Sejak kemunculannya, susu formula bayi telah mengubah kehidupan para orang tua modern, terutama bagi yang mengalami kesulitan dalam menyusui atau memilih untuk tidak melakukannya.
Namun, susu formula tidak langsung diterima oleh masyarakat secara luas; prosesnya memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai tingkat penerimaan seperti saat ini.
Story Guide
Botol Susu Abad Kuno
Tidak dapat disangkal bahwa ibu susuan telah menjadi alternatif utama dalam pemberian makanan kepada bayi selama berabad-abad. Namun, ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan makanan buatan sudah ada sejak masa lampau.
Penemuan bejana makan dari tanah liat yang berasal dari tahun 2000 SM di kuburan bayi yang baru lahir menjadi salah satu bukti. Bejana tersebut memiliki bentuk lonjong dengan cerat berbentuk seperti puting.
Baca juga: Pasang Surut Popularitas Ibu Susuan
Awalnya, objek-objek tersebut dianggap sebagai wadah untuk lampu minyak, tetapi analisis kimiawi menunjukkan adanya kasein dari susu hewan dalam residu wadah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa susu hewan telah digunakan sebagai alternatif pengganti ASI pada zaman kuno.
Pengembangan Botol Susu
Berbagai alat juga digunakan untuk memberikan susu hewan kepada bayi. Diantaranya terbuat dari kayu, keramik, dan tanduk sapi. Bahkan, botol susu yang terbuat dari tanduk sapi berlubang merupakan jenis yang paling umum digunakan pada Abad Pertengahan.Top of Form
Pada abad ke-1700-an, terdapat berbagai perangkat pemberian makan bayi yang terbuat dari timah dan perak. Salah satu di antaranya adalah bubby-pot dari timah, yang diciptakan pada sekitar tahun 1770 oleh Hugh Smith, seorang dokter di Rumah Sakit Middlesex di London.
Bubby-pot mirip dengan teko kopi kecil, tetapi memiliki perbedaan pada bagian leher yang menonjol dari bagian bawah teko. Ujung ceratnya membentuk kenop berbentuk hati kecil, dengan tiga hingga empat lubang kecil yang dilubangi.
Sebuah kain kecil diikatkan di atas lubang-lubang tersebut agar bayi dapat bermain dan menghisap susu. Pada masa ini, kain lap, potongan kecil kain linen, dan spons sering digunakan sebagai dot atau puting susu.
Namun, botol susu pada periode abad ke-16 hingga ke-18 sulit untuk dibersihkan, sehingga menyebabkan penumpukan kuman yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan bayi.
Kondisi ini berdampak pada kesehatan bayi, di mana pada awal abad ke-19, penggunaan alat menyusui yang kotor, ditambah dengan kurangnya tempat penyimpanan dan sterilisasi susu yang baik, menyebabkan kematian sepertiga dari semua bayi yang diberi susu formula pada tahun pertama kehidupan mereka.
Dengan kemajuan dalam botol susu dan dot modern, serta ketersediaan susu hewan yang lebih luas, dan perubahan pandangan masyarakat terhadap ibu susuan, pemberian makanan buatan menjadi semakin populer. Akibatnya, dunia kedokteran mulai memperhatikan nutrisi bayi dari sumber susu alternatif.
Susu Hewan Sebagai Makanan Alternatif
Sejak sekitar tahun 2000 SM, susu hewan telah digunakan sebagai alternatif makanan bagi bayi. Seiring berjalannya waktu, sumber susu alternatif berkembang menjadi susu formula sintetis yang dikenal saat ini. Namun, pada abad ke-20, dengan semakin agresifnya iklan, penggunaan bahan makanan buatan meningkat pesat, yang pada gilirannya memiliki dampak negatif pada tren menyusui.
Selama berabad-abad hingga akhir abad ke-19, susu hewan menjadi sumber pangan buatan yang paling umum. Jenis susu hewan yang digunakan bervariasi tergantung pada ketersediaan jenis hewan, seperti kambing, domba, keledai, unta, babi, atau kuda.
Namun, susu sapi menjadi jenis yang paling umum dan secara luas digunakan sebagai pilihan utama untuk pemberian makanan buatan kepada bayi.
Menciptakan Susu Formula
Pada abad ke-18, muncul analisis kimiawi pertama dari susu manusia dan susu hewan. Jean Charles Des-Essartz menerbitkan Treatise of Physical Upbringing of Children pada tahun 1760, yang membandingkan komposisi ASI dengan komposisi susu sapi, domba, keledai, kuda betina, dan kambing.
Berdasarkan karakteristik kimiawi ini, Des-Essartz menyimpulkan bahwa ASI adalah sumber nutrisi terbaik bagi bayi.
Karena ASI dianggap sebagai standar ideal, banyak ilmuwan berusaha untuk merumuskan susu non-manusia yang dapat menyerupai kandungan ASI.
Pada tahun 1865, ahli kimia Justus von Liebig mengembangkan, mematenkan, dan memasarkan makanan bayi pertama dalam bentuk cair, yang kemudian diubah menjadi bubuk untuk meningkatkan daya tahan.
Formula Liebig, yang terdiri dari susu sapi, gandum, tepung malt, dan kalium bikarbonat, saat itu dianggap sebagai pilihan makanan bayi yang sempurna.
Perkembangan ilmiah penting lainnya pada abad ke-19 adalah dalam bidang pengawetan makanan. Pada tahun 1810, Nicholas Appert mengembangkan teknik untuk mensterilkan makanan dalam wadah tertutup. Penemuan tersebut kemudian diikuti oleh penemuan susu evaporasi pada tahun 1835 oleh William Newton.
Setelah pemasaran makanan bayi Liebig dan penemuan susu evaporasi, banyak produk dan formula komersial lainnya diperkenalkan dengan cepat. Pada tahun 1883, sudah ada 27 merek makanan bayi yang dipatenkan.
Produk-produk ini, umumnya dalam bentuk bubuk, terdiri dari karbohidrat seperti gula, pati, dan dekstrin yang ditambahkan ke susu.
Meskipun mengandung zat-zat penggemuk, produk-produk tersebut awalnya kurang dalam nutrisi penting seperti protein, vitamin, dan mineral. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, nutrisi-nutrisi ini kemudian ditambahkan satu per satu.
Penggunaan susu formula buatan pada awalnya dikaitkan dengan tingginya angka kematian bayi pada musim panas karena pembusukan susu yang disimpan di dalam botol. Namun, hubungan ini belum dipahami hingga masyarakat mulai mengenal teori kuman.
Antara tahun 1890 dan 1910, terjadi penekanan pada kebersihan dan peningkatan kualitas produk susu. Perbaikan yang dilakukan mencakup memberikan perawatan yang lebih baik untuk sapi perah serta pembentukan klinik susu bayi untuk menyalurkan susu yang aman kepada masyarakat.
Pada tahun 1912, dot karet yang mudah dibersihkan mulai tersedia, dan banyak rumah dapat menyimpan susu dengan aman di dalam lemari es.
Baca juga: Evolusi Teknik Pengawetan Makanan
Pada tahun 1920-an, ilmuwan mulai mengembangkan formula berbahan dasar non-susu untuk bayi yang alergi terhadap susu sapi. Formula non-susu pertama yang berbahan dasar tepung kedelai mulai tersedia untuk umum pada tahun 1929.
Seperti halnya dengan susu formula pertama yang diperkenalkan pada akhir abad ke-19, susu formula kedelai awalnya juga kurang dalam kandungan nutrisi penting, terutama vitamin. Namun, masalah ini kemudian diatasi dengan fortifikasi vitamin.
Kontroversi Susu Formula
Seiring dengan perkembangan susu formula dan dukungan dari penelitian yang menunjukkan keampuhannya, produsen mulai mengarahkan iklannya langsung kepada para dokter.
Pada tahun 1929, American Medical Association (AMA) membentuk Komite Makanan untuk mengevaluasi keamanan dan kualitas komposisi susu formula, mengharuskan banyak perusahaan makanan bayi untuk mendapatkan persetujuan AMA atau “Seal of Acceptance” dari organisasi tersebut.
Tiga tahun kemudian, perusahaan susu formula diwajibkan untuk melibatkan dokter dalam pemasaran produknya.
Pada tahun 1940-an dan 1950-an, susu formula dianggap sebagai pengganti ASI yang terkenal, populer, dan aman oleh dokter dan konsumen, sehingga pemberian ASI mengalami penurunan yang stabil hingga tahun 1970-an.
Pemasaran susu formula yang agresif di negara-negara berkembang ikut berperan dalam penurunan pemberian ASI secara global. Penurunan ini menimbulkan publisitas negatif bagi produsen susu formula, dan pada tahun 1970-an, gerakan untuk mempromosikan pemberian ASI dimulai.
Namun, pada tahun 1988, produsen susu formula mulai mengiklankan langsung kepada publik, menciptakan ketegangan antara komunitas medis dan industri susu formula.
American Academy of Pediatrics (AAP) berpendapat bahwa iklan-iklan tersebut berdampak negatif terhadap praktik pemberian ASI, menghalangi saran para ahli gizi mengenai nutrisi bayi, menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen, dan meningkatkan harga susu formula.
Saat ini, banyak yang percaya bahwa perkembangan dan iklan susu formula sekali lagi berdampak negatif terhadap praktik pemberian ASI. Meskipun tingkat menyusui mencapai 90% pada abad ke-20, angka ini telah menurun menjadi sekitar 42% pada abad ke-21.