting dalam kebijakan kesultanan. Dengan besarnya pengaruh Dewan Mahkota ini, sering terjadi upaya untuk melemahkan kedudukan sultan.
Mangkubumi mempunyai peran besar dalam roda pemerintahan Banjar. Mangkubumi mempunyai wewenang dalam keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Jabatan Mangkubumi tidak diwariskan dengan sistem turun temurun, tetapi jabatan Mangkubumi sendiri biasanya dipegang oleh keluarga Sultan yang terdekat.
Mangkubumi dalam pemerintahan Banjar dibantu oleh Menteri Panganan, Menteri Pangiwa, dan Menteri Bumi. Tiga menteri utama ini dibantu oleh 40 orang menteri sikap. Setiap menteri sikap mempunyai bawahan sebanyak 100 orang. Menteri Panganan dan Pangiwa bertugas mengurusi keuangan dan administrasi kesultanan. Dalam mengatur perdagangan terdapat Syahbandar yang bertugas mengatur perdagangan dengan daerah lain. Perlu dicatat peran Syahbandar sangat sentral dalam perdagangan Banjar, karena pelabuhan di Kalimantan Selatan merupakan persinggahan berbagai pedagang dari penjuru dunia.
Sistem hukum di kesultanan Banjar pada awalnya tidak menganut hukum Islam. Baru ketika memasuki abad ke-18, saat pemimpin agama dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, hukum Islam mulai berlaku. Sebelumnya, hukum yang berlaku di kesultanan Banjar berpedoman dalam buku undang-undang hukum yang bernama Kutara. Kutara ini disusun oleh Arya Trenggana ketika menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan.
Untuk mengatur daerah luar Istana, terdapat sistem elite birokrasi yang saling membawahi satu sama lain. Kita bisa mengurutkannya seperti ini Adipati (provinsi) membawahi Lalawangan (Kabupaten), Lalawangan membawahi Lurah (kecamatan, Lurah membawahi Pembakal (desa). Dalam menjaga keamanan keraton dibentuk suatu badan khusus yang bernama pasukan Sarawisa. Kelompok ini terdiri dari 50 orang anggota, yang dikepalai oleh Surabraja. Selain pasukan Sarawisa, terdapat suatu pasukan khusus yang bertugas mengawal raja ketika menerima pembesar kerajaan lain. Kelompok ini bernama Mamagasari yang beranggotakan 40 orang.
Terdapat suatu kelompok pembersih Bailarung yang beranggotakan 50 orang juga, kelompok ini dikepalai oleh pejabat Raksayuda. Selain petugas pembersih, terdapat pula kelompok yang bertugas untuk merawat persenjataan, kelompok ini bernama Saragani yang dikepalai oleh Saradipa. Sultan juga sangat memperhatikan keamanan rakyatnya, terbukti dengan dibentuknya kelompok Pariwara yang bertugas mengawasi dan menjaga keamanan pasar, mereka beranggotakan 40 orang. Jika kita melihat sistem pemerintahan Kesultanan Banjar, kita dapat melihat suatu komplesitas suatu pemerintahan masa lalu yang diterapkan di kesultanan Nusantara.
Sistem Ekonomi dan Sosial Kesultanan Banjar
Jika meninjau dari sudut geografis, Kalimantan Selatan mempunyai posisi yang strategis dalam lalu lintas perdagangan Nusantara. Letak yang strategis inilah yang mendukung kesultanan Banjar mengalami perkembangan perekonomian secara pesat mulai abad ke-16 sampai abad ke-17. Perdagangan di Banjarmasin pada permulaan abad ke-17, didominasi oleh para pedangang Tionghoa. Kuatnya penarikan lada dari mereka untuk perdagangan ke Tiongkok mengakibatkan penanaman lada meningkat pesat.
Lada merupakan komoditi ekspor terbesar kesultanan Banjar. Kemajuan ekspor lada ternyata membawa perubahan kebijakan politik istana. Para penguasa berusaha menguasai tanah yang lebih luas dalam bentuh tanah apanage, yaitu tanah yang hasilnya dipungut keluarga sultan. Tanah-tanah tersebut dijadikan sebagai ladang-ladang penanaman lada. Dengan adanya kebijakan yang seperti ini membuat para bangsawan dan pedagang memiliki kekayaan yang melimpah.
Soal kepemilikan tanah terdapat peraturan khusus yang mengaturnya. Seluruh tanah yang berada dalam wilayah kesultanan adalah milik sultan, namun tanah tersebut dapat digarap oleh penduduk biasa asalkan membayar pajak kepada sultan. Tanah yang dibuka dan dikerjakan oleh perseorangan disebut tanah wawaran dan jika dikerjakan secara berkelompok disebut handil.Terdapat perbedaan batasan wawaran bangsawan dan rakyat biasa, golongan bangsawan maksimal mencapai 200 junjungan sedangkan rakyat biasa hanya 40 junjungan.
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk piramid. Lapisan paling atas dalam strata tersebut adalah golongan penguasa yang terdiri dari kaum bangsawan yang memiliki kedudukan di dalam birokrasi dan menguasai industri perdagangan. Selain kaum bangsawan, para pemimpin agama Islam juga termasuk dalam golongan paling atas tersebut. Penempatan pemimpin agama sebagai golongan teratas dikarenakan agama Islam merupakan agama resmi Kesultanan dan pemimpin agama Islam termasuk dalam struktur pemerintahan.
Strata kedua diisi orang-orang Belanda, hal ini karena hubungan baik antara Sultan dengan Belanda dalam perdaganagan. Hubungan baik ini memberikan kebebasan pada mereka untuk mengeruk kekayaan yang ada. Selanjutnya, strata ketiga atau yang paling bawah diisi oleh rakyat biasa. Rakyat biasa ini biasa disebut orang jaba, yang terdiri dari petani, nelayan, pedangan dan sebagainya.
Peran Ulama dalam Kesultanan Banjar
Perkembangan Islam di Kesultanan Banjar tidak dapat kita lepaskan dari peran Ulama. Ulama sebagai elite religius memberikan peran besar bagi pemerintahan kesultanan Banjar. Sultan dan ulama pada saat itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa adanya kesatuan tersebut mustahil Islam dapat berkembang dengan cepat di kesultanan Banjar. Hubungan baik antara sultan dan ulama dapat dilihat dari kitab Sabilal Muhtadin. Kitab Sabilal Muhtadin merupakan kitab yang ditulis atas permintaan sultan, untuk dijadikan pedoman hukum meski masih terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti hukum waris dan pernikahan.
Jika membiacarakan ulama yang paling berperan besar dalam perkembangan Islam di Kesultanan Banjar, maka tidak dapat melepaskannya dari Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Muhammad Arsyad Abdullah Al-Banjari seperti yang telah dikupas dalam pembahasan Peran Ulama Nusantara Abad ke-19 merupakan ulama yang pernah menuntut ilmu di Haramain, sepulangnya dari Haramain dia menjadi tangan kanan Sultan Tahmidullah II, dan diminta tinggal di Istana. Dia merupakan ulama pertama yang mendirikan lembaga-lembaga Islam serta memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan. Muhammad Arsyad mendirikan lembaga pendidikan Islam. Selain itu, dia menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam menjadi acuan terpenting dalam pengadilan kriminal.
Muhammad Arsyad dengan dukungan sultan mendirikan pengadilan Islam terpisah untuk mengurusi masalah-masalah hukum sipil murni. dia juga memprakarsai diperkenalkannya jabatan mufti yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial. Pemikiran Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari mengenai hukum dan ajaran Islam, perlahan-lahan dapat memasuki ruang istana. Dalam masyarakat Banjar ajaran fiqh dari madzhab Syafi’I sangat berpengaruh, sehingga menjadi hukum adat rakyat. Muhammad Arsyad juga merupakan ulama yang sangat mencintai budaya, dia merupakan pelopor musik Hadrah yang kita kenal sampai sekarang.
Ulama lain yang perannya tak kalah besar dalam perkembangan Islam di Banjar adalah Muhammad Nafis Idris Husayn Al-Banjari. Muhammad Nafis merupakan ahli kalam dan tasawuf, dengan karyanya Durr Al-Nafis. Sama halnya dengan Muhammad Arsyad, dia menuntut ilmu agama di Haramain. Dalam mempelajari ilmu tasawuf, Syekh Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar Mursyid, gelar yang menunjukkan bahwa dia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Berbeda dengan Muhammad Arsyad, yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencurahkan dirinya dalam usaha melanjutkan penyebaran Islam di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan. Sehingga dia sangat berperan dalam perkembangan Islam di daerah pedalaman Kalimantan Selatan yang sebelumnya jarang terjamah oleh dakwah ulama.
Pembahasan mengenai peran ulama juga sekaligus menutup pembahasan kita mengenai Sejarah Kesultanan Banjar. Sebuah kesultanan yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam di pulau Kalimantan. Semoga pembahasan ini menambah wawasan sejarah kita mengenai kesultanan-kesultanan di Nusantara.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Taufik. 2004. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.
Azra, Azyumardi. (ed). 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak dua.
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun, M. Yahya. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.
Pusponegoro, Marwati Junet & Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka