Hampir setiap orang yang bekerja ingin meningkatkan taraf hidupnya. Begitu pula harapan para kuli yang datang ke Perkebunan Deli. Mereka rela melakukan perjalanan jauh ke tanah seberang dengan harapan dapat mengumpulkan pundi-pundi uang demi meningkatkan taraf hidup.
Namun, wilayah Sumatra saat itu belumlah bersahabat bagi manusia. Kondisi alam yang keras, ketersediaan fasilitas kesehatan seadanya, hingga nutrisi yang kurang baik, semuanya berkontribusi dalam tingginya tingkat mortalitas kuli perkebunan kala itu.
Kondisi ini diperparah oleh perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan perusahaan terhadap para kuli. Untuk keluar dari sistem ini juga tidaklah mudah, karena pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan untuk membelenggu para kuli agar dapat terus dipekerjakan.
Story Guide
Para Kuli Perkebunan Deli
Migrasi buruh ke Sumatra terjadi seiring dengan diperkenalkannya budidaya tembakau di Perkebunan Deli pada tahun 1863. Inisiatif ini diprakarsai oleh Jacobus Nienhuys, yang memainkan peran kunci dalam pengembangan perkebunan tembakau di wilayah tersebut.
Pada tahun 1869, Jacobus Nienhuys mendirikan Deli Compagnie, perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi entitas terbesar di daerah tersebut setelah bergabung dengan Deli Planters Vereeniging/DPV (Asosiasi Pekebun Deli) yang didirikan pada tahun 1879.
Pada awalnya, mayoritas tenaga kerja yang direkrut berasal dari Cina. Jumlah pekerja Cina di Deli berkembang pesat, mulai dari 900 kuli pada tahun 1869 menjadi 8.000 kuli pada tahun 1870. Mereka awalnya direkrut melalui agen-agen pekebun Deli, tetapi sejak tahun 1888, pekerja-pekerja ini direkrut langsung dari Cina.
Lalu, bagaimana nasib penduduk setempat? Bagi para pekebun, populasi orang Batak dan Melayu dianggap terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di samping itu, mereka tidak memiliki keinginan untuk bekerja di Perkebunan Deli.
Sebagai alternatif, para pekebun cenderung merekrut buruh Jawa dalam jumlah terbatas. Namun, merekrut pekerja Jawa dalam jumlah besar bukanlah tugas yang mudah pada masa itu. Meskipun di Jawa terjadi peningkatan jumlah penduduk pada akhir abad ke-19, ada beberapa pertimbangan yang membuat para pekebun enggan merekrut pekerja dari Jawa.
Sebagian pengusaha perkebunan meyakini stigma penduduk bumiputra pasif, malas, dan tidak bisa diandalkan. Di sisi lain, pekerja Cina dianggap lebih mudah beradaptasi dengan pekerjaan borongan yang ada di perkebunan. Selain itu, pemerintah Hindia-Belanda menetapkan standar upah minimum yang lebih tinggi bagi buruh Jawa dibandingkan dengan upah rata-rata buruh Cina.
Para pekerja Jawa yang direkrut awalnya dipekerjakan di sektor infrastruktur, termasuk pembangunan jalan, proyek irigasi, pembangunan rumah dan lumbung, penebangan kayu, serta pengangkutan tembakau.
Namun, situasi ini tidak bertahan selamanya. Pada awal abad ke-20, keadaan berbalik 180 derajat, setelah pekerja Jawa berduyun-duyun memutuskan pindah dan bekerja di Sumatra.
Perubahan sikap ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk ledakan populasi yang tidak terkendali di Jawa, penurunan standar hidup, dan peluang ekonomi yang semakin terbatas di sana. Migrasi besar-besaran ini juga didorong oleh campur tangan pemerintah.
Akan tetapi, faktor utama di balik migrasi besar-besaran ini adalah dimulainya pengembangan budidaya tanaman ekspor seperti kopi, gula, kelapa sawit, dan karet di Sumatra. Budidaya tanaman ekspor ini muncul pasca surutnya permintaan terhadap tembakau pada pada akhir abad ke-19.
Para pekerja tanaman ekspor ini dibayar dengan upah harian, bukan borongan seperti sebelumnya. Sistem pengupahan ini berhasil memikat pekerja Jawa, karena menawarkan keamanan finansial yang lebih baik.
Seiring dengan itu, para pekebun mulai cenderung untuk menempatkan pekerja mereka secara permanen di lokasi Perkebunan Deli. Kebijakan ini menjadikan pekerja Cina, yang lebih suka bekerja dalam periode waktu yang singkat, kurang diminati. Di sisi lain, para kuli Jawa bersedia untuk bermigrasi ke Sumatra dan menandatangani kontrak jangka panjang. Bahkan, seringkali mereka membawa keluarga mereka bersama dalam perpindahan ini.
Pertumbuhan jumlah kuli Jawa di Sumatra begitu luar biasa. Pada 1884, jumlah mereka hanya sekitar 1.771, tetapi pada 1907 jumlah mereka sudah mencapai 51.665, sekaligus menggeser pekerja Cina sebagai pekerja mayoritas.
Menariknya, pada pergantian abad ini, tidak hanya para kuli pria yang datang ke Deli, tetapi mulai banyak kuli perempuan yang datang. Mereka dijanjikan bekerja di bagian penyortiran dengan bayaran yang menarik.
Penderitaan para Kuli Perkebunan
Kehidupan para pekerja Perkebunan Deli jauh berbeda dibandingkan pekerja perkebunan era sekarang. Pada periode pembukaan lahan, para kuli diperlakukan tidak jauh berbeda dengan para budak.
Perlakuan terhadap para kuli sangat kejam dan pemerintah kolonial tidak melakukan banyak hal untuk mencegah kekerasan terjadi. Pada tahun 1880-1890-an, klapzaken (kasus-kasus pemukulan terhadap kuli) secara rutin dilaporkan di koran-koran lokal.
Menurut penuturan para pekebun Eropa, hukuman berat diberikan untuk mendisiplinkan para kuli yang malas. Terkadang, para pengusaha Perkebunan Deli juga sering mengeluh, kuli mereka melarikan diri setelah menerima uang muka.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kolonial mengesahkan Ordonansi Kuli 1880. Peraturan tersebut memungkinkan perusahaan untuk mengontrak kuli selama tiga tahun. Mereka yang berusaha melarikan diri selama masa kontrak bisa dikenai sanksi pidana dan ditangkap oleh polisi.
Adanya dasar hukum ini membuat para pekebun semakin berkuasa. Mereka tidak ragu-ragu untuk memecat kuli yang sakit atau bahkan menghukum mereka dengan cara yang sangat kejam.
Masalah Kesehatan Pekerja
Selain perlakuan yang semena-mena, kondisi kesehatan para kuli di Deli juga sangat memprihatinkan. Buruknya kesehatan para pekerja disebabkan oleh kombinasi lingkungan yang keras dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai.
Selama periode pembukaan lahan, banyak kuli Cina yang menjadi korban ganasnya lingkungan Sumatra kala itu. Breman memperkirakan rasio kematian pada periode ini berkisar antara 250–330 per 1000 orang. Mayoritas dari mereka menderita berbagai penyakit seperti malaria, demam, beri-beri, dan disentri. Namun, perkiraan ini tidak didukung oleh sumber-sumber seperti Laporan Kolonial dan laporan Perusahaan Perkebunan Deli.
Tingginya angka kematian ini tidak terlalu mengherankan, pasalnya dalam laporan Deli Compagnie 1869-1879 pelayanan kesehatan yang diberikan hanya ala kadarnya. Pada tahun 1869 misalnya, Nienhuys hanya mempekerjakan seorang sipir Jawa untuk menjadi dokter para kuli.
Sayangnya, laporan tahunan Deli Compagnie terkait tingkat kematian baru mulai tersedia pada 1882-1883. Pada tahun-tahun ini angka kematian masih terhitung tinggi, disentri dan beri-beri menjadi penyebab terbesar, tetapi angka ini tidak setinggi periode awal pembukaan lahan. Di rumah sakit Deli Compagnie di Medan, tingkat kematian para kuli adalah 7,4 persen dan di rumah sakit di Langkat 14,4 persen.
Namun, laporan tingkat kematian di perkebunan selalu fluktuatif dan dapat berbeda dari satu sumber ke sumber lainnya. Biasanya, laporan yang disajikan oleh perusahaan cenderung mencatat tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan laporan yang berasal dari sumber eksternal perusahaan.
Pada awal abad ke-20 misalnya, perusahaan melaporkan bahwa tingkat kematian di antara kuli-kuli Tionghoa sekitar 5 persen. Namun, van Kol memperkirakan sekitar 238 per 1000 kuli meninggal.
Meskipun terdapat perbedaan dalam data, tetapi ada satu persamaan yang mencolok, yakni tingkat kematian kuli Cina lebih tinggi dibanding kuli Jawa.
Faktor pelayanan kesehatan biasanya dapat menjelaskan perbedaan semacam ini, tetapi dalam kasus kuli Deli, perbedaan ini tampaknya bukan disebabkan oleh perbedaan perawatan medis. Perusahaan menerapkan sentralisasi perawatan medis, sehingga perawatan yang diberikan kepada kedua kelompok kuli tidak berbeda.
Menurut Klaveren (1997), faktor-faktor seperti nutrisi yang berbeda, tingkat imunitas tubuh yang beragam, serta kebiasaan konsumsi opium dan alkohol oleh kuli Cina memainkan peran penting dalam menjelaskan perbedaan tingkat kematian ini.
Selama bekerja di perkebunan, variasi dalam pola makan kuli Jawa cenderung lebih beragam, sementara kuli Cina cenderung bergantung pada nasi sebagai makanan pokok mereka. Hal ini menjadi salah satu faktor tingginya angka kematian akibat beri-beri di antara kelompok kuli Cina.
Selain itu, perbedaan dalam tingkat imunitas tubuh juga memainkan peran penting. Laporan perusahaan mencatat bahwa banyak kuli Cina meninggal karena penyakit disentri, meski air minum yang mereka konsumsi sebenarnya lebih baik dibandingkan dengan kuli Jawa.
Belenggu Utang di Perkebunan
Tuntutan kerja yang berat dan siksaan yang kadang dialami, tentu saja meningkatkan tingkat stres di lingkungan para kuli perkebunan. Pada abad ke-20, manajemen mulai banyak mendatangkan pekerja perempuan dari Jawa.
Kebijakan ini ternyata memiliki tujuan ganda. Selain mendapatkan pekerja dengan upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja pria, para kuli perempuan ini juga dipekerjakan sebagai penghibur bagi para pekerja pria.
Menyewa kuli perempuan bisa dikatakan sebagai hiburan utama para pekerja pria di Deli. Namun, kebiasaan ini membuat pengeluaran mereka menjadi membangkak. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya terjerat utang.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh toko-toko perusahaan, yang menjual barang dengan harga mahal, untuk menawarkan kredit kepada para pekerja. Seiring berjalannya waktu, utang para pekerja semakin menumpuk, hingga mereka tidak memiliki pilihan selain tetap bertahan di perkebunan.
Selain prostitusi, godaan lain bagi para pekerja perkebunan adalah perjudian. Setelah masa panen, seringkali perjudian massal dilegalkan oleh manajemen perkebunan. Para mandor diberi uang tunai dalam jumlah besar untuk dipinjamkan kepada para kuli.
Baca juga: Menggali Jejak Eksploitasi Minyak di Hindia-Belanda
Dalam dunia perjudian, pihak yang kalah selalu lebih banyak daripada pemenang. Mereka yang kalah akhirnya terjebak dalam utang yang memaksa mereka untuk memperpanjang kontrak kerja mereka untuk melunasinya. Praktik-praktik semacam ini terus dilakukan guna menurunkan biaya perekrutan.
Bibilografi
Breman, J. (1987). Koelies, planters en koloniale politiek (Vol. 123). Brill.
________. (2023). Coolie labour and colonial capitalism in Asia. Journal of Agrarian Change, 23(2), 233-246.
Lamb, N. (2014). A Time of Normalcy: Javanese ‘Coolies’ Remember the Colonial Estate. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 170(4), 530-556.
Stenberg, J., & Minasny, B. (2022). Coolie Legend on the Deli Plantation: Tale, Text, and Temple of the Five Ancestors. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 178(2-3), 159-191.
Stoler, A. L. (1995). Capitalism and confrontation in Sumatra’s plantation belt, 1870-1979. University of Michigan Press. Van Klaveren, M. (1997). Death among coolies: Mortality of Chinese and Javanese labourers on Sumatra in the early years of recruitment, 1882–1909. Itinerario, 21(1), 111-124.