Pembantu rumah tangga merupakan profesi yang umum ditemukan pada masa sekarang. Profesi ini dapat ditemukan dengan mudah di kota-kota besar di penjuru negeri, bahkan seringkali muncul dalam pemberitaan media, meski yang muncul adalah berita menyedihkan (menjadi korban pelecehan, pemerkosaan dll). Namun apabila berbicara mengenai sejarah pembantu rumah tangga dalam historiografi Indonesia, profesi ini adalah profesi yang nyaris tenggelam dalam gegap gempita tema-tema sejarah yang lain.
Barangkali sebagian dari kita akan bertanya, mengapa pembantu rumah tangga harus dikaji? Apa untungnya untuk kita?. Sikap-sikap pengabaian seperti itulah yang menyebabkan historiografi Indonesia hanya didominasi oleh tema-tema politik dan tokoh besar, sebaliknya tema-tema minoritas pun semakin tenggelam.
Pembantu Rumah Tangga dalam Pusaran Kolonialisme
Hindia Belanda terdiri dari berbagai kelompok sosial, namun apabila kita berbicara mengenai kelompok paling “subaltern”, sulit rasanya tidak memasukkan pembantu rumah tangga dalam kategori ini. Profesi mereka yang menuntut mereka untuk bersikap rendah hati, menjadikan suara mereka tidak pernah terdengar.
Karena alasan tersebut, mustahil menghadirkan suara dan pengalaman historis para pembantu ini langsung dari sumber aslinya. Apa yang bisa kita lakukan adalah merekonstruksi fragmen sejarah sosial mereka dari bukti tidak langsung (sensus).
Pembantu rumah tangga sebenarnya telah lama menjadi bagian dari tradisi di Jawa maupun di bagian lain Kepulauan, dan muncul dalam berbagai bentuk. Para pembantu itu dipekerjakan oleh para elite bumi putra dan jumlah pembantu yang dipekerjakan tergantung kekayaan.
Dalam masyarakat berlapis sosial seperti orang Jawa, hubungan antara majikan dan pelayan selalu hierarkis. Hubungan mungkin menyerupai ikatan patronclient, tetapi hubungan itu juga bisa berubah penuh kehangatan dan akrab secara emosional.
Sejak awal orang Belanda menempatkan diri mereka di atas aristokrasi Jawa, karena mereka merasa lebih superior secara ras dan budaya (Gouda, 1993: 321; Luttikhuis, 2013: 540).
Seiring dengan bertambahnya orang Belanda yang masuk ke Hindia Belanda, terjadi pula peningkatan kebutuhan pembantu rumah tangga. Para pembantu ini bekerja di bawah arahan para nyonya, kondisi ini menyebabkan interaksi sehari-hari di antara mereka pun tidak terhindarkan.
Pada awal abad ke-20, sebuah rumah tangga Eropa idealnya membutuhkan membutuhkan seorang pembantu rumah tangga pria (jongos atau sepen), pembantu rumah tangga perempuan atau pengasuh bayi (babu), dan seorang anak laki-laki untuk merawat kuda dan kebun (kebon). Akan tetapi jumlah pembantu juga tergantung kekayaan yang dimiliki, orang kaya bisa memiliki lebih banyak, yang lebih miskin mungkin memiliki lebih sedikit, bahkan hanya satu pelayan.
Di kota-kota yang telah memperkenalkan air keran, gas, dan listrik biasanya membutuhkan pelayan lebih sedikit. Perencanaan dan pembangunan kota modern menawarkan rumah-rumah yang lebih kecil dengan sanitasi modern, menyediakan lebih sedikit ruang bagi para pelayan yang biasanya tinggal di belakang rumah majikan mereka, seringkali dengan keluarga mereka di sekitarnya.
Dalam situasi baru ini para pembantu biasanya hanya datang bekerja pada siang hari, dan setelah selesai pulang kembali ke kampung (Locher-Scholten, 1994: 24). Kendati demikian, pembantu rumah tetangga tetap menjadi bagian penting dari budaya kolonial.
Meskipun memiliki peran penting, hanya sejumlah kecil orang Indonesia / Jawa yang menjadi pelayan. Pada sensus tahun 1930 hanya 2 persen dari total populasi pekerja Indonesia yang diklasifikasi sebagai pekerja rumah tangga, yaitu 350.000 orang (300.000 di Jawa, 50.000 di Wilayah Luar).
Komposisi pembantu rumah tangga di Hindia Belanda memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan Eropa. Apabila di Eropa saat itu, pembantu rumah tangga adalah pekerjaan utama perempuan. Di Hindia-Belanda, sekitar 39 persen dari pembantu rumah tangga adalah laki-laki, sedangkan 61 persen perempuan. Hanya sekitar 4 persen perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sementara 40 persen bekerja di perkebunan, 25 persen di industri kecil, dan 12 persen di perdagangan (Volkstelling 1930. III, hlm. 94-95).
Perekrutan pembantu dilakukan terutama dari mulut ke mulut, baik atas rekomendasi pelayan yang dapat dipercaya atau melalui perantaraan teman-teman Eropa.
Di Batavia pada 1930-an, berdiri beberapa kantor penyalur pembantu rumah tangga yang bertugas sebagai perantara antara pembantu dan majikan. Kantor-kantor ini memberi para anggotanya evalusiasi, surat rekomendasi, dan menerbitkan iklan.
Pembantu rumah tangga pada awalnya belajar langsung di lokasi tempat mereka bekerja. Mereka belajar pekerjaan dari nyonya mereka atau dari pelayan lainnya. Namun setelah berdiri Asosiasi Pembantu Rumah Tangga pada 1931, mulai saat itu diselenggarakan beberapa kursus jangka pendek memasak (menu Eropa) untuk kokki Indonesia serta kursus menjahit babu (Locher-Scholten: 92). Kursus ini diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan pasar atas pembantu dengan kemampuan mumpuni.
Baca juga: Jejak Kuliner pada Masa Kolonial
Perlakuan terhadap Pembantu Rumah Tangga
Sulit dipungkiri terdapat perlakuan yang berbeda untuk pembantu rumah tangga masa kolonial. Perlakuan yang cenderung diskriminatif ini dapat dilihat dalam buku pedoman dan buklet untuk pendatang baru atau pelancong.
Untuk urusan tata ruang teradapat usaha untuk menjauhkan pembantu rumah tangga di dari majikan. Para pembantu ditempatkan di belakang rumah berdekatan dengan dapur, kamar mandi dan gudang. Penempatan ini menjauhkan mereka dari ruang utama para tuannya.
Terdapat peraturan tidak tertulis bahwa pembantu tidak diperkenankan masuk ke rumah majikan, kecuali saat melakukan pekerjaan mereka. Begitu juga sebaliknya, nyonya sebaiknya tidak datang ke tempat tinggal pembantu, kecuali jika ada penyakit atau konflik internal di antara pembantu (Locher-Scholten, 1994: 27).
Pemisahan spasial dan sosial dianggap perlu tidak hanya dalam hal kontak fisik tetapi juga sejauh menyangkut aspek lainnya. Anak-anak tidak boleh makan makanan yang diberikan pembantu. Seorang ibu harus memberi makan anak-anak sendiri.
Anak-anak juga dilarang berbicara dengan pembantu bumiputra. Saat remaja pun mereka harus dijauhkan dari tempat tinggal para pembantu, karena di sana mereka akan mempelajari fakta tentang seksualitas. Pada masa itu membicarakan soal seks adalah hal yang tabu dan bertentangan dengan standar moral Barat abad ke-20.
Pada tahun 1930-an, seorang dokter medis memperingatkan para ibu agar tidak menyerahkan anak-anak mereka untuk dirawat babu. karena tangan mereka yang tidak bersih dan mungkin menulari gadis-gadis kecil dengan penyakit kelamin.
Kebersihan diatur ketat pada masa itu. Para pembantu dilarang mencampur pakaian majikannya dan pakaiannya ketika mencuci. Apabila sampai melakukan maka hukumannya adalah pemecatan langsung. Di samping itu, ia juga dilarang mencuci pakaian di sumur dekat kamar pembantu dan harus selalu dicuci di kamar mandi majikannya (Ibid, hlm. 25).
Meskipun demikian, apa yang disampaikan pedoman tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas. Karena pada realitasnya, masih banyak dan pembantu yang memiliki hubungan sangat dekat dengan keluarga majikannya. Malah seringkali hubungan dekat antara anak majikan dan babunya begitu dekat, seperti yang dapat dilihat dalam foto-foto di artikel ini.
Babu adalah orang yang mengenalkan budaya lokal dan anak-anak bumiputra keinpada mereka, sehingga tidak mengherankan apabila hingga dewasa banyak dari mereka masih mengingat jasa para babunya (Gouda, 1993: 328).
Kisah-kisah tentang para pembantu masa kolonial memang sangat ambivalen. Di satu sisi, pembantu rumah tangga digambarkan sebagai manusia kotor, pemalas, terlalu memanjakan anak-anak Eropa dan tidak bisa di andalkan. Di sisi lain, mereka dipuji karena sikap santun, keterampilan, dan kepatuhan.Oleh sebab itu, mereka dikenal lebih mudah bergaul dibandingkan pelayan Eropa.
Daftar Pustaka
Gouda, Frances. “Nyonyas on the Colonial Divide: White Women in the Dutch East Indies, 1900–1942”. Gender and History, Vol. 5 Issue. 3, 1993.
Locher-Scholten, Elsbeth. “Orientalism and the Rhetoric of the Family: Javanese Servants in European Household Manuals and Children’s Fiction.” Indonesia, no. 58 (1994): 19-39.
Locher-Scholten, Elsbeth. Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000.
Luttikhuis, Bart. “Beyond Race: Constructions of ‘Europeanness’ in Late-Colonial Legal Practice in the Dutch East Indies”. European Review of History: Revue européenne d’histoire, 20:4, 2013, 539-558.
Volkstelling van Nederlandsch-Indie I930. IlI Oost-Java. Batavia: Landsdrukkerij, 1934