Perempuan di Asia Tenggara dikenal memiliki status lebih terhormat apabila dibandingkan dengan wanita Cina dan India. Bahkan hingga sekarang martabat wanita di India masih jauh jika dibandingkan dengan wanita Asia Tenggara.
Pada masa lalu, perempuan Asia Tenggara menduduki posisi sentral di beberapa posisi. Meskipun pria masih mendominasi keseluruhan pekerja, tetapi posisi wanita tidak dapat dianggap remeh, karena peran sentral mereka di sektor perdagangan dan pertanian, bahkan juga ada pula yang dominan di sektor pemerintahan.
Pada saat itu muncul paradigma bahwa perempuan dianggap jauh lebih baik dalam mengurus uang daripada laki-laki. Oleh sebab itu perempuan memiliki peran penting di bidang ekonomi.
Namun, kedatangan orang-orang Eropa ke Asia Tenggara pada abad ke-17 membawa perubahan besar untuk wanita Asia Tenggara. Pertama mereka menawarkan modernisasi di segala sektor, tetapi di sisi lain mereka mulai menyingkirkan peran besar wanita. Perubahan besar inilah yang pada akhirnya membawa wanita ke posisi minor di dalam narasi sejarah.
Perempuan-Perempuan Hebat Masa Kerajaan
Di Indonesia wanita telah menduduki posisi terhormat sejak zaman Hindu Buddha. Salah satu contohnya pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi di Majapahit. Tribhuwanottunggadewi merupakan penguasa wanita di Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani dan kemudian menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singasari bergelar Kertawarddhana.
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Setelah pemberontakan itu, terjadi peristiwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada. (Marwati; 1992: 434). Hadirnya penguasa wanita pada masa Hindu Buddha memperlihatkan bahwa wanita juga berhak menjadi penguasa dan menduduki kursi pemerintahan.
Bahkan pada masa Islam di Indonesia peran wanita masih tetap tampak. Hal ini terlihat pada keterlibatan wanita selama pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. Di Kerajaan Aceh Darussalam muncul seorang penguasa wanita, yaitu istri dari Sultan Iskandar Tsani yang dinobatkan menjadi raja. Sultan Iskandar Tsani meninggal tanpa mempunyai keturunan, sehingga posisinya sebagai raja digantikan oleh istrinya yaitu putri tertua Sultan Iskandar Muda yang kemudian bergelar Taj Al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675) (Marwati, 1992: 86).
Setelah Safiatuddin wafat pada 1675, ia digantikan oleh seorang perempuan lagi yang bergelar Sri Sultanah Nur Al-Alam Naqiat ad-Din Syah. Peristiwa di Aceh ini cukup menarik, karena biasanya di dalam ajaran Islam laki-laki lebih diprioritaskan sebagai pemimpin, namun fakta yang terjadi di Aceh justru berkata lain.
Di Jawa juga terdapat tokoh wanita yang cukup berperan pada masa kerajaan Islam. Ia adalah Ratu Kalinyamat yang merupakan penguasa wilayah pesisir utara Jawa, yaitu di Jepara Jawa Tengah. Ia merupakan putri tertua dari Sultan Trenggana, raja ketiga dari Kerajaan Demak. Ratu Kalinyamat hidup pada masa konflik politik perebutan kekuasaan antara keturunan Raden Patah (Chusnul, 2000: 38). Kabupaten Jepara yang dipimpinnya pada abad ke-16 adalah pintu gerbang pelabuhan dan bandar perdagangan Kerajaan Demak, sehingga Jepara menjadi daerah yang kaya.
Baca juga: Eksistensi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
Dalam membangun perdagangan, Ratu Kalinyamat melakukan kerjasama dan menjalin hubungan dengan penguasa di daerah lain. Kerjasama Jepara dengan wilayah lain dilakukan dengan kerajaan yang ada di pesisir misalnya Maluku, Cirebon, Tuban, Johor dan Banten (De Graaf, 2001: 120).
Perempuan-Perempuan Hebat di Perang Jawa
Perang Diponegoro/Perang Jawa memunculkan dua tokoh perempuan kuat yang disegani oleh Belanda. Mereka adalah Raden Ayu Yudokusumo dan Raden Ayu Serang (1762-1855). Keduanya adalah keluarga bangsawan Yogya terkemuka: nama pertama merupakan putri Sultan pertama, dan yang kedua adalah mantan istri sultan kedua.
Raden Ayu dikenal sebagai seorang pemimpin pasukan yang tegas, dengan berani ia memimpin pasukannya menyerang masyarakat Tiionghoa di Ngawi pada 17 Septermber 1825. Aksinya di Ngawi itu membuat Raden Ayu mendapatkan gelar pejuang yang garang. Ia adalah salah satu dari panglima kavaleri senior Diponegoro di mancanagara timur dan kelak bergabung dengan Raden Tumenggung Sosrodilogo di Bojonegoro dalam perlawanan terhadap Belanda di pesisir utara pada 28 November 1827-9 Maret 1828. Pada saat ia dan Sosrodilogo menyerah kepada Belanda di Madiun pada Oktober 1928, ia bersama anggota lain keluarga besarnya mencukur gundul rambutnya sebagai lambang kesetiaan pada perang sabil.
Tokoh perempuan penting kedua dalam Perang Jawa adalah Raden Ayu Serang atau yg lebih akrab dipanggil Nyi Ageng Serang. Selama Perang Jawa, Nyi Ageng Serang dan anaknya, Pangerang Serang II, sangat dihormati karena dianggap dianugerahi kesaktian karena masih keturunan dari Sunan Kalijaga. Pada saat perang ia membantu putranya yang memimpin 500 orang di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama perang. Namun, perjuangannya akhirnya terhenti setelah pada 21 Juni 1827, mereka berdua menyerah kepada Belanda.
Meskipun perempuan Indonesia dahulu mempunyai peran yang cukup signifikan, tetapi pada masa setelah Perang Jawa (1825-1830) peran penting itu justru lenyap. Posisi perempuan di sektor-sektor penting seperti di pertanian dan perdagangan pada umumnya dialihkan kepada pria. Sejak saat itu istilah perempuan sebagai kanca wingking atau secara kasarnya pemuas nafsu mulai akrab di telinga masyarakat Jawa.
Kondisi ini diperparah dengan arsip Belanda yang umumnya mencerminkan suatu realitas kolonial Hindia Belanda yang didominasi unsur laki-laki. Bahkan ada ungkapan bahwa perempuan tidak memiliki tempat di muka umum, karena urusan mereka hanyalah di urusan pribadi (Carey, 2018: xii). Berpijak pada model pemikiran ini perempuan Indonesia perlahan-lahan tersingkir dari narasi besar.
Kebangkitan Perempuan Indonesia
Memasuki abad ke-20, perempuan Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan. Mereka yang sebelumnya terkurung dalam kegelapan, mulai mencari solusi untuk bangkit. Satu persatu organisasi wanita bermunculan seperti Sakola Istri (1904), Putri Merdika Budi Oetomo (1912), Aisyah Muhammadiyah (1914), Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya (1917), dan Wanito Susilo di Pemalang (1918). Dari organisasi-organisasi itu bermunculan tokoh-tokoh wanita berpengaruh seperti Dewi Sartika (1884-1947), Siti Walidah Ahmad Dahlan (1872-1946), dan Maria Walanda Maramis (1872-1924). Berkat jasa-jasa perempuan hebat tersebut, perempuan Indonesia mulai menemukan titik terang di mana tempat mereka sebenarnya berada.
Pergesaran ke arah lebih baik itu semakin terlihat setelah kemerdekaan. Pada masa ini, semakin banyak perempuan yang turut serta dalam bidang-bidang strategis negara. Mereka tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi ada juga yang menjadi pedagang, pengajar, politikus, dan bahkan pemimpin daerah.
Cahaya wanita mulai terbit kembali setelah beberapa tahun sempat terbenam. Tentu saja ini menjadi salah satu pencapaian penting dalam usaha perempuan Indonesia bangkit dari keterpurukan. Penulis sendiri berharap, posisi perempuan yang mulai kembali kepada hakekatnya, tetap dipertahankan dan terus memberikan kontribusi penting bagi bangsa. Karena perempuan ibarat cahaya yang menentukan arah gerak masa depan suatu bangsa.
Daftar Pustaka
Carey, Peter. Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
De Graaf, H.J. & Pigeaud. TH. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Hayati, Chusnul dkk. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara Pada Abad XVI. Jakarta: Putra Prima, 2000.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto. Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta, Balai Pustaka, 1992.
________________________. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta, Balai Pustaka, 1992.