Ulama merupakan salah satu dari segment masyarakat yang ikut berjuang bersama untuk melawan adanya penjajahan di Nusantara. Peran ulama sangat vital selain sebagai penyebar agama Islam, sekaligus penggerak masyarakat untuk sadar akan butuh perjuangan untuk mengusir penjajah. Namun peran ulama tidak selalu bersentuhan langsung dengan penjajah, ada yang hanya melalui karya-karya atau pemikiran yang disampaikan melalui ceramah di muka umum yang menunjukkan ketidaksukaannya kepada penjajah. Pada abad ke- 19 ulama di Nusantara yang pernah belajar ke Mekkah rata-rata mendapat banyak pengaruh ilmu agama dan pengetahuan yang nantinya ketika kembali ke Nusantara mereka menyebarkan keilmuwan yang telah diperoleh.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, ulama yang satu ini memang tidak berurusan langsung dengan penjajah, tetapi pengaruhnya melalui pondok pesantren dan karya yang ia buat bahkan mampu mendorong terjadinya pemberontakan Cilegon 1888. Masih banyak lagi ulama abad ke-19 yang memiliki peran cukup berpengaruh dalam perkembangan Islam maupun perpolitikan di Nusantara. Peranan ulama di Nusantara abad ke-19 menjadi menarik untuk dibahas karena ternyata banyak sekali ulama berpengaruh dalam dinamika sosial-kemasyarakatan dan politik di Nusantara.
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada 17 Maret 1710 M di Lok Gabang dan meninggal tahun 1812 M di Dalam Pagar. Meski demikian, perkembangan ide-idenya berkembang pada abad ke-19. Ia merupakan ulama Fiqh bermazhabkan Syafi’i yang berasal dari tanah Banjar dan mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.
Kecerdasan yang ia miliki membuat Sultan Banjar meminta orang tuanya untuk mengasuh Muhammad Arsyad di istana bersama dengan anak-anak dan cucu keluarga kerajaan. Setelah berumur sekitar 30 tahun pun ia dinikahkan oleh sultan sendiri dengan seorang perempuan bernama Bajut. Ketika istrinya tersebut sedang hamil, Muhammad Arsyad pergi ke Mekkah untuk belajar dengan biaya dari sultan.
Di Mekkah, ia mempelajari agama bersama dengan teman-temannya yang antara lain Abdussamad al-Palimbani, Abdul Wahab Bugis, dan Abdurrahman Misri al-Bathawi. Mereka berguru tasawuf kepada Syeikh Abdul Karim al-Sammany. Mereka juga dikenal dengan julukan Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).
Pada akhir studinya di Mekkah, al Banjari diberi izin untuk mengajar di Masjidil Haram dan mengeluarkan fatwa. Ia mempersoalkan beberapa hal, antara lain adalah persoalan apakah Sultan Banjar berhak menghukum orang yang tidak melaksanakan salat Jum’at dengan denda pembayaran uang kepadanya. Persoalan ini kemudian dimuat dalam Kitab Fatawa, karangan Syeikh Sulaiman Kurdi.[1]
Ketika menginjak umur 35 tahun, al Banjari pulang ke tanah air yang sebelumnya melakukan ibadah haji terlebih dahulu. Ia pulang melewati Batavia dan di sana ia memperbaiki arah kiblat di beberapa masjid dengan memalingkan kiblat masjid sekitar 25⁰. Sesampai di Banjarmasin, ia dijuluki sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan mampu menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Beberapa peranan lainnya adalah sebagai berikut:
-
Kasus perkawinan
Ketika masih berada di Mekkah, Muhammad Arsyad mendapat kabar bahwa anaknya yang bernama Syarifah yang ada di Banjar sudah besar beranjak dewasa. Kemudian Arsyad menikahkannya dengan temannya, Abdul Wahab Bugis. Namun, ketika Muhammad Arsyad pulang ke Banjarmasin, ternyata Syarifah sudah dinikahkan oleh sultan dengan lelaki bernama Usman dan telah dikaruniai seorang anak. Di sini posisi sultan sebagai wali hakim atas dasar kuasa sultan sendiri.
Untuk memutuskan hukum dari pernikahan tersebut, maka Muhammad Arsyad mengadakan pemeriksaan tentang kapan waktu terjadinya kedua pernikahan itu bedasarkan keahliannya dalam ilmu falak dan mengingat perbedaan waktu di Mekkah dan di Martapura, Banjarmasin. Hasilnya, pernikahan di Mekkah terjadi beberapa saat sebelum pernikahan di Martapura. Atas dasar inilah ikatan pernikahan Syarifah dengan Usman diputuskan dan sebagai suami yang sah adalah Abdul Wahab Bugis.
-
Membuka desa dan mendirikan pengajian baru
Suatu ketika, sultan memberikan sebuah tanah kosong kepada Muhammad Arsyad. Tanah tersebut dipagari terlebih dahulu dan kemudian baru di dalamnya didirikan desa baru yang disebut dengan Dalam Pagar. Di sana ia mengurus pertanian, seperti penggalian saluran air baru untuk irigasi. Di desa ini terdapat delapan kampung di dalamnya. Salah satu kampungnya disebut dengan nama Kampung Sungai Tuan sebagai peringatan bahwa saluran air itu dibuat atas inisiatif Muhammad Arsyad. Di Dalam Pagar ini juga didirikan perpustakan dan pondok pesantren.
-
Membentuk jabatan mufti di Daerah Banjar
Mufti pertama di sini adalah cucunya, yakni anak dari Syarifah dan Usman, kemudian mufti selanjutnya selalu diambil dari keturunan Arsyad. Kesan kedudukan seorang mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang mengadakan kontrol dan berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.[2] Snouck Hurgronje saja yang sering mengeluh tentang kebodohan dan korupsi para hakim pada zamannya, mengatakan bahwa jabatan mufti di Banjarmasin sejak dulu sangat dihormati dan hanya ulama yang paling pandai dan berbakat saja yang bisa diangkat menjadi mufti sehingga sangat dipercaya oleh rakyat di sana.
-
Menentang paham wihdatul wujud
Di seluruh dunia Islam terjadi pertentangan terhadap paham wihdatul wujud, begitu pula Nusantara, termasuk dalam riwayat peristiwa al Banjari. Di daerahnya terdapat seorang bernama Haji Abdul Hamid yang mengajar tasawuf dengan isi antara lain “Tiada maujud, melainkan hanya Dia, tiada maujud lainnya. Tiada aku, melainkan Dia dan aku adalah Dia…”. Tersiar pula, bahwa pelajaran orang selama ini hanyalah kulit, “syari’at”, belum sampai kepada isi, “hakikat”. Ketika Haji Abdul Hamid dipanggil ke sultan, ia menjawab “Di sini tidak ada Haji Abdul Hamid. Yang ada Tuhan.” Ketika suruhan kedua memanggil agar “Tuhan, datang ke istana.”. Ia menjawab “Tuhan tidak bisa diperintah…”. Akhirnya, atas nasihat Muhammad Arsyad, sultan mengambil keputusan untuk menghukum mati Haji Abdul Hamid.
KH.Ahmad Rifa’i dilahirkan pada 9 Muharram 1200 H atau 1786 M di Desa Tempuran, Kabupaten Kendal. Pada usia sekitar enam tahun, ayahnya meninggal sehingga ia diasuh oleh kakak iparnya, Kyai Asy’ari, yang merupakan seorang ulama sekaligus pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu. Ia diajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan agama Islam, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqh, Badi’, Ilmu Hadits, dan Ilmu alquran di pondok pesantren tersebut.
Ketika usianya hampir 30 tahun, yakni sekittar tahun 1816 M, KH.Ahmad Rifa’i pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama delapan tahun ia bermukim di Mekkah untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan oleh Syeikh Ahmad Usman dan Syeikh al Faqih Muhammad ibn Abd Aziz al Jaisy. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Mesir selama 12 tahun untuk mendalami kitab-kitab fiqh mazhab syafi’i di bawah asuhan Syeikh Ibrahim al Bajuri.
Setelah 20 tahun belajar di Timur Tengah, KH.Ahmad Rifa’i pulang ke tanah air bersama teman-temannya, yakni Syeikh Nawawi dari Banten dan Syeikh Muhammad Khalil dari Bangkalan. Mereka menyusun kitab-kitab agama dalam bahasa daerah agar mudah dimengerti dan diamalkan oleh para muridnya yang berkaitan dengan ushuluddin, fiqh, dan tasawuf.
Sesampainya di tanah air, KH.Ahmad memilih tinggal di Desa Kaliwungu agar dapat memusatkan perhatiannya dalam merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarjumah. Selain itu, ia juga bekerja keras menanamkan keislaman kepada murid-murid dan masyarakat pada umumnya.[3] KH. Ahmad Rifa’i menjadi guru di pesantren kakak iparnya. Dalam mengajarkan ilmu agama, ia sering menyelipkan kritikan terhadap praktik keagamaan yang banyak dilakukan umat Islam pada waktu itu.
Akibatnya, hubungan KH.Ahmad Rifa’i dengan para penghulu beserta perangkatnya menjadi tegang. Hal ini menyebabkan ia dilaporkan kepada pemerintah Belanda dengan tuduhan bahwa KH. Ahmad Rifa’i sering membuat kerusuhan dan mengusulkan agar ia ditangkap. Pemerintah pun kemudian menangkap dan menahannya untuk dimintai keterangan.
Setelah bebas dari tahanan Belanda, ia dikucilkan oleh masyarakat Kaliwungu dan dipaksa pindah ke Kalisalak, wilayah Batang. Kemudian ia menetap di sana dan menikah dengan seorang janda yang bernama Sujinah. Di sinilah untuk pertaman kalinya KH. Ahmad Rifa’i mendirikan Lembaga Pondok Pesantren. Dalam waktu yang singkat banyak santri yang belajar kepadanya karena cara mengajarnya menggunakan gaya bahasa Jawa yang menarik dalam bentuk syair.
Dalam bidang tauhid, KH.Ahmad Rifa’i menekankan pentingnya ketauhidan kepada Allah dan Rasulullah dengan pengertian bahwa umat Islam harus membenarkan dan memantapkan diri terhadap perintah maupun larangan Allah dan Rasul-Nya. Realisasi dari ketauhidan tersebut adalah penyerahan diri sepenuhnya tunduk dan patuh mengikuti perintah Allah dengan menjalankan syari’atnya. KH. Ahmad Rifa’i menjadikan rukun Islam itu hanyalah satu dengan kalimat syahadat, yang mana pokok dari pengejawentahan ketauhidan pada umumnya.
Dalam salat jum’at, KH.Ahmad Rifa’i lebih menekankan jumlah jama’ah yang 40 orang harus sudah paham terhadap syarat rukunnya syahnya salat jum’at. Apabila dari jumlah minimal itu ada yang tidak paham maka salat jum’atnya dianggap batal. Dalam masalah pernikahan, ia tidak mengesahkan pernikahan yang dilakukan oleh penghulu sebab pihak-pihak dalam pernikahan dianggap tidak memenuhi syarat.
Selain itu, KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan bahwa tasawuf harus sepenuhnya diselaraskan dengan pertimbangan ilmu syari’at. Pengamalan tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan pengamalan syari’ah yang dilakukan dalam tingkah laku ibadah sehari-hari dan kehidupan masyarakat.
Beberapa santri yang menjadi kader inti diberi tugas penting, seperti mengurusi jama’ah dan menjadi mubaligh yang diterjunkan di pedesaan di Jawa Tengah. Melalui mereka itulah ajaran Rifa’iyah berkembang ke luar daerah Batang. Setelah ajaran KH.Ahmad Rifa’i berkembang luas, ia mulai terang-terangan mengadakan protes terhadap penguasa Belanda dan penguasa tradisional melalui pengajian dan khotbah di masjid.
Pada tanggal 23 November 1858, Residen Pekalongan Netscher mengirim surat kepada Gubernur Jendral Pahud agar KH. Ahmad Rifa’i diasingkan. Akhirnya KH. Ahmad Rifa’i diasingkannya ke Ambon. Meskipun dalam pengasingan, KH. Ahmad Rifa’i tidak berhenti dalam melakukan aktivitasnya. Ia menulis beberapa kitab, diantaranya Targibal-Matlabah tentang ushuluddin, Kaifiyahal-Miqsadi tentang fiqh, Nasihahal-Haq, dan Hidayahal-Himmah tentang tasawuf. Selain itu, ia juga menulis 62 buah tanbih (perhatian) dengan bahasa Melayu. Ia menghembuskan napas terakhirnya di tempat pengasingan tersebut.[4]
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di lahirkan pada tahun 1276 H/ 1885 M di sebuah kota di Sumatera Barat, Bukittinggi. Ayahnya adalah seorang Jaksa di pengadilan Padang dan ibunya merupakan anak dari seorang Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka Padri atau golongan adat.
Syeikh Ahmad Khatib semasa kecil mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, yaitu sekolah rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Pada tahun 1876 M ia melanjutkan studinya ke Mekkah untuk memperdalam agamanya.[5] Selama di Mekah ia sempat berguru kepada beberapa ulama yang termasyhur di masanya, seperti Said Ahmad Zaini Dahlan, Said Bakri Sjada.[6]
Mereka kagum dengan kecerdasan Ahmad Khatib yang memiliki kemampuan di bidang Ilmu Nahwu, Saraf, dan falak. Selain itu ia juga memiliki budi pekerti yang luhur sehingga membuat Syeikh Kurdi, seorang saudagar kitab, tertarik pada Ahmad Khatib untuk menikahkan anaknya yang bernama Khadijah dengannya.
Namun, permintaan ini ditolak oleh Ahmad Khatib karena ia tidak mempunyai uang untuk mahar pernikahan. Akhirnya Syeikh Kurdi memberikan uang kepada Ahmad Khatib untuk dijadikan sebagai mahar. Pernikahan ini hanya berjalan selama 4 tahun saja karena Khadijah meniggal dunia dengan meinggalkan seorang anak bernama Abdul Karim.
Hal ini membuat Ahmad Khatib sedih dan ingin pulang ke Minangkabau. Namun keinginan Ahmad Khatib tak dapat terlaksana karena mertuanya melarangnya dan kemudian Ahmad Khatib dinikahkan dengan adik istrinya. Dari pernikahan yang kedua ini ia mendapat beberapa anak, yakni Abdul Malik, Abdul Hamid, dan kemudian seorang anak perempuan.[7]
Dakwah awal yang dilakukan oleh Ahmad Khatib dimulai dari kalangan keluaraga seperti Muhammad Taher yang kemudian ia dikenal sebagai Syeikh Taher yang ahli hisab. Semenjak itu banyak orang ingin yang berguru pada Ahmad Khatib.[8] Berkat bantuan Syeikh Kurdi yang memiliki hubungan dengan penguasa kerajaan Arab Saudi, karir Ahmad Khatib naik drastis.
Bahkan Syeikh Kurdi dan Ahmad Khatib pernah diundang ke istana untuk jamuan berbuka puasa bersama anggota keluarga kerajaan. Setelah itu mereka menunaikan salat Maghrib berjamaah dan raja menjadi imam. Dalam salah satu bacaan salat raja melakukan kesalahan bacaan kemudian diluruskan oleh Ahmad Khatib. Seusai salat Ahmad Khatib diangkat oleh raja untuk menduduki jabatan imam dan guru Besar dari Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Selama Ahmad Khatib menjadi guru di Mekkah ia memiliki banyak murid seperti Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Syeikh Muhammad Jambek, Syeikh Jamil Johor, Syeikh Sulaiman Rusli, Syeikh M. Tahib Umar, Syeikh M. Zain, Hasyim Asyari, Syeikh Abbas. Selain itu beberapa ulama besar lain dari Nusantara.
Ahmad Khatib menekankan pada murid-muridnya agar berani untuk berijtihad. Selain itu Ahmad Khatib menanamkan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh dengan membaca dan mempelajari Al- urwah al-Wutsqa serta mempelajari tafsir Al Manar. Selain itu Ahmad Khatib menekankan tanggung jawab mereka sebagai pewaris Nabi yang akan menegakan hukum Islam sesuai dengan wahyu Allah Swt. dan penafsiran para ahli fiqih.
Setelah murid-muridnya selesai belajar, kemudian Ahmad Khatib memberikan ijazah kelulusan. Ijazah ini berlaku setelah murid-muridnya membentuk sebuah pengajian di tempat mereka berasal. Sebenarnya syarat ini di berikan oleh Ahmad Khatib sebagai salah satu cara untuk menyebarkan ajaran Islam secara luas.
Implikasi yang ditimbulkan oleh syarat Ahmad Khatib ini berdampak positif yang ditandai bermunculan pusat pengajaran agama dan dalam perkembanganya muncullah sekolah-sekolah agama. Hingga akhirnya akan berkembang gerakan pembaruan Islam.[9]
Pengaruh Ahmad Khatib terhadap murid-muridnya terutama yang berasal dari Minangkabau sangat kentara dalam penolakannya mengenai hukum waris adat Minangkabau yang memberikan harta pusaka pada kemenakan perempuan. Selain itu Ahmad Khatib juga menolak praktek tarekat Naqsyabandiyyah.
Syeikh Nawawi Banten[10] adalah seorang ulama besar dari kalangan al-Jawi (Melayu), seorang penulis produktf, imam dan pendidik di Masjidil Haram Mekkah. Ia mendapat kan gelar Sayyidu ‘Ulama’i al-Hijaz (kampiun-nya ulama Hijaz) karena kealimannya dari Universitas al-Azhar, Kairo.
Selain itu ia juga dikenal sebagai ulama fikih dan ahli tafsir pada zamannya. Ulama yang dilahirkan di Desa Tanara, Banten pada tahun 1815 M ini memiliki nama asli Muhammad bin Umar Ali bin Arabi. Ia merupakan anak seorang penghulu di Banten bernama Kyai Umar dan ibunya bernama Zubaidah.
Ia hidup dalam lingkungan beragama yang kuat. Pada awalnya ia belajar agama dari ayahnya, kemudian berlanjut belajar dengan ulama Banten lainnya seperti Kyai Sahal. Pada usia 15 tahun, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana selama 3 tahun.
Di Mekah ia sempat belajar dengan ulama terkenal seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini, dan lainnya. Setelah tiga tahun Syeikh Nawawi pulang dan membantu ayahnya untuk mengajar di pesantren. Kepulangannya ke Banten ini ternyata tidak lama. Karena kondisi politik yang kurang stabil membuatnya ingin kembali lagi ke Mekah.[11]
Sekembalinya ke Mekah, ia belajar kepada beberapa guru yakni Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syeikh Abdul Ghani Bima, dan lainnya. Tahun 1860 ia mulai mengajar di Mekkah dan dinobatkan sebagai imam Masjidil Haram. Di samping mengajar, ia juga menyempatkan diri untuk mengarang beberapa kitab.
Menurut J. A. Sarkis, sarjana asal Belanda, kitab yang berhasil dikarang ada sekitar 39,[12] yang mencakup bidang keilmuan Islam seperti tafsir, hadis, tauhid, tasawuf, dan lainnya. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Tafsir al-Munir, yang judul aslinya Murah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid. Kitab ini berisi tafsir yang ilmiah dan lebih rasional di antara sebagian kitab tafsir sebelumnya dan menjadi rujukan di Universitas al-Azhar.
Walaupun hidupnya sebagian besar dihabiskan di Mekkah, Syeikh Nawawi tetap banyak memperhatikan perkembangan politik di Nusantara. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk Koloni Jawa, sebuah perkumpulan yang menghimpun masyarakat Jawa (Nusantara) yang bermukim di Tanah Suci.
Sementara dalam menghadapi Belanda, ia tidak agresif atau reaksioner, meskipun dikatakan ia anti Belanda. Ia lebih banyak mengembangkan kaderisasi lewat pendidikan dan keagamaan. Ia memiliki banyak sekali murid, seperti Syeikh Muhammad Dawud (Perak, Malaysia), KH Asy’ari (Bawean, Gresik), dan lain sebagainya. Pengaruh Syeikh Nawawi memang tidak secara langsung, namun berkat pesantren yang ia dirikan muncul ulama-ulama terkenal seperti Haji Wasid dan Tubagus yang menjadi tokoh dalam Pemberontakan Cilegon 1888. Pengaruh Tarekat Qadiriyyah dari gurunya Syeikh Ahmad Sambas juga banyak mempengaruhi pesantren yang ia bangun tersebut. Syeikh Nawawi wafat di Mekah tahun 1897 M.
-
Orang Arab di Nusantara
Pada saat pemerintahan Belanda, membagi penduduk menurut bangsanya, misalnya bangsa Cina dan Arab yang termasuk pada golongan pribumi. Pembagian ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politik. Belanda menganggap bahwa bangsa Arab diduga ada kemungkinan mendorong pemberontakan, sementara motif ekonomi berkaitan dengan pembayaran pajak yang dihargai lebih besar dibanding pribumi.[13]
Untuk bangsa Arab di Nusantara rata-rata berasal dari Hadramaut. Dorongan utama mereka berkelana hingga ke Nusantara adalah untuk berdagang. Gambaran umum dari Islam di Hadramaut sendiri kurang baik dalam penerapannya. Di sana memang masyarakatnya menganut Islam 100 persen, namun dalam menjalankan peribadahannya banyak yang menyimpang, salah satu contohnya orang-orang badui jarang melakukan shalat dan puasa, zakat diberikan kepada semua golongan, bahkan banyak yang mengonsumsi daging yang dilarang oleh Islam.
Orang-orang Arab ini hidup menyebar hampir di seluruh daerah di Jawa. Daerah yang menjadi konsentrasi tinggal mereka antara lain Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Madura. Kehidupan Islam mereka di Nusantara juga tidak jauh berbeda dengan daerah asalnya, Islam tidak terlalu dijalankan dengan sempurna. Meski begitu kebanyakan dari mereka termasuk orang menengah ke atas dan memiliki gelar sayid.[14]
Di Madura khususnya terdapat ulama yang cukup memberi pengaruh pada sultan yang berkuasa saat itu, yakni Sultan Nataningrat. Setelah mengadakan pembicaraan atau semacam pengajaran, sultan dapat berbicara dengan bahasa Arab dan melakukan surat-menyurat dengan bahasa Arab dengan Ibnu Ahmad al-Misri. Sultan juga mengangkat seorang astrolog keturunan Arab bernama Sayid Umar Baharun. Sementara untuk mendidik anak-anaknya, ia menunjuk Syeikh bin Ahmad Bafaqir.
Memang tidak ada orang Arab yang masuk Nusantara dengan tujuan utama mengajarkan Islam. Namun pada perkembangannya mereka juga melakukan pengajaran terhadap agama. Meski demikian tetap ada ulama besar keturunan Arab yang tidak bisa diabaikan peranannya seperti Sayid Husayn bin Abu Bakar al-Aidrus (w. 1798). Ulama lainnya adalah Abdurrahman bin Ahmad al-Misri (w. 1847) yang berasal dari Mesir. Ia mendirikan masjid di batavia dan mempunyai banyak murid yang terutama belajar mengenai ilmu falak. Selain itu ada juga Sayid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi yang hanya beberapa tahun saja hidup di Nusantara. Ada juga ulama keturunan Arab-Sudan yang menjadi guru agama di Batavia yakni Muhammad Jabarti. Salim bin Abdullah bin Sumayr juga pernah menetap di Nusantara dan pernah mengarang buku yang berjudul Safinatu’l Najah yang mana memberikan pengetahuan dasar tentang akidah dan fikih ibadah.
-
Sayid Usman (1822-1913 M)
Nama lengkapnya adalah Sayid Usman bin Aqil bin Yahya bin Al-Alawi. Ia merupakan salah satu tokoh berketurunan Arab di Nusantara yang cukup terkenal pada abad ke-19. Ia dikenal sebagai adviseur honorer untuk urusan Arab pada pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga merupakan teman Snouck Hurgronje.[15]
Ia tidak pernah mendapat pendidikan secara formal. Tetapi ia belajar kepada kakek dan ayahnya. Pada usia 18 tahun, ia berangkat ke Mekah untuk beribadah haji dan kemudian bermukim di sana. Ia belajar dengan sangat giat kepada beberapa orang. Tahun 1848 M ia pergi ke Hadramaut dan menetap di sana. Sayid Usman belajar kepada beberapa guru yakni Syeikh Abdullah bin Husein bin Tahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya dan Habib Alwi bin Sagaf al-Jufri. Setelah itu ia berkelana menuju Mesir dan menuntut ilmu di sana. Ia juga mengunjungi beberapa daerah lain seperti Tunisia, Aljazair, Persi, Istambul, dan Syria. Setelah itu ia kembali menetap di Hadramaut dan barulah pulang ke Batavia tahun 1862 M.
Sebagai seorang adviseur honorer, ia banyak menulis buku yang berisi kumpulan jawaban terhadap masalah yang timbul di masyarakat. Karyanya antara lain Taudih al-Adillat ‘Ala Syuruti Syuhud al-Ahillat yang berisi tuntunan menetapkan waktu hari raya idul fitri dan puasa ramadan, al-Qawanin asy-Syariah Li Ahl al-Majalis al-Hukumiyat Wa al-Iftaiyat yang berisi tuntunan pelaknsanaan pengadilan agama.[16]
Ia banyak menulis mengenai persoalan yang diperdebatkan dalam dunia Islam. Dari berbagai tulisannya tersebut membawanya kepada pertentangan dengan beberapa ulama seperti Syeikh Khatib al-Minangkawi mengenai pembangunan masjid baru di Palembang, Syeikh Sulaiman al-Affandi mengenai Tarekat Naqsyabandiyyah.[17] Berkaitan dengan kecamannya terhadap Sarekat Islam, ia menulis brosur yang judulnya menghentikan rakyat biasa dari bergabung dengan Sarekat Islam. Isinya menuduh Sarekat Islam tidak Islam sama sekali, dan HOS Cokroaminoto tidaklah hidup sesuai dengan norma Islam.[18]
Sayid Usman sangat anti terhadap tarekat dan jihad. Salah satunya ia mengutuk jihad Cilegon 1888 M. Dalam argumennya ia selalu mengutip peristiwa pembunuhan massal terhadap umat Kristen di Jiddah tahun 1858 M dan memuji hukuman keras sultan Turki Usmani terhadap pemuka muslim yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.[19] Sikap seperti ini menguntungkan Belanda karena sikap tersebut membuat gerakan sempalan dalam bentuk pemberontakan terhadap belanda dapat dikutuk berdasarkan agama. Sikap Sayid Usman yang demikian tidak mengherankan, karena kebanyakan kalangan Hadrami melakukan perjalanan ke belahan dunia untuk berdagang, bukan penyebaran agama. Hal ini mendorong mereka menyetujui penguasaan wilayah muslim oleh non-muslim. Bahkan mereka tidak peduli dengan penindasan belanda terhadap muslim pribumi sepanjang kepentingan mereka tidak terancam. Sementara menurut Azyumardi Azra, sebagian dari mereka yang menerima jabatan keagamaan seperti qadhi, imam, dan lainnya karena adanya motivasi ekonomi semata. Meski demikian tidak semua keturunan Hadrami demikian.[20] Sayid usman wafat tahun 1913 M.
Simpulan
Perjuangan ulama di Nusantara pada abad ke-19 menuai banyak pengaruh dalam penyebaran agama Islam dan pendorong rasa keinginan untuk menyingkirkan kolonial kala itu. Ulama-ulama tersebut, yang telah disebutkan pada bab pembahasan, melakukan banyak hal untuk mencoba menyadarkan pribumi setelah berpulangnya mereka dari Mekkah dan kembali ke tanah air.
Para ulama Nusantara ini melakukan perjuangannya tidak secara langsung menggunakan pertarungan fisik, namun dengan berbagai karya dan khotbah yang mereka lontarkan kepada Pemerintah Belanda sebagai tanda kritik keras dan ketidaksukaan mereka terhadap Pemerintah Belanda. Beberapa perjuangan mereka pun tak runtuh meski sampai ulama-ulama itu meninggalkan dunia fana ini. Setelah mereka meninggal pun perjuangannya tetap berkobar melalui murid-muridnya hingga mereka mencapai tujuan mereka, yakni menyebarkan dakwah Islam dan pengusiran para koloni. Bahkan karya-karya mereka masih dipakai sebagai kitab acuan dalam pembelajaran pendidikan di pesantren-pesantren hingga sekarang.
[1] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 92.
[2] Ibid., hlm. 94.
[3] Koharudin Jafar, Jumlah Jamaah Jum’at: Studi Pemikiran KH.Ahmad Rifa’i dan M. Hasbi ash-Shiddieqy, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah, Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm. 24.
[4] Ibid., hlm 27.
[5] Taufik Abdullah, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 135.
[6] Tamar Jaya, Pusaka Indonesia: Riwayatt Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air II, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hlm. 567.
[7]Jaya, Pusaka, hlm. 569.
[8] Ibid., hlm. 568.
[9] Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuan Islam di Permulaan Abad Ini, (Jakarta: Pusaka Penjimas, 1983), hlm.
[10] Dalam sumber lain disebut Syeikh Nawawi al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Lihat Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 653.
[11] Ibid., hlm. 654.
[12] Ibid., hlm. 654-655. Menurut Prof. KH Saifuddin Zuhri dan Abdurrahman Wahid, Syeikh Nawawi telah mengarang 100 kitab.
[13] Steenbrink, Beberapa Aspek, hlm. 129.
[14] Ibid., hlm. 130-131.
[15] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hlm. 847.
[16] Ibid., hlm. 847.
[17]Taufik Abdullah (ed.), Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonialisasi dan Perlawanan (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm. 409.
[18] Nasution, Ensiklopedi, hlm. 847.
[19] Abdullah, Indonesia, 409.
[20] Ibid., hlm. 410.
Thanks to Zumrotus Sholihah and Surti Nurpita Sari