Periode modern di Eropa tidak hanya diwarnai oleh beragam penemuan, tetapi juga dihiasi dengan aksi perburuan terhadap para “penyihir”.
Benar, Anda tidak salah membacanya. Antara tahun 1400-1782, muncul hobi baru di kalangan orang Eropa, yaitu memburu dan mengadili orang-orang yang diduga melakukan praktik sihir.
Sekitar 40.000–60.000 orang dibantai tanpa adanya bukti yang jelas. Ironisnya, mayoritas dari para korban ialah perempuan tidak bersalah.
Story Guide
Awal Persekusi
Pada abad pertengahan, Kekristenan arus utama sebenarnya menolak keyakinan terhadap keberadaan penyihir dan ilmu sihir. Santo Agustinus (354-430) menganggap kepercayaan semacam itu sebagai bentuk takhayul yang dipraktikkan oleh orang-orang pagan.
Pandangan ini diadopsi oleh mayoritas gereja pada saat itu, sehingga di masa tersebut, orang-orang Eropa tidak perlu mencari penyihir atau menyelidiki tuduhan sihir.
Namun, pandangan ini seketika berubah tatkala muncul paham Katarisme yang mempercayai ajaran dualisme. Menurut aliran tersebut, terdapat dua kekuatan supranatural di dunia, yaitu kekuatan Tuhan dan kekuatan Iblis, yang selalu berkonflik satu sama lain.
Pada tahun 1208, Paus Inosensius III mulai gusar dengan keberadaan kelompok Katar. Akan tetapi, tindakan konkret baru dilakukan oleh Paus Gregorius IX. Melalui sebuah bulla kepausan, ia meresmikan cabang baru inkuisisi (pengadilan gereja) di Toulouse, Prancis pada 1233.
Inkuisisi ini dipimpin oleh Ordo Dominikan dan memiliki tugas untuk mengadili kelompok-kelompok Kristen yang dianggap sesat. Ordo ini nantinya berkembang menjadi prosecutors paling bersemangat dalam memburu dan mengadili individu yang dituduh sebagai penyihir.
Sebagai bagian dari upaya mereka, propagandis Dominikan mulai menyerang penganut Katar dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, seperti menyembah iblis. Mereka bahkan menggambarkan para penganut Katar terlibat dalam upacara dengan ritual mencium pantat iblis sebagai tanda kesetiaan kepada kekuatan jahat.
Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang iblis berubah drastis, dari pandangan sosok pengganggu jahat menjadi kekuatan jahat yang harus diperangi dan dihancurkan.
Tidak lama setelahnya, seorang biarawan Dominikan bernama Thomas Aquinas menulis Summa Theologiae, sebuah karya yang membahas tentang keberadaan Tuhan. Dalam karyanya ini, yang sebagian besar dianggap sebagai ajaran resmi Gereja Katolik, Aquinas berpendapat bahwa dunia ini dihuni oleh setan-setan jahat dan berbahaya.
Ia menuding setan-setan ini memiliki kebiasaan mengambil sperma pria dan menyebarkannya di antara para wanita. Dalam pandangan Aquinas, seks dan ilmu sihir memiliki hubungan yang erat. Ia percaya bahwa iblis tidak hanya mencari kesenangan sendiri, tetapi juga berusaha untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa.
Beberapa ahli menganggap karya Thomas Aquinas ini mendorong pergeseran doktrin Kristen. Beberapa teolog Kristen masa itu yang menerima konsep Aquinas mulai meyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang ada di dunia. Dampaknya, tindakan persekusi yang dilakukan oleh Gereja Katolik semakin meningkat.
Teror yang terus berlanjut memaksa kelompok Katar untuk melarikan diri ke wilayah Jerman dan Savoy pada pertengahan abad ke-15. Bagi mereka yang tertangkap, mereka sering kali mengalami siksaan yang mengerikan agar mereka mengakui tuduhan yang tidak masuk akal.
Banyak dari mereka yang akhirnya tidak tahan terhadap siksaan tersebut dan setuju dengan tuduhan-tuduhan yang tidak masuk akal yang dialamatkan kepada mereka. Para terdakwa mengaku terbang menggunakan tongkat dan hewan untuk menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh iblis yang menjelma dalam bentuk hewan.
Beberapa terdakwa bahkan mengatakan kepada penyelidik kalau mereka secara teratur mencium pantat iblis sebagai tanda kesetiaan mereka. Yang lain mengakui bahwa mereka merapal mantra kepada tetangga, terlibat dalam hubungan seksual dengan hewan, dan bahkan bertanggung jawab atas terjadinya badai.
Puncak Perburuan terhadap Penyihir
Memasuki penghujung abad ke-15, Paus Innosensius VIII mengeluarkan pernyataan bahwa para pemuja setan mengadakan pertemuan besar di Jerman. Dalam pertemuan ini, mereka dikatakan merapal mantra-mantra yang bertujuan merusak tanaman dan bahkan menggugurkan kandungan wanita.
Paus kemudian meminta dua orang biarawan, Heinrich Kramer (seorang penyelidik ilmu sihir dari Innsbruck) dan Jacob Sprenger, untuk menyusun laporan lengkap tentang tuduhan ilmu sihir ini.
Setelah dua tahun menyusun laporan itu, kedua biarawan tersebut menerbitkan Malleus Maleficarum (“Martil para Penyihir”). Penerbitan ini menciptakan perubahan besar dalam pandangan terhadap ilmu sihir, menggantikan pandangan lama yang berasal dari Santo Agustinus dengan pandangan baru yang mewajibkan umat Kristen untuk memburu dan bahkan membunuh para penyihir.
Malleus berisi kisah-kisah fiktif yang sangat menakutkan tentang para wanita yang bersedia berhubungan seks dengan setan-setan, membunuh bayi-bayi, dan bahkan merengut kemaluan pria.
Empat puluh tahun kemudian, cetakan Malleus terus diperbanyak dan dijadikan pedoman dalam menentukan tindakan kriminal sihir. Buku ini sebagian besar berisi panduan yang sangat berlebihan bagi para hakim dan jaksa penuntut dalam menghadapi kasus-kasus ilmu sihir.
Salah satu saran yang terdapat dalam buku ini adalah untuk menelanjangi setiap tersangka dan memeriksa seluruh bagian tubuh mereka. Apabila ditemukan tahi lalat maka orang tersebut kemungkinan besar bersekutu dengan iblis.
Selain itu, buku ini juga menganjurkan agar para tersangka tidak dihadirkan secara bersamaan ke pengadilan. Tujuannya, untuk meminimalkan kesempatan bagi mereka untuk merapalkan mantra-mantra berbahaya kepada petugas.
Memasuki abad ke-16, persekusi terhadap orang yang dicap “penyihir” semakin menggila. Pada tahun 1515, pihak berwenang di Jenewa, Swiss membakar 500 orang yang dituduh sebagai penyihir di tiang pancang. Sembilan tahun kemudian, 1.000 orang Italia diekskusi akibat rumor tentang sihir yang menyebar.
Meskipun pada abad ke-16 gereja mengalami perpecahan yang membagi Eropa menjadi wilayah Protestan dan Katolik, ini tidak menghentikan persekusi terhadap penyihir. Para penganut Protestan pada saat itu juga masih menganggap ilmu sihir sebagai ancaman.
Selama 160 tahun (1500–1660), Eropa menyaksikan eksekusi terhadap 40.000–60.000 orang yang dicurigai sebagai penyihir. Sekitar 80% dari mereka yang dibunuh adalah perempuan. Tingkat eksekusi sangat bervariasi di setiap negara, dengan Jerman menjadi yang tertinggi dengan 26.000 kasus, diikuti oleh Prancis dengan 10.000 kasus, dan Inggris dengan 1.000 kasus.
Pada tahun 1643-1645, perburuan penyihir terbesar dalam sejarah Prancis terjadi. Selama dua tahun tersebut, setidaknya 650 terduga penyihir ditangkap di daerah Languedoc.
Di belahan Eropa lain, perburuan penyihir juga mencapai puncaknya. Perburuan di Inggris bertambah intens bersamaan dengan meletusnya perang saudara. Perang Tiga Puluh Tahun juga turut menambah catatan gelap perburuan penyihir.
Yang menarik, setelah periode puncaknya pada tahun 1640-an, perburuan terhadap penyihir mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan, Belanda berhasil membentuk masyarakat yang lebih toleran dan menghapuskan hukuman untuk ilmu sihir.
Pada tahun 1682, Temperance Lloyd, seorang wanita pikun dari Bideford, menjadi penyihir terakhir yang dieksekusi di Inggris. Beberapa kritikus menganggap tuduhan terhadap Lloyd memiliki banyak kecacatan.
Dimulainya Abad Pencerahan pada akhir 1680-an memainkan peran penting dalam mengakhiri perburuan penyihir di seluruh Eropa. Era ini ditandai oleh munculnya penalaran empiris, skeptisisme, dan perhatian terhadap kemanusiaan, yang semuanya menggoyahkan kepercayaan pada takhayul yang dominan pada zaman sebelumnya.
Para ilmuwan pada abad ini secara tegas menyatakan bahwa tidak ada bukti yang relevan yang mendukung tuduhan terhadap orang yang dituduh sebagai penyihir. Mereka mengakui bahwa tuduhan tersebut tidak didasarkan pada fakta atau bukti nyata, melainkan seringkali muncul akibat penyiksaan yang sangat kejam yang diterapkan selama perburuan penyihir.
Mengapa Banyak Perempuan Dituduh Sebagai Penyihir?
Pada abad ke-20, kajian kritis terhadap peristiwa ini mulai banyak bermunculan. Sejarawan asal Amerika Serikat, Edward Bever, memiliki teori menarik dalam melihat periode tersebut. Ia menilai tingginya jumlah penuduh dan tertuduh perempuan bisa jadi berasal dari praktik misogini masa itu.
Menurutnya, partisipasi dalam masyarakat patriarkis tidak hanya terbatas pada pria, tetapi sudah merasuk ke dalam seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan.
Eropa pada periode modern awal memiliki ekspektasi gender yang kaku. Sehingga, mereka yang tidak sejalan dengan ekspektasi tersebut dapat menerima konsekuensinya.
Perempuan yang dituduh sebagai penyihir adalah mereka yang melangkah keluar dari peran gender yang ditetapkan dalam masyarakat mereka. Perempuan yang menunjukkan independensi, memiliki pengetahuan alternatif, atau bahkan hanya berperilaku di luar norma bisa menjadi sasaran tuduhan.
Namun, ketakutan terhadap tuduhan itu juga dirasakan oleh perempuan yang hidup dalam peran gender. Inilah yang mendorong mereka membuat tuduhan palsu sebelum ada orang yang menuduh mereka.
Silvia Federici dalam bukunya Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation, memiliki pendapat lain. Ia Ia memandang peristiwa perburuan penyihir sebagai bagian dari transformasi tubuh perempuan menjadi “mesin kerja” untuk produksi tenaga kerja yang berkaitan erat dengan peralihan dari ekonomi subsisten ke ekonomi moneter.
Pendapatnya ini memiliki dasar yang kuat, karena periode perburuan penyihir bersamaan dengan penaklukan Amerika, perdagangan budak, dan pengambilalihan tanah kaum tani, semua gejala yang mengiringi munculnya kapitalisme.
Berbeda dengan pandangan Marx, Federici meyakini bahwa peralihan sejarah dari ekonomi subsisten ke kapitalisme tidak menghasilkan pembebasan kelas pekerja dari kelangkaan dan kebutuhan, tetapi malah membuat ekonomi menjadi tergantung pada eksploitasi tenaga kerja berupah, perempuan yang bekerja tanpa upah, dan merusak alam lingkungan.
Karena beban perubahan struktural dalam hubungan ekonomi dan produksi sebagian besar dipikul oleh perempuan, maka merekalah yang berusaha untuk melindungi tanah, posisi sosial mereka, dan praktik pertanian yang berfokus pada kebutuhan subsisten.
Namun, pemerintah di Eropa berusaha untuk mengatasi perlawanan dari kaum perempuan dan solusi alternatif yang mereka tawarkan dengan mengesahkan peraturan yang memungkinkan penghukuman terhadap para penyihir.
Bibliografi
Barstow, A. L. (1988). On Studying Witchcraft as Women’s History: A Historiography of the European Witch Persecutions. Journal of Feminist Studies in Religion, 4(2), 7–19. http://www.jstor.org/stable/25002078
Behringer, W. (2004). Witches and witch-hunts: a global history. Wiley-Blackwell.
Federici, S. (2004). Caliban and the Witch. Autonomedia.
Hutton, R. (2017). The witch: a history of fear, from ancient times to the present. Yale University Press.
Levack, B. P. (2013). The witch-hunt in early modern Europe. Routledge.
Russell, J. B. (1972). Witchcraft in the Middle Ages. Cornell University Press.