Membicarakan Natal rasanya kurang lengkap tanpa mengikutsertakan Sinterklas. Kendati demikian, tidak banyak dari kita yang tahu mengapa sosok ini begitu ikonik hingga senantiasa muncul dalam perayaan Natal.
Story Guide
Santo Nikolas
Sinterklas atau Santo Nikolas hidup pada masa kekuasaan Kaisar Konstantinus Agung. Riwayat mencatat bahwa ia lahir pada tahun 270 di Patara, sebuah kota di Lycia yang sekarang bagian dari Turki. Nikolas, yang kemudian menjabat sebagai uskup di Myra, dikenal karena keteguhan imannya dan kasih sayangnya yang besar.
Walaupun detail kehidupannya tidak terdokumentasi secara rinci, legenda menceritakan perjalanan-perjalanannya ke Palestina dan Mesir saat masih muda.
Nikolas kehilangan kedua orang tuanya pada usia muda dan mewarisi kekayaan yang melimpah. Namun, ia memilih untuk menggunakan harta tersebut untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.
Salah satu cerita paling terkenal mengenai Santo Nikolas adalah ketika ia membantu tiga saudari miskin yang akan dijual oleh ayah mereka ke dalam perbudakan atau prostitusi. Untuk mencegah nasib tragis menimpa mereka, Nikolas memberikan uang kepada mereka untuk membayar mas kawin agar bisa menikah.
Santo Nikolas menjadi terkenal di seluruh Eropa pada abad pertengahan setelah relikuinya “diselamatkan” dari Myra dan dibawa ke Italia pada tahun 1087. Kisah-kisah kemurahan hatinya melahirkan tradisi pemberian hadiah kepada anak-anak setiap menjelang 6 Desember atau dikenal juga sebagai Hari Santo Nikolas.
Hari Santo Nikolas
Seiring waktu berjalan, tradisi perayaan Hari Santo Nikolas menyebar ke seluruh Eropa. Bahkan, setiap wilayah memiliki ciri khasnya sendiri.
Contohnya, di Belanda, terdapat pasar-pasar khusus yang menjual mainan dan hadiah selama perayaan berlangsung. Penduduk sangat antusias menyambut perayaan ini, bahkan perayaannya lebih ramai dibandingkan perayaan Natal.
Menurut tradisi orang Belanda, Sinterklaas (sebutan untuk Santa di Belanda) biasanya diam-diam memasuki rumah-rumah melalui pintu yang terkunci atau turun melalui cerobong asap untuk meletakkan hadiah-hadiah di dalam sepatu dan kaus kaki anak-anak.
Di Prancis, khususnya di daerah seperti Alsace dan Lorraine, anak-anak yang menantikan Père Noël (sebutan Sinterklas di Prancis) menaruh sepatu mereka dengan harapan di pagi hari menemukan sepatu itu berisi cokelat dan hadiah-hadiah.
Tradisi ini disertai dengan parade keledai di sepanjang jalanan kota. Para keledai tersebut membawa keranjang penuh biskuit dan permen untuk dibagikan kepada anak-anak.
Sementara di wilayah Alpen Eropa Tengah, perayaan Hari Santo Nikolas secara bertahap diintegrasikan dengan kebiasaan lokal yang unik. Santo Nikolas tak hanya memberikan hadiah kepada anak-anak yang berperilaku baik, tapi juga ditemani oleh Krampus, figur menakutkan yang “menghukum” anak-anak nakal. Tradisi ini menekankan perbedaan antara hadiah dan hukuman, yang menjadi bagian cerita rakyat setempat.
Di wilayah barat Polandia, muncul sosok bernama Gwiazdor atau “Manusia Bintang.” Sosok ini mengenakan pakaian dari kulit domba dan topi bulu dengan wajah tersembunyi di balik topeng atau jelaga. Gwiazdor tidak digambarkan manis layaknya Santa. Selain membawa kantong berisi hadiah untuk anak baik, ia juga membawa tongkat untuk menghukum anak-anak nakal.
Transformasi menjadi Sinterklas
Transformasi Santo Nikolas menjadi Sinterklas terjadi secara bertahap, dipengaruhi oleh perkembangan budaya dan agama. Seiring berjalannya waktu, istilah “Sinterklaas” yang telah populer di Belanda diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi “Santa Claus”.
Popularitas Santa terus meningkat setelah gelombang imigran Eropa membawa tradisi Santo Nikolas ke Amerika. Pada akhir abad ke-18, Santo Nikolas mulai diadopsi oleh penduduk Amerika. Pada bulan Desember 1773- 1774, dilaporkan bahwa sekelompok keluarga Belanda di New York berkumpul untuk menghormati peringatan kematian Santo Nikolas.
Salah satu catatan paling awal tentang Santa di budaya Amerika dapat ditemukan dalam buku yang diterbitkan oleh Washington Irving pada tahun 1809, “Knickerbocker’s History of New York.” Buku ini menggambarkan Sinterklas terbang menggunakan kereta sambil memberikan hadiah kepada anak-anak.
Penampilan Santa Claus yang kita kenal, terutama dengan setelan merah yang ikonik, tampaknya merupakan hasil dari strategi pemasaran modern dalam wilayah berbahasa Inggris. Di Eropa, kostum Sinterklas cenderung mengikuti citra tradisional seorang santo, dengan pakaian yang lebih menyerupai busana uskup yang bersifat religius, lengkap dengan mitra atau topi keuskupan yang tinggi.
Kapan Sinterklas mulai dikenal di Indonesia?
Di Hindia-Belanda (kini Indonesia), Sinterklas mulai meraih popularitas sejak tahun 1860-an, yang terbukti dari munculnya iklan surat kabar menjelang Sinterklaasfeest.
Saat perayaan itu tiba, para orang tua Eropa di Batavia, Semarang, dan Surabaya terlihat mengajak anak-anak mereka mengunjungi toko-toko hadiah. Toko-toko ini memiliki daya tarik khusus karena dihias dengan tanaman hijau dan bendera.
Selain toko mainan, toko-toko roti juga menjadi destinasi favorit para umat Kristen di Jawa. Di sana, mereka bisa berkumpul dengan keluarga sambil menikmati es krim, kue, minuman, sembari menikmati musik. Tak heran jika antrean sering kali panjang ketika Hari Santo Nikolas tiba.
Euforia juga terasa di rumah-rumah orang Eropa. Tidak ada yang tinggal di dalam rumah, mereka keluar untuk bersenang-senang. Setiap individu memiliki cara sendiri untuk merayakan, mulai dari menari hingga bernyanyi di teras bersama tetangga mereka.
Sinterklaasfeest di Hindia-Belanda sering dianggap sebagai “periode persaudaraan singkat”. Bataviaasch Nieuwsblad mencatat bahwa perayaan ini dirayakan oleh semua orang Eropa, baik dari kelompok Eropa totok atau keturunan campuran Indo.
Dalam perspektif para antropolog, perayaan ini dianggap mempertegas batas-batas hierarki kolonial antara orang Eropa dan penduduk asli. Meskipun keramaian terjadi, penduduk asli dan orang Tionghoa tidak diberikan akses untuk berpartisipasi, mereka hanya bisa menyaksikan secara diam meskipun rasa ingin tahu tetap ada.
Baca juga: Menyaksikan Perayaan Natal di Hindia-Belanda
Masuk ke abad ke-20, Sinterklaasfeest mulai dikritik, terutama oleh kelompok Eropa keturunan penuh, yang melihat perayaan di tanah koloni sebagai sesuatu yang kacau dan jauh dari kesopanan. Sentimen ini semakin diperkuat oleh krisis ekonomi dan meningkatnya semangat nasionalisme di kalangan penduduk asli, yang akhirnya menyebabkan berhentinya perayaan Santo Nikolas di jalanan dan digantikan oleh keramahtamahan di restoran dan kafe.
Meskipun peringatan Hari Santo Nikolas tak selalu diadakan di jalanan, sosok Sinterklas tetap ada. Seiring dengan popularitas tradisi pemberian hadiah saat Natal, Sinterklas tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Natal di Hindia-Belanda pada abad ke-20.
Referensi
Hagstrom, W. O. (1966). What is the meaning of Santa Claus?. The American Sociologist, 248-252.
Hall, C. M. (2008). Santa Claus, place branding and competition. Fennia-international journal of geography, 186(1), 59-67.
Helsloot, J. I. A. (2006). Sinterklaas en Kerstmis op Java, 1870-1941. Indische Letteren, 21(1), 12-30.
Siefker, P. (2006). Santa Claus, last of the wild men: The origins and evolution of Saint Nicholas, spanning 50,000 years. McFarland.
Wolf, E. R. (2017). Santa Claus: notes on a collective representation. In Process and Pattern in Culture (pp. 147-155). Routledge.