Narkoba, mendengar istilah itu mungkin banyak dari kita tidak asing. Bagaimana tidak, hampir setiap hari di televisi berita mengenai kasus narkotika silih berganti menghiasi layar kaca. Dilansir dari Kompas, 30 September 2020, sepanjang bulan Januari-Agustus 2020, 29.615 kasus narkoba terungkap oleh Polri. Angka ini bukanlah angka kecil, tetapi angka yang besar. Mungkin sebagian dari kita mulai bertanya-tanya, sebenarnya perdagangan narkoba telah dimulai sejak kapan? Mengapa bisa muncul?. Apabila kita menelusuri sejarahnya, ternyata perdagangan opium/narkoba bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak masa kolonial, opium telah banyak digunakan oleh masyarakat. Sama halnya dengan pemerintah Indonesia sekarang ini, pemerintah kolonial berulang kali mencoba menekan peredaran opium.
Kemunulan Opium di Hindia-Belanda
Opium bukanlah barang baru di dunia. Bahkan sejarah mencatat pemakaian zat ini telah digunakan sejak masa kuno untuk keperluan medis.
Di Nusantara, penggunaan opium juga telah dikenal sebelum masuknya pengaruh Barat. Menurut catatan Tome Pires dalam Suma Oriental-nya (1515 M), opium maupun ganja digunakan untuk merangsang adrenalin prajurit agar tidak takut mati. Prosesi ini sering dikaitkan dengan prosesi spiritual untuk memperoleh kekebalan. Kendati demikian, penggunaan opium pada masa itu masih sangatlah terbatas hanya di kalangan militer.
Penyebaran opium secara luas baru dimulai saat masa masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Setelah penaklukan Selat Malaka dari Portugis, VOC mulai leluasa melakukkan perdagangan opium dari produsen di India menuju Batavia.
Awalnya VOC membeli opium mentah dari Pantai Barat India, tetapi sejak tahun 1659, mereka mulai mengimpor opium langsung dari Bengal yang dikenal sebagai daerah penghasil opium terpenting di India. Hubungan kerjasama antara VOC dan Bengal pun semakin dipertegas dengan dibuatnya perjanjian perdaganan opium tahun 1671.
Perdagangan opium terbukti sangat menguntungkan. Kendati demikian, opium masih menjadi komoditas yang tidak terlalu penting, karena VOC belum memiliki akses untuk masuk ke pasar domestik Jawa. Karena itu, jumlah opium yang diimpor pun hanya seberat 1.322 pon.
Situasi ini berubah secara dramatis, setelah pada tahun 1677 Raja Mataram, Amangkurat II memberi VOC monopoli atas impor opium sebagai imbalan atas bantuan militer apabila perang melawan Trunojoyo terjadi.
Dengan terbukanya pintu masuk ke pasar domestik Jawa, perdangan opium meningkat pada tahun yang sama menjadi 12.025 pon. Tidak berhenti disitu, pada tahun berikutnya peningkatan kembali terjadi, tidak tanggung-tanggung impor opium meningkat sekitar 7 kali lipat menjadi 67.444 pon.
Opium-opium itu dikirimkan dari Bengal menuju Batavia menggunakan kapal. Begitu sampai di Batavia, opium dilelang secara grosir. Setelah dibeli, para bandar opium biasanya juga memperoleh izin pengangkutan ke pelabuhan lain di Jawa atau luar Jawa.
Perdagangan opium merupakan lahan basah bagi semua pihak yang terlibat. VOC mengantongi keuntungan dari hasil lelang opium di Batavia. Para bandar mendapatkan keuntungan dari opium yang mereka jual di pelabukan lokal. Sementara, penguasa bumiputra memperoleh keuntungan dari pajak atas impor dan transportasi darat.
Besarnya keuntungan yang dihasilkanddari perdagangan ini memicu munculnya para penyelundup opium yang banyak berasal dari pejabat VOC. Keikutsertaan pejabat dalam penyelundupan ini disebabkan rendahnya penghasilan yang mereka peroleh karena ¼ gaji ditahan hingga kontrak berakhir. Sistem gaji yang buruk memaksa mereka mencari penghasilan tambahan dengan menjadi penyelundup opium.
Kendati demikian, gencarnya peredaran opium justru berdampak buruk bagi penduduk bumiputra di Jawa. Mereka yang telah jatuh pada jurang kemiskinan akibat perang Trunojoyo, malah semakin bertambah miskin akibat peredaran opium yang semakin bebas.
Selain memperparah kemiskinan, peredaran opium juga memicu naiknya tingkat kriminalitas. Sebuah laporan dari komandan VOC di Kartasura pada tahun 1682 menjadi contoh kejahatan akibat madat. Di dalam laporan itu disebutkan banyak serdadu-serdadu VOC yang senang menghisap opium dan minum tuak beras ketan (CIU), sering memperkosa wanita-wanita Jawa di dalam rumah mereka.
Meskipun kemiskinan meningkat dan tindak kriminalitas bermunculan akibat penggunaan opium, VOC tidak begitu mempedulikan hal itu. Fokus mereka tetap pada pengembangan perdagangan opium dan pemberantasan penyelundup.
Sebagai upaya membasmi perdagangan opium ilegal, VOC mendirikan Amphioen Societeit pada 1745. Perusahaan ini diberi wewenang mengatur perdagangan opium di Hindia-Belanda, khususnya memberantas penyelundupan opium.
Dalam pengoperasiannya, yayasan membeli opium dari VOC minimal 1200 peti dengan harga 450 ringgi perpetinya, apabila membeli lebih dari jumlah minimal maka yayasan memperoleh diskon 50 ringgit perpeti. Selanjutnya, yayasan menjual opium ke pihak ketiga dengan harga yang jauh lebih tinggi. Tentu saja sistem ini justru membuat harga opium melambung tinggi. Tingginya harga opium pada akhirnya memunculkan lebih banyak penyelundup, yang sebenarnya ingin dihilangkan.
Perdagangan opium di Nusantara sempat mati suri akibat pecahnya perang antara Belanda dan Inggris pada 1795. Perang ini mengakibatkan terputusnya jalur pasokan opium dari Bengal ke Batavia. Sementara itu, Amphioen Societeit yang dianggap tidak efektif dalam memberantas penyelundupan akhirnya dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Melejitnya Perdagangan Opium
Perdagangan opium di Hindia-Belanda kembali bangkit memasuki abad ke-19. Melalui sistem Opium Pacht yang diperkenalkan oleh Daendels pada 1808, pemerintah mengenalkan metode untuk memperoleh keuntungan dari opium tanpa perlu adanya administrasi keuangan yang rumit.
Berdasarkan sistem ini, opium mentah diimpor dari Bengal oleh pemerintah kolonial, yang kemudian dilelang kepada pembeli. Para bandar ini lalu diberikan hak monopoli untuk memurnikan opium agar bisa dihisap asapnya dan mendistribusikannya ke pengecer lokal.
Pada tahun-tahun awal sistem ini diterapkan, impor opium tidak dibatasi. Celah ini akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa untuk menjadi bandar besar yang menguasai jalur peredaran opium melalui sistem gerbang tol.
Keberadaan gerbang tol medorong semakin menjamurnya penggunaan opium. Di gerbang-gerbang itu opium diperjual belikan secara masif, seringkali petani yang tengah menunggu pemeriksaan barang tergiur untuk membeli opium dan mengkonsumsinya. Praktek inilah yang akhirnya menyebabkan candu mulai terkenal di kalangan golongan penduduk bumiputra.
Pemerintah kolonial tentu tidak ingin orang-orang Tionghoa medominasi perdagangan opium, karena itu pada tahun 1827 hak eksklusif untuk mengimpor dan menjual secara eceran opium di Jawa diberikan kepada Netherlands Trading Company (NHM).
Pembentukan NHM juga menunjukkan adanya ambisi besar pemerintah kolonial untuk mengeruk keuntungan dari opium. Keuntungan besar dari opium dapat digunakan untuk pengeluaran tidak resmi, seperti praktek menyuap penguasa lokal atau peperangan.
NHM sendiri menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam melelang konsesi monopoli pemurnian dan penjualan opium. Kehadiran NHM sekaligus mendandai bergesernya opium pacht dari tangan orang-orang Tionghoa kepada pemeritah kolonial.
Wewenang yang dimiliki NHM lebih besar dibandingkan Yayasan Amphioen. Di perusahaan baru ini, mereka bebas membeli candu di luar negeri tanpa halangan dan berhak mengambil keuntungan dari pedagang kecil.
Meskipun demikian, pada periode awal sistem tersebut sempat beberapa kali mengalami perubahan. Hal ini disebabkan dilema yang dihadapi oleh pemerintah kolonial. Di satu sisi, mereka ingin membatasi konsumsi opium. Di sisi lain, mereka ingin memperoleh pendapatan sebanyak mungkin. Situasi semakin pelik, karena pembatasan dan tingginya harga opium justru memancing kehadiran penyelundup.
Kehadiran NHM pada kenyataannya justru menyuburkan perdagangan komoditas ini. Menurut James S. Rush dalam tulisannya “Opium in Java: A Sinister Friend”, pada tahun 1860an opium telah menyebar luas dan menjadi bagian dari gaya hidup penduduk Hindia-Belanda. Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi pasar perdagangan opium terbesar (1985: 550). Para penduduk bumiputra biasa mengkonsumsi opium dengan cara mencelupkan rokok mereka ke dalam candu atau membumbui kopi mereka dengan candu.
Walaupun keberadaan opium semakin berdampak buruk bagi penduduk, namun tidak ada tanda-tanda pemerintah kolonial ingin menghentikan perdagangan candu. Periode terakhir dari pemberlakuan sistem opium pacht dimulai pada tahun 1873, ketika itu aturan baru dan sederhana diperkenalkan. Kini para pedagang dapat mengajukan penawaran untuk hak monopoli dan harus membeli opium mentah dari pemerintah dengan harga tetap sekitar 50 gulden per kilogram.
Baca juga: Rokok dan Gaya Hidup Baru Penduduk Hindia-Belanda
Kontrak monopoli dilelang di setiap daerah secara terpisah. Di dalam kontrak ditetapkan hak eksklusif untuk memurnikan dan menjual opium di wilayah yang ditentukan dengan jelas, durasi kontrak (dari satu hingga tiga tahun), pajak, dan harga opium akan dibeli dari pemerintah. Kontrak tersebut juga menetapkan jumlah maksimum opium mentah yang akan diterima petani serta daftar semua pengecer opium resmi di daerah tersebut.
Melejitnya kembali perdangan candu, bukanlah tanpa tentangan dari penduduk. Sejumlah protes disuarakan oleh orang-orang yang menentang perdagangan opium.
Dalam tulisannya di koran De Locomotief tahun 1884, M.T.H. Perelaer menyampaikan kritikannya terhadap tindakan pemerintah kolonial yang menghambat usaha pemilik perkebunan yang ingin menggusur pondo-pondok candu di lahannya.
Selain itu, ia juga menulis novel berjudul Baboe Delima pada tahun 1886 yang mengkisahkan usaha para mata-mata dan bandar opium untuk menggiring penduduk desa ke pondok candu. Praktek ini menyebabkan desa yang sebelumnya makmur menjadi ambruk ekonominya, karena banyak warga menjadi malas bekerja dan lebih memilih menikmati opium.
Sementara itu, aksi protes secara terang-terangan dilakukan oleh Pieter Brooshooft, pimpinan redaksi sura kabar De Locomotief. Sebagai bentuk protesnya terhadap perdagangan opium, ia mengirimkan petisi yang berisi 155 tanda tangan penduduk Hindia-Belanda kepada parlemen Belanda. Petisi itu berisikan kritikannya atas kebijakan opium di Jawa yang justru semakin menyuburkan perdagangan opium.
Kritikan tidak hanya muncul dari penduduk Hindia-Belanda, tetapi juga datang dari negeri Belanda. Robert Cribb dalam tulisannya “Opium and the Indonesian Revolution” menyatakan desakan dari Belanda diserukan oleh Anti-Opium Bond yang muncul bersamaan dengan golongan etis yang menuntut perbaikan kesejahteraan penduduk tanah koloni.
Opium Regie
Walaupun kebijakan perdagangan opium mulai memperoleh kritikan pada akhir abad ke-19, namun pemerintah kolonial tetap melanjutkan perdagangan komoditas ini. Dengan dalih membatasi perdagangan opium, pemerintah kolonial meratifikasi opium regie berada di bawah naungan Departemen Keuangan pada 1893.
Opium Regie menjadi episode terakhir perdagangan opium pemerintah kolonial. Melalui kebijakan ini, perdagangan opium dipusatkan di pabrik-pabrik modern pemerintah kolonial, yang berarti menggeser eksistensi pabrik-pabrik opium Tionghoa.
Percobaan regulasi baru tersebut dilakukan di Madura pada 1 September 1894. Hasilnya pun terbilang memuaskan dan sukses.
Berkat kesuksesan itu, pemerintah Hindia-Belanda pun memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru ini di seluruh daerah Jawa. Pabrik opium modern pertama didirikan di Batavia pada 1894. Sejak saat itu kualitas hasil produksi opium diseragamkan.
Implementasi kebijakan opium regie terbilang cepat terselesaikan. Implementasi di Jawa selesai pada tahun 1903, sedangkan di Hindia-Belanda selesai tahun 1914. Di sisi lain, jumlah pekerja pabrik opium juga mengalami peningkatan dari 630 pekerja pada tahun 1905, menjadi 1000 pekerja pada tahun 1913.
Pemberlakuan opium regie sebenarnya mengulang kisah lama perdagangan opium abad ke-19, hanya saja sekarang pemerintah kolonial menjadi bandar paling dominan dalam perdagangan tersebut.
Keuntungan dari perdagangan opiummasih begitu menggiurkan bagi pemerintah kolonial. Bahkan keuntungan pada tahun 1905 mencapai 20 juta gulden atau sekitar 15% persen dari total pendapatan pemerintah kolonial. Memasuki dekade 1920an, keuntungan dari perdagangan opium terus melejit mencapai 30 juta gulden, melebihi keuntungan dari perkebunan kina.
Saat krisis Malaise menghajar ekonomi Hindia-Belanda (ekspor perkebunan turun sekitar 50%), perdagangan opiumasih dapat membantu keuangan pemerintah kolonial karena perdagangannya hanya turun 14%.
Jadi sepanjang sejarahnya di Indonesia, sejak masa kolonial opium atau zat narkotika telah dikenal sebagai salah satu komoditas yang menggiurkan. Kendati demikian, opium memiliki dampak yang mengerikan seperti yang dialami penduduk bumiputra masa kolonial. Mereka terjebak dalam belenggu candu, sedangkan ekonomi mereka hancur.
Daftar Pustaka
Carey, Peter. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa : Perubahan Persepsi Tentang Cina 1722-1825. Depok : Komunitas Bambu, 2015.
Cribb, Robert. “Opium and the Indonesian Revolution.” Modern Asian Studies, vol. 22, no. 4, 1988, hlm. 701–722. JSTOR, www.jstor.org/stable/312522.
Kompas, “Kapolri: Sejak Januari-Agustus 2020, Polri Ungkap 29.615 Kasus Narkoba”, https://nasional.kompas.com/read/2020/09/30/12060541/kapolri-sejak-januari-agustus-2020-polri-ungkap-29615-kasus-narkoba
Nugroho, Abdul Anzis. Perdagangan Opium Di Karesidenan Jepara Tahun 1870-1932. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah Vol. 3 No. 3, 2018,hlm. 404-416.
Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rush, James R. “Social Control and Influence in Nineteenth Century Indonesia: Opium Farms and the Chinese of Java.” Indonesia, no. 35, 1983, hlm. 53–64. JSTOR, www.jstor.org/stable/3350865.
Rush, James R. “Opium in Java: A Sinister Friend.” The Journal of Asian Studies, vol. 44, no. 3, 1985, hlm. 549–560. JSTOR, www.jstor.org/stable/2056267.
Rush, James R. Candu Tempo Doeloe: Pemerintah, Pengedar, Pecandu 1860-1910, Jakarta: Komunitas Bambu,2012.
Souza, George Bryan. “Opium and the Company: Maritime Trade and Imperial Finances on Java, 1684-1796.” Modern Asian Studies, vol. 43, no. 1, 2009, hlm. 113–133. JSTOR, www.jstor.org/stable/20488074.
Van Luijk, Eric W., and Jan C. Van Ours. “The Effects of Government Policy on Drug Use: Java, 1875-1904.” The Journal of Economic History, vol. 61, no. 1, 2001, hlm. 1–18. JSTOR, www.jstor.org/stable/2697852.