Organisasi Pembaharu di Indonesia Abad ke-20

Share your love

Dalam upaya pembaharuan Islam di Indonesia abad 20, pada  periode ini pemikiran organisasi pembaharu tidak terlepas oleh pengaruh pemikiran yang ada di Timur Tengah terutama Muhammad Abdul Wahab. Orang-orang Islam Indonesia mulai menyadari perlu adanya perubahan di berbagai aspek kehidupan. Dalam aspek agama, memahami kembali agama Islam sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Menjauhi segala bid’ah, khurafat dan tahayul dan apa saja yang bertentangan dengan ajaran islam murni. Sehingga munculah gerakan-gerakan Islam di Indonesia sebagai upaya ortodoksi agama Islam melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan seperti yang dilakukan oleh Sumatra Thawalib yang ada di pulau Sumatra kemudian Organisasi Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis yang berada di pulau Jawa.

Dalam upaya penyebaran agama islam yang puritan, organisasi ini tetap menggunakan gaya, model pendidikan barat sehingga bisa dikatakan lebih modernis. Namun dalam kelanjutannya, beberapa gerakan berkembang menjadi gerakan sosial-politik seperti Muhammadiyah, Sumatera hawalib, Persis. Ada pula gerakan yang muncul dibidang sosial-politik antara lain Sarekat Islam, PSII, PERMI, MIAI. Gerakan yang berkembang di Indonesia bisa dikelompokkan sebagai gerakan yang Puritanis-Reformis, Reformis-Modernis

Pola pemikiran Puritanis, Reformis, Modernis

Berbagai organisasi baik sosial, pendidikan ataupun politik mempunyai kecenderungan dalam pemikiran masing-masing. Tetapi keragaman ini bukalah berarti tidak adanya kesamaan di antara organisasi pembaharu. Dasar-dasar pemikiran mereka yang mencerminkan cita-cita atau semangat dalam pembaharuan itulah yang merupakan alasan kuat mereka semuanya adalah satu gerakan.[1]Kaum puritanis mempunyai motif keagamaan yang lebih menekankan pada pemurnian ajaran Islam.[2]Cita-cita pemikiran mereka yang demikian dibentuk dalam syariat hukum atau jalan, yang terdapat dibidang agama Din yang menyangkut segala cara-cara peribadatan yang sesuai perintah dan adanya barang baru dan tidak dapat diterima ini disebut Bid’ah.[3]

Orientasi keagamaan reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis modernis pengalaman ini tidak hanya terbatas kepada persoalan-persoalan ritual ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.

Kaum reformis modernis menerima perubahan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial, memiliki orientasi waktu ke depan, bersikap rasional, mudah menerima pengalaman baru, toleran, mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pada awal abad 20, sikap ini terlihat pada kaum modernis muslim yang menerima sebagian usur budaya barat dalam program sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa darimanapun asalnya ide atau gagasan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran islam adalah diperbolehkan. Modernisme islam dalam pemikiran keagamaan.[4]

Organisasi Pembaharu di bidang pendidikan

1. Sejarah gerakan Sumatera Thawalib

organisasi pembaharu
Thawalib School

Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) lahir di Maninjau pada tahun 1879. Ia memperoleh pendidikan elementer secara tradisional pada berbagai tempat di daerah Minangkabau dan kemudian pada tahun 1894 pergi ke Makkah untuk belajar selama 7 tahun. Lembaga pendidikan yang ada di Minangkabau adalah sekolah Thawalib atau pada awalnya bernama Surau Jembatan Besi, yang mulanya memberikan pelajaran agama dengan cara tradisional. Pelajaran yang utama diajarkan di Surau jembatan besi  seperti Fiqh dan tafsir Qur’an.

Selanjutnya ketika hadir tokoh ulama Minangkabau yaitu Haji Abdullah Ahmad yang pulang dari Makkah kira-kira pada tahun 1904, ajaran dalam Surau ditambah dengan mempelajari juga bahasa Arab upaya ini dilakukan agar mempermudah pelajar pada saat itu untuk memahami Islam dari kedua sumber utama yaitu Qur’an dan Hadits. Tahun 1916 sistem kelas diperkenalkan di Surau ini tetapi para siswanya masih duduk di lantai dan pembagian kelas dikelompokkan menjadi tiga tingkatan rendah, menengah, tinggi. Kemudian bagian rendah di pecah menjadi empat kelas. Sedangkan menengah dan tinggi dipecah menjadi kelas 5, 6 dan 7.

Baru ketika seorang guru dari sekolah tersebut yaitu Haji Jalaluddin Thaib pada tahun 1919 menyarankan untuk mengubah cara yang tradisional menjadi yang lebih modern, sistem kelas yang lebih sempurna. Pemakaian bangku-bangku dan meja, perbaikan kurikulum, kewajiban siswa pelajar untuk mambayar uang sekolah. Sehingga berdirinya organisasi dibidang pendidikan ini ditandai perubahan sistem surau menjadi sistem sekolah. Keanggotaannya pun mulai berkembang yang tadinya hanya terfokus pada anggota organisasi yang boleh masuk dalam pendidikan Sumatera Thawalib kemudian menerima pelajar di luar anggota.[5]

2. Sejarah Organisasi Muhammadiyah

muhammadiyah
Muhammadiyah

Organisasi ini didirikan pada di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan. Dalam upaya penyebaran agama Islam dan ilmu yang ia peroleh, atas saran dari murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo ia mendirikan sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen untuk menghindarkan praktek-praktek ajaran islam yang tidak sesuai dengan syariat.[6]

Muhammadiyah mengalami masa-masa pembentukan dan peletakan dasar-dasar organisasi yang memberikan arah bagi perkembangan di masa-masa kemudian. Infrastruktur organisasi muhammadiyah terdiri dari beberapa bagian : Bagian tabligh atau dakwah, bagian sekolahan, bagian Aisyiah, bagian penolong kesengsaraan umum / PKU, Hisbul Wathan, bagian penolong Haji.

Bagian kesekolahan tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga pendidikan modern yang dikelola muhammadiyah. Pada tahun 1921 muhammadiyah membuka lembaga pendidikan yang disebut pondok muhammadiyah, yaitu sebuah sekolah lima tahun yang mengajarkan ilmu agama maupun ilmu umum. Sehingga merupakan sebuah model pembaharuan pendidikan Islam yang diterapkan oleh Muhammadiyah.[7]

Gagasan keagamaan KH. Ahmad Dahlan yang paling awal adalah pemurnian ajaran Islam. Pada masa awal kemunculan Muhammadiyah Islam Indonesia telah identik dengan Islam sinkretisme sehingga dalam upayanya Muhammadiyah memberantas praktek tahayul, bid’ah Khurafat, kemudian tidak bersikap taqlid karena bisa membawa pada keterbelakangan pada umat Islam, mengenai pelurusan arah kiblat dan membentuk majelis Tarjih dibuat untuk menyatukan umat Islam yang berbeda faham dan Mazhab.[8]

3. Sejarah gerakan Al-Irsyad

Pendiri-pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang namun guru utama dari pedagang-pedagang itu ialah Syaikh Ahmad Soorkati. Ia adalah orang sudan yang lahir pada tahun 1872. Mulanya ia bergabung sebagai pengajar di Jami’at al-Khair namun karena ada perselisishan antara warga Jami’at al-khair yang mempermasalahkan kedudukan Sayid, ia mengambil keputusan keluar dari Jami’at al-khair dan bergabung di al-Irsyad pada tahun 1913. Semenjak itu ia mengajar di al-Irsyad. Al-irsyad sendiri penjuruskan perhatiannya pada bidang pendidikan terutama pada masyarakat Arab.[9]

4. Sejarah Persatuan Islam (PERSIS)

Persis adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama yang beraliran pembaharuan di bnadung pada 12 September 1923. Para ulama pendiri Persis antra lain KH. Zamzam dan A. Hasan. Persis merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang pembaharuan. Usaha pertama membasmi bid’ah, khurafat, Tahayul, taqlid dan syirik dikalangan umat Islam memperluas Tabliq dan dakwah Islam. Bidang usaha meliputi bidang dakwah, pendidikan dan penerbitan. Bidang pendidikan, organisasi Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan modern dan juga peasatren yang sangat berjasa dalam bidang pemberdayaan manusia demikian dalam bidang dakwah.[10]

Pemikiran puritanis di bidang Pendidikan

Kaum muda, Suamatra Thawalib (Minangkabau), pemikiran ulama-ulama disana antara lain, bahwasanya kemunduran umat Islam disebabkan pengabaian Syariat Islam. Sedangkan kepatuhan terhadap al-Qur’an dan Hadits pasti akan meningkatkan derajat kehidupan individual muslim dan melahirkan renaissance dalam komunitas muslim. Pentingnya penggunaan akal dan menentang praktik dan keyakinan adat.[11]salah satu pendidikan agama yang penting ialah majalah Islam. Di Minangkabau majalah yang mula-mula terbit ialah Al-Munir oleh Syekh Abdullah Ahmad dan dibantu oleh H. Rasul. Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa pendidikan dan pengajaran Islam di Minangkabau mencakup tiga jurusan 1. Pengajaran agama Islam di Madrasah, 2. Majalah-majalah Islam untuk masyarakat, 3. Adanya tablig-tablig, pidato-pidato, khutbah yang disampaikan dengan bahasa melayu sehingga difahami oleh masyarakat.[12]

Muhammadiyah, memperbaharui praktik Islam dan untuk memperbaiki kehidupan umat Islam. Muhammadiyah menekankan pada kesalehan hidup yang didasarkan dalam Qur’an dan Hadits. Menolak sistem hukum kewarisan muslim zaman pertengahan dan otoritas para wali dalam urusan agama. Muhammadiyah mengkritik berbagai ritual yang berbau adat, menolak praktik pemujaan tempat keramat, namun tidak menentang sufisme. Muhammadiyah bisa dikatakan Islam yang modernis dalam reformasi tradisi keagamaan muslim.[13]

Persatuan Islam (PERSIS), mencurahkan kegiatannya pada pengkajian agama, menyebarkan praktik ritual Islam yang benar dan kepatuhan dalam menjalankan hukum Islam. Menurut kelompok ini, Qur’an dan Hadits bisa diadaptasiakan pada kondisi baru melalui ijtihad. Persatuan Islam menentang praktik penggunaan jimat, pengguanaan kekuatan magis untuk penyembuhan, menentang sufisme yang mengajak pada praktik ritual yang tidak benar seperti pemujaan terhadap wali ataupun orang suci dalam berhubungan dengan Tuhan. Persatuan Islam juga mengecam pertunjukan wayang kulit dan teater karena mencerminkan nilai-nilai Hindu dan melahirkan kebebasan wanita.[14] Dalam bidang pendidikan, Persis mendirikan pesantren dengan tujuan mengeluarkan mubaligh-mubaligh yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela, mempertahankan agama Islam. Pelajarannya selain ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu umum.[15]

Al-Irsyad, meluaskan pusat perhatiannya yang mulanya hanya pada orang arab kemudian meluaskannya kepada persoalan yang mencakup persoalan umat islam di Indonesia. Dalam pengajarannya, al-Irsyad banyak berkiblat pada saran-saran dari Abduh bahwa dalam mendidik seorang anak hendaklah menekankan pada ilmu Tauhid(sebagai upaya untuk mengembangkan jiwa), Fiqh(memperbaiki budi pekerti dan memberi pelajaran yang bersandar pada Qur’an dan Hadits) dan sejarah Islam (menghidupkan kebenaran dan kegagahan Islam).[16]

Kesimpulan

Kaum puritanis mempunyai motif keagamaan yang lebih menekankan pada pemurnian ajaran Islam Orientasi keagamaan reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memeberikan dasar bagi semua aspek kehidupan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis modernis pengalaman ini tidak hanya terbatas kepada persoalan-persoalan ritual ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan.

Adapun gerakan Islam yang berjuang membela dan mengajarkan agama Islam sebagai upaya penanggulangan keterbelakangan pemikiran ataupunkebiasaan masyarakat pada saat itu antara lain; Sumatera Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, PERSIS. Seperti gerakan-gerakan Islam yang muncul di Indonesia abad ke-20 merupakan gerakan yang menginginkan kembalinya umat Islam pada kemurnian ajaran Islam melalui metode pendidikan yang berkiblat pada sistem barat upaya ortodoksi itu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Maarif, A. Syafi’i. Menggugat Modernitas Muhammadiyah.  Jakarta, Best Media Utama, 2010

Mulkhan, Abdul Munir. Satu Abad Muhammadiyah: gagasan pembaharuan sosial keagamaan. Jakarta:  Kompas, 2010.

Munir, Samsu.l Amin, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta,LP3ES, 1990.

Yunus, Mahmud.  Sejarah Pendidikan Islam DI Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.

[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 322-323

[2] A. Syafi’i Maarif, Menggugat Modernitas Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), hlm. 157

[3] Deliar Noer, Gerakan Modern.., hlm. 322-323

[4] A. Syafi’i Maarif, Menggugat Modernitas.., hlm. 13-15

[5]  Deliar Noer, Gerakan Modern.., hlm. 52-56

[6] Deliar Noer, Gerakan Modern…, hlm. 84-85

[7] Abdul Munir Mulkhan, Satu Abad Muhammadiyah: gagasan pembaharuan sosial keagamaan, (Jakarta:  Kompas, 2010), hlm. 62-63

[8] Abdul Munir Mulkhan, Satu Abad.., hlm. 12-15

 [9] Deliar Noer, Gerakan Modern…, hlm. 73

[10] Samsul Munir, Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 423-427

[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 332

[12] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam DI Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 78-90

[13] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial…, hlm. 328-329

[14] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial…, hlm. 330

[15] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidika..., hlm. 297

[16] Deliar Noer, Gerakan Modern…, hlm. 75-76

Rifai Shodiq Fathoni

Rifai Shodiq Fathoni

I explore disability and medical history as a history buff. I examine how society and medicine have treated and changed for people with disabilities over time.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *