Melacak Sejarah Perbudakan di Samudra Hindia

Perbudakan, sebuah kata yang membuat sebagian dari kita yang hidup  pada masa sekarang tertegun dan mulai bertanya-tanya, apakah perbudakan itu nyata? Mengapa bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu terbilang lumrah, mengingat dalam catatan sejarah perbudakan khususnya Indonesia, praktek ini memang tidak banyak disinggung.

Francois Valentijn dalam karya terkenalnya Oud en Nieuw Oost-Indiën (Old and New East-India), menyebut bahwa perbudakan manusia merupakan praktek “perdagangan tertua di dunia.” Sulit untuk mengelak dari pernyataan tersebut, mengingat perbudakaan memang telah ada bahkan sejak masa prasejarah dan tersebar luas di seluruh penjuru dunia. Hindia-Belanda kini Indonesia, tidak luput dari aktivitas ini.

Awal Sejarah Perbudakan di Samudra Hindia

Apabila kita membicarakan mengenai sejarah perbudakan di Nusantara atau Samudra pada umumnya, mungkin banyak dari kita yang berpikir kalau perbudakan muncul karena dibawa oleh pengaruh Barat. Namun ternyata anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena jauh sebelum Portugis dan Belanda mulai memasuki Samudra Hindia pada abad ke-16, aktivitas perbudakan telah hadir di wilayah Samudra Hindia. Sumber-sumber tentang perbudakan sebelum masa kolonial menyebutkan bahwa praktek perbudakan masa awal masih terkait dan dipengaruhi tiga tradisi utama Hindu, Islam, dan Asia Tenggara.

Dalam kitab hukum Hindu, Dharmasastra, disebutkan terdapat tujuh jenis perbudakan: Orang yang ditangkap dalam pertempuran, mereka yang diperbudakan dengan imbalan makanan, mereka yang lahir di rumah tuannya, mereka yang dibeli dan diwariskan, mereka yang diberikan oleh orang tua mereka, dan mereka yang diperbudak karena tidak membayar denda hukuman.

Pengakuan terhadap perbudakan juga terdapat dalam sumber-sumber otoritatif Islam (Quran dan Hadis). Setidaknya terdapat empat cara utama merekrut budak, yakni melalui perang jihad melawan orang-orang kafir, dari upeti yang dibayarkan negara-negara bawahan, keturunan atau lahir dari orang tua budak, dan membeli dari pedagang budak.

perbudakan
Ilustrasi perbudakan. Sumber www.sahistory.org.za

Sayangnya hukum tersebut seringkali dijadikan landasan untuk sekedar memenuhi ambisi kekuasaan. Seperti yang dilakukan Pangeran Dipati Jambi pada 1669, saat pasukannya menyerbu Ujang Salangh di Semenanjung Malaya dan memperbudak penduduk wilayah itu hanya dengan alasan penduduk kota itu “kafir”.

Baca juga: Perbudakan pada Periode Klasik Islam

Di Asia Tenggara, pengaruh tradisi Hindu dan Islam kemudian bercampur dengan peraturan adat di berbagai wilayah kepulauan yang kemudian digunakan oleh para penguasa lokal untuk melegitimasi praktek perbudakan. Meskipun berbeda-beda, mereka umumnya mengakui lima model perekrutan budak: Berasal dari keturunan orang tua budak, dijual oleh keluarganya, ditangkap dalam perang atau serangan, hukuman yudisial karena tidak mampu membayar denda, dan yang paling penting ketidakmampuan membayar hutang.

Hutang yang dimaksud merupakan hutang dengan nominal besar yang diperoleh melalui perdagangan, perjudian, ketidakmampuan untuk membayar upacara seperti pernikahan, dan gagal panen atau bencana lain.

Perbudakan Masa VOC

Belanda yang mulai memasuki Samudra Hindia pada abad ke-16, mencangkok tradisi perbudakan lokal yang telah ada sebelumnya dan mencampurkannya tradisi intelektual Eropa. Belanda memperoleh mayoritas budak mereka secara tidak langsung melalui pembelian dari pemasok pribumi, mirip dengan tradisi sebelumnya.

Dengan membawa istilah kemanusiaan religius sebagai :karya belas kasih Kristen, perbudakan dianggap sebagai usaha untuk menyelamatkan orang dari kelaparan fisik dan menyelematkan jiwa orang-orang kafir yang terperangkap dalam perangkap iblis.

Selain melalui perdagangan, konflik bersenjatan dengan masyarakat adat juga menjadi sumber utama perbudakan. Secara teori, VOC hanya menerima budak yang diperoleh secara sah dan menolak budak yang diperoleh melalui penculikan dan perampokan langsung.

Namun dalam prakteknya, perekrutan budak secara legal atau ilegal melalui penyerbuan sama samarnya dengan dikotomi di dunia Islam antara “budak asli” yang diperoleh dari jihad dan budak yang diperoleh dari penyerbuan tidak berdasar.

Untuk melaksanakan dan memantau perdagangannya, VOC menjadikan Batavia sebagai lokasi sentral perdagangan antar negara termasuk perdagangan budak. Perdagangan antar negara dianggap sangat penting pada masa itu, karena dianggap sebagai jiwa dari perusahaan yang harus dijaga, apabila sampai runtuh maka seluruh perusahaan akan ikut hancur.

Dalam sistem perbudakan VOC, terdapat tiga wilayah utama tempat para budak berasal, yakni anak benua India, Asia Tenggara, dan Afrika. Budak dari wilayah anak benua India pada umumnya berasal dari Arakan / Bengal, Malabar, dan Coromandel. Wilayah ini menjadi sumber pekerja paksa paling penting sampai tahun 1660-an. Antara 1626 dan 1662, Belanda mengekspor 150-400 budak setiap tahun secara teratur dari pantai Arakan-Bengal. Selama tiga puluh tahun pertama eksistensi Batavia, budak India dan Arakan menjadi tenaga kerja utama bagi VOC.

perbudakan
Ilustrasi Perbudakan.
Sumber: https://www.africanindy.com

Setelah tahun 1660 budak relatif lebih banyak didatangkan dari daerah Asia Tenggara, tepatnya wilayah Indonesia saat ini. Para budak dari wilayah ini banyak diperoleh dari ekspedisi peperangan, terutama setelah runtuhnya Kesultanan Goa.

Jaringan perdagangan budak di kepulauan nusantara berputar di sekitar poros ganda Makassar dan Bali. Makassar menjadi pelabuhan transit utama bagi para budak dari Kalimantan, Sulawesi, Buton, dan pulau-pulau di timur laut. Sementara itu, Kerajaan Bali tidak hanya pengekspor budak independen, tetapi juga mengekspor kembali budak-budak dari Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya.

Dari hampir 10.000 budak Indonesia yang dibawa ke Batavia oleh kapal-kapal Asia antara 1653 dan 1682, 41,66% (4,086) berasal dari Sulawesi Selatan, 23,98% (2,352) dari Bali, 12,07% (1,184) dari Buton, 6,92%  679) dari pulau-pulau Tenggara, dan 6,79% (646) dari Maluku (Ambon dan Banda).

Menurut Gert Oostindie dan Bert Paasman, sistem perbudakan VOC di Asia Tenggara cenderung tidak sebrutal perbudakan di Hindia Barat. Meskipun sebagian besar orang diperbudak secara ilegal dan diangkut serta dijual, pekerjaan yang dikerjakan tidak terlalu ekstrim.

Daratan Afrika menjadi kawasan ketiga yang menjadi basis pasokan budak VOC. Kendati demikian jumlah budak dari wilayah ini relatif tidak signifikan selama abad ke-17 dan kalah banyak dibanding dari India dan Asia Tenggara. Dengan kata lain budak dari daerah Afrika hanya dijadikan cadangan apabila pasokan budak dari Asia Tenggara dan India tidak mencukupi.

Perkembangan Sistem Perbudakan di Hindia-Belanda

Fernand Braudel dalam Civilization and Capitalism III menyatakan bahwa perdagangan dunia pra industri berpusat pada perkotaan.  Hal yang sama juga terjadi di sistem perbudakan VOC di Samudra Hindia. Perdagangan budak berpusat di perkotaan, terkonsentrasi di sejumlah kota-kota pelabuhan tempat mereka mengatur seluruh aktivitas perdagangan.

Sama seperti basis pasokan budak, wilayah pemasaran budak dapat dibagi ke dalam tiga wilayah: Asia Tenggara (termasuk Malaka, barat daya Sumatera, Jambi, Palembang, Bantam, Batavia,  pantai utara Jawa, Makassar, Ambon, Banda, dan Maluku), Asia Selatan (Malabar, Ceylon, Coromandel, dan Bengal), dan Afrika Selatan (Tanjung Harapan).

Di antara kota-kota tersebut Batavia menjadi kota dengan populasi budak terbanyak. Populasi budak di kota ini terus mengalami pertumbuhan, dari sekitar 26.000 pad aakhir abad ke-17, mejadi sekitar 40.000 pada tahun 1780. Dari jumlah populasi tersebut Batavia bisa dibilang berperan sentral dalam sistem perbudakan VOC, karena mengatur produksi dan pemasaran budak di seluruh wilayah VOC.

Namun menariknya mayoritas populasi budak di wilayah VOC tidak dimiliki oleh Perusahaan, tetapi oleh pemilik budak pribadi, terutama pegawai VOC, penduduk Eropa, Eurasia, dan Asia. VOC hanya memiliki beberapa ribu dari puluhan ribu budak yang tinggal di wilayahnya. Dalam beberapa kasus VOC malah mempekerjakan tenaga kerja budak tambahan dari pemilik budak lokal.

Para budak dipekerjakan di berbagai sektor seperti domestik, pertanian, industri, dan kerajinan. Oleh karena itu seringkali para pemilik budak memesan budak dengan keterampilan tertentu sesuai kebutuhan pasar.

perbudakan
Para budak di perkebunan.

Dalam sejarah perbudakan di seluruh dunia, stereotip rasis selalu menyertainya. Hal yang sama juga muncul pada perbudakan pada masa VOC. Stereotip dianggap penting dalam perdagangan dan pekerjaan budak karena dapat mencerminkan kemampuan dan jenis pekerjaan yang dapat mereka kerjakan dengan baik. Misalnya budak dari Bengali memiliki reputasi terampil menjahit, budak dari Melayu dianggap sebagai pengrajin yang terampil, sementara budak dari Afrika lebih cocok dipekerjakan di lapangan yang mengandalkan fisik.

Perbudakan di Hindia-Belanda bertahan selama puluhan tahun. Wacana untuk melarang perbudakan baru muncul saat masa transisi kekuasaan Belanda ke Inggris pada 1811.

Saat itu Lord Minto yang menjabat sebagai Gubernur-Letnan Hindia Belanda memberi saran kepada penggantinya, Raffles untuk melarang perbudakan dengan menghentikan impor budak dan memerdekakan para budak di Jawa. Saran ini sejalan dengan undang-undang perbudakan tahun 1807 dan undang-undang tindak pidana terhadap perbudakan tahun 1811.

Meskipun demikian perbudakan tidak sepenuhnya berakhir pada masa Inggris dan terus berlanjut. Raffles yang diharapkan mampu memberantas perbudakan justru tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan ini. Di kediamannya di Buitenzorg ia justru memiliki 8 budak dan membiarkan pengiriman budak ke Banjarmasin atas permintaan rekannya, Alexander Hare. Kendati kebijakannya terbilang kurang konsisten, namun sebelum kekuasaannya berakhir Raffles membentuk Java Benevolent Institution pada 1816. Institusi ini menjadi motor utama gerakan anti perbudakan, yang kemudian pada masa Belanda dirubah namanya menjadi Javaansch Menslievend Genootschap (Java Humanitarian Society).

Saat kekuasan kembali ke Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan resmi yang melarang perbudakan pada 1 Januari 1860, tetapi perbudakan masih berlanjut di sebagian besar wilayah Hindia-Belanda. Di wilayah-wilayah kepulauan kategori keturunan budak dan non-budak masih berlaku, kondisi ini bertahan setidaknya hingga tahun 1940-an. Dengan demikian sejarah perbudakan di Nusantara bukanlah sejarah dalam periode yang singkat, perbudakan telah diterapkan jauh sebelum kolonialisme masuk dan semakin berkembang seiring dengan pengaruh Eropa di Samudra Hindia.

Daftar Pustaka

Boomgaard, Peter. “Human Capital, Slavery and Low Rates of Economic and Population Growth in Indonesia, 1600–1910”, Slavery & Abolition, 24:2, 2003, hlm. 83-96.

Braudel, Fernand. Civilization and Capitalism 15th-18th Century. Vol. III. London: Collins, 1984.

Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East: An Historical Enquiry. New York: Oxford University Press, 1992.

Mbeki, Linda danRossum, Matthias van. “Private Slave Trade in the Dutch Indian Ocean World: a Study into the Networks and Backgrounds of the Slavers and the Enslaved in South Asia and South Africa”. Slavery & Abolition, 38:1, 2017, hlm. 95-116.

Oostindie, Gert, and Bert Paasman. “Dutch Attitudes towards Colonial Empires, Indigenous Cultures, and Slaves.” Eighteenth-Century Studies 31, no. 3, 1998, hlm. 349-355.

Valentijn, François, Oud en Nieuw Oost-Indien. Vol. 2. The Hague, 1856.

Vink, Markus. “The World’s Oldest Trade: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century. Journal of World History, Vol. 14, No. 2, 2003, hlm. 131-177.

Wright, H. R. C. “Raffles and the Slave Trade at Batavia in 1812”. The Historical Journal, Vol. 3, No. 2, 1960, hlm. 184-191.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *