Sebuah kesenian Islami dapat tercipta dengan adanya pencampuran budaya Islam dengan kepercayaan lain yang masih dalam lingkup ajaran agama Islam. Salah satu kesenian Islamis yang ada di daerah nusantara khususnya di tanah Jawa ialah pertunjukkan Wayang. Kesenian ini dalam cerita pertunjukanya setiap tokoh-tokoh pewayangan merupakan bentuk refleksi sikap manusia, watak dan karakter manusia secara umum. Kesenian ini pada masa awal lahir masih dalam bentuk yang menyerupai relief pada sebuah candi baik di Prambanan maupun di candi Borobudur.
Wayang merupakan sebuah kesenian yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa. Wayang dalam masyarakat jawa tidak hanya sebagai sarana hiburan namun oleh para Sunan juga merupakan media dakwah Islam di tanah Jawa. Perjalanan wayang dari waktu ke waktu berubah baik dari masa awal Hindu-Budha sampai pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang dan Mataram II. Perubahan-perubahan inilah yang membuat kesenian ini sangat diminati oleh masyarakat Jawa, baik dari segi cerita, filosofi maupun bentuk-bentuk unik yang ada pada kesenian wayang itu sendiri. Untuk melengkapi pembahasan wayang periode modern, maka pembahasan kali ini akan lebih membahas mengenai pertunjukkan wayang periode klasik.
Asal-Usul Kesenian Wayang
Melihat dari segi istilah kata wayang terdapat beberapa pengertian di antaranya pertama, “wayang” yang berasal dari kata wayangan atau bayang-bayang yang merupakan gambaran wujud tokoh. Kedua, mengenai wayang dalam kamus besar bahasa Indonesia wayang adalah sebuah pertunjukan yang dimainkan oleh seorang dalang. Pengertian secara luas menurut Jajang Suryana, wayang dapat mengandung gambar, boneka tiruan manusia yang terbuat dari kulit atau bahan lain yang berbentuk pipih berwujud dua dimensi. Melihat pengertian-pengertian wayang diatas dapat disimpulkan bahwa wayang merupakan bentuk tiruan manusia dari bahan kulit, kayu dan lain sebagainya yang merupakan bentuk inplementasi dari berbagai watak manusia.
Permulaan kesenian ini muncul dikarenakan nenek moyang percaya bahwa roh leluhur yang telah mati merupakan perlindung dalam kehidupan. Kurang lebih sekitaran tahun 1500 SM nenek moyang kita banyak melakukan upacara-upacara penyembahan nenek moyang. Melihat pada titik tolak inilah orang berusaha mendatangkan roh leluhur ke dalam kehiduan keseharian mereka baik di rumah maupun dihalaman mereka. Pengamplikasian mereka dengan mendatangkan roh leluhur dengan sebutan “hyang” atau “dahyang” . Para “hyang” ini berbentuk patung dan gambar bayang-bayang yang kemudian disebut denga istilah wayang.
Asal usul wayang ini memiliki dua versi yang pertama dari kelompok Jawa, mereka menyebutkan bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Sarjana-sarjana Barat yang berpendapat yaitu Hazeau Brandes menurutnya wayang adalah asli dari Jawa seperti halnya gamelan, batik, ilmu berlayar, astronomi dan cara penanaman padi sawah basah. Pernyataan ini dubuktikan olehnya karena wayang sangat erat kaitanya dengan kehidupan sosial, kultural dan religius orang Jawa.
Pendapat kedua dari Kats, ia berpendapat bahwa wayang jelas berasal dari Jawa, ini dikarenakan istilah-istilah yang digunakan didalam pertunjukan wayang. Kedua, ia berpendapat bahwa wayang merupakan suatu kebudayaan yang sudah tua, sebelum abad XI wayang di Jawa telah menjadi milik penduduk asli(orang Jawa). Ketiga, pertunjukan wayang sangat erat hubunganya dengan penyembahan kepada nenek moyang. Pendapat mereka mempunyai alasan yang kuat yaitu bahwa seni wayang erat kaitanya dengan keadaan sosio-kultural religi bangsa Indonesia khususnya orang Jawa. Ini terlihat dengan adanya tokoh dari wayang yaitu punokawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, serta nama dan istlah teknis pewayangan semuanya berasal dri bahasa Jawa (Kuno).
Versi kedua menyebutkan bahwa wayang berasal dari India, yang dibawa oleh agama Hindu ke Indonesia. Penganut keyakinan ini antara lain Krom, pertama, ia berpendapat bahwa wayang merupakan hasil dari kreasi Hindu yang berada di Jawa. Kedua, wayang menggunakan cerita-cerita dari India. Ketiga, tidak adanya istilah-istilah yang berasal dari India tidak membuktikan apa-apa. Keempat, wayang hanya berada di aerah Jawa dan Bali saja, yang merupakan daerah yang mendapatkan pengaruh agama Hindu terbesar. Pendapat kedua dikemukakan oleh Rassers, ia berpendapat bahwa melihat dari rumah suci laki-laki ini mungkin datang dari India, ia juga memercayai pendapat Krom bahwa wayang merupakan hasil kreasi dari Hindu-Jawa. Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Ras bahwa panggung wayng kulit yang berada di Jawa dan cerita-ceritanya pun sama yakni mengambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. mereka merupakan sarjana Inggris yang pernah menjajah India. Versi kedua ini cenderung lemah dikarenakan sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan sudah sepakat bahwa wayang berasal dari pulau Jawa dan bukan besal dari negara lain (India).
Perkembangan Wayang di Nusantara
Mengenai asal-usul wayang ini masih belum dapat di buktikan, namun banyak sarjana-sarjana Indonesia masih berpatokan pada pendapat dari Hazeau. Wayang berasal dari cara keagamaan untuk pemujaan roh nenek moyang. Inilah dasar atas penyusunan periodisasi perkembangan wayang yang berada di Nusantara. Berdasarkan karangan Mulyono berikut ini periodisasi perkembangan wayang di Nusantara.
-
Pertunjukkan Wayang Periode Pra-sejarah
Mulyono mengikuti pendapat Hazeau bahwa pertunjukan wayang mula-mula berfungsi magis-social-religius, yaitu sebagai alat upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang diwujudkan dalam bentuk bayangan. Kedatangan mereka dikarenakan diminta untuk memberikan restu dan pertolongan. Lakon wayang di zaman ini banyak menceritakan kepahlawanan dan petualangan nenek moyang. Pertunjukan wayang pada masa ini biasanya diadakan pada malam hari di rumah, halaman, atau tempat yang dianggap keramat. Perantara penyampaianya menggunakan bahasa Jawa murni.
-
Pertunjukkan Wayang Periode Mataram I
Zaman ini pertujukan wayang tidak hanya sebagai magis-regius namun juga sebagai alat pendidikan dan komunikasi. Cerita-cerita pertunjukan wayang diambil dari kisah-kisah “Ramayana” dan “Mahabaratha” yang telah ada akulturasi pada sifat dan mitos kuno tradisional. Cerita-cerita pewayangan telah mulai di tulis pada masa ini pada sekitara tahun 903 M. Sedangkan pertunjukan wyang sendiri telah ada pada tahun 907 ini dibuktikan dengan di temuknya sebuah prasasti Balitung yang tertulis”…si Geligi buat Hyang macerita Bhima ya kumara…” ( Geligi mengadakan pertunjukan wayang dengan mengambil cerita Bhima muda).
-
Pertunjukkan Wayang Periode Jawa Timur
Pertunjukan pewayangan pada masa ini telah mencapai bentuk yang sempurna, sehingga dapat mengharukan hati bagi para penikmatnya. Bentuk wayang pada masa ini beragam ada yang terbuat dari daun rontal yang dibuat pada tahn 939 M yang menggambarkan para dewa, ksatria, dan pandhawa. Para tokoh punakawan dapat dilihat pada relief di candi Panatarn yang berangka tahun 1197 dan pada Gatutkaca Sraya 1188. Wayang kayon terdapat di candi Jago 1343. Wayang dengan bahan lain yang menggunakan kertas ialah wayang beber pertunjukan wayang ini mengunakan slendro yang terdapat pada tahun 1361.
Pertunjukan wayang masa ini biasanya dilakukan pada malam hari yang bertempat di rumah atau di tempat keramat, yang dipimpin oleh orang sakti, kepala keluarga, atau terkadang seorang raja. Bahasa yang digunakan dalam pertnjukan adalah bahasa Jawa uno dengan kata-kata Sangsekerta. Masa Majapahit II sekitar tahun 1440 mulai terdapat kitab-kitab pewayangan seperti Tantu Panggelaran, Sudamala, Dewaruci, Kkorawa Crama, yang menggunakan bahasa Jawa pertengahan.
-
Pertunjukkan Wayang Periode Kedatangan Islam
Masa ini pertunjukan wayang berfungsi sebagai sarana dakwah, pendidikan dan komnikasi, sumber sastra dan budaya, dan juga sebagai sarana hiburan bagi masyarkat sekitar. Cerita atau lakon pertunjukan wayang biasanya menggunakan Babad, yakni pencampuran antara cerita Ramayana atau Mahabarata versi Nusantara dengan cerita-cerita Arab/Islam. Pertunjukan wayang pada periode Islam juga mengalami perkembangan di masa kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa dia antaranya:
Pertunjukkan Wayang Masa Kerajaan Demak
Masa kerajaan Demak ini dimulai setelah runtuhnya kerajaan Majapahit yang membuat barang-barang yang berada di kerajaan Majapahit ini di pindahkan ke Demak begitu juga dengan kesenian wayang. Raja-raja kerajaan Demak dengan dibantu oleh para wali melihat bahwa orang-orang Jawa itu gemar akan kesenian daerah yang salah satunya adalah wayang. Mereka ingin menjadikan wayang sengai media dakwah Islam dengan menyempurnakan dan mengubah baik dari segi bentuk, wujud, cara pertunjukan agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam, antara lain :
- Tahun 1518-1521 wayang dinuat pipih menjadi dua dimensi dan digambar miring sehingga tidak menyerupai relief candi.
- Wayang dibuat dari kulit kerbau yang ditatah halus.
- Diberi warna dasar warna putih dan pakaian berwarna hitam.
- Gambar muka wayang dibuat miring dengan tangan yang masih menhyatu dengan badan dan diberi gapit untuk menancapkan kayu serta diberi lubang untuk menancapkanya.
- Tahun 1521 wayang disempurnakan lagi dengan di tambah jumlahnya sehungga dapat dimainkan selama semalam suntuk. Tambahan wayang tersebut adalah wayang Ricikan dan Peralatan wayang seperti Kelir, Blencong, Kothak, Keprak dan Dalang.
Pertunjukkan Wayang Masa Kerajaan Pajang
Kerajaan ini merupakan penerus dari kearajaan Demak dalam bidang kesenian khusunya wayang. Kerajaan ini melakukan pembaharuan pada kesenian wayang dengan membuat berbagai bentuk wayang baru di antaranya:
-
Wayang Kidang Kencana
Merupakan sebuah kesenian wayang yang berbeda dari segi bentuknya yang lebih kecil daripada wayang biasanya. Pembuatan wayang ini digagas oleh raja Jaka Tinggir bersama para ahli kesenian pada sekitaran tahun 1556 M.
-
Wayang Gedog
Pembuatan wayang ini dipelopori oleh Sunan Giri pada sekitaran tahun 1563 M dengan menggunakan gamelan pelog.
-
Wayang Krucil/Wayang Golek Purwa
Wayang yang pertunjukanya dilakukan pada siang hari, yang dilakukan oleh Sunan Kudus sekitar tahun 1584 M. Pertunjukanya hanya memakai “gawang” saja.
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sutawijaya yang mempunyai julukan Panembahan Senapati Ing Ngalaga (1586-1601 M). Ia menyatakan dalam kesenian wayang tidak menciptakan sesuatu yang baru namun hanya menambahkan tokoh wayang diantaranya, binatang-binatang hutan, tatahan wayang yang disempurnakan dengan rambut wayang yang ditatah gempuran, dan wayang gedog ditambah dengan keris.
Pada tahun 1601-1613 kerajaan Mataram dipimpin oleh Mas Jolang yang mempunyai gelar Pangeran Seda Ing Krapyak juga melakukan pembaharuan diantaranya:
- Membuat wayang baru dengan babon wayang Kidang Kncana dan wanda Arjuna.
- Membuat wayang-wayang dagelan.
- Wayang mulai diberi gapit yang baik.
- Membuat senjata diantaranya : panah, keris dan lain-lain.
Tahun 1613-1645 adalah masa keemasan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung Hnyokrokusuma. Ia merupakan raja yang ahli filsafat dan ahli pada kesenian. Ia juga melakukan pembaharuan pada wayang diantaranya, membuat bentuk wayang lebih sempurn dengan membedakan bentuk mata. Misalnya ada mata kedongdongan, mata liyepan serta membuat sastra yang terkenal sampai sekarang yaitu sastragending, serta dibuat wayang Buta Rambutgeni dan buta-buta yang lain.
Jenis-jenis Wayang Periode Klasik
-
Wayang Purwa
Wayang purwa disebut juga wayang kulit karena terbuat dari kulit lembu. Sunan Kalijaga yang menciptakan pertama kali wayang dari kulit lembu. Wayang ini dimainkan oleh seorang dalang yang menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok niyaga dan tembang yang dinyanyikan pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan yang jatuh ke kelir. Penonton harus berpengetahuan tentang tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar supaya dapat memahami cerita wayang (lakon).
Secara umum, cerita dari wayang ini mengambil naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tidak dibatasi hanya dengan standar tersebut. Dalang juga bisa memainkan lakon carangan (gubahan). Dalam sejarahnya, penyaduran sumber cerita dari Rmayana dan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno dilakukan pada masa pemerintahan Raja Jayabaya.
Bentuk wayang purwa ini pada mulanya didasarkan pada bentuk relief candi, namun mengalami perubahan hingga sekarang yang disesuaikan dengan pribadi masyarakat Indonesia (Jawa). Menurut Sunarto, wayang purwa dibedakan berdasarkan ukuran besar/tingginya, yaitu
-
Wayang Kaper
Wayang ini adalah wayang yang ukurannya paling kecil, namun ada wayang yang berukuran besar dibanding yang lainnya yaitu wayang Bima atau Raksasa dan wayang-wayang lainnya disesuaikan. Pada umumnya, wayang ini diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki bakat dalam pewayangan (pedalangan).
R. M. Sajid, sebagaimana dikutip Sunarti, menjelaskan, “Diberi nama wayang kaper karena saat di-sabet-kan (dimainkan dalam pentas) pada kelir (tabir), tidak jelas jenis tokoh yang dimainkan, karena kecilnya bentuk wayang dan hanya nampak benda-benda kecil seperti kaper-kaper (kupu-kupu kecil) yang berkeliaran sekitar di lampu.”
-
Wayang Kidang Kencana
Wayang kidang kencanan merupakan wayang yang ukurannya lebih besar dibandingkan wayang kaper. Wayang jenis ini juga sering disebut wayang kencana yang berarti sedang dan maksud pembuatan wayang ini agar saat digunakan dalam pentas tidak terlalu berat.
-
Wayang Pedalangan
Wayang jenis ini berbeda dengan dua jenis sebelumnya, karena memiliki ukuran yang besar. Wayang inilah yang sering digunkan dalam masyarakat. Berikut beberapa contoh ukuran wayang pedalangan pada wayang kulit purwa gaya Yogyakarta,
- Wayang Bima dengan tinggi 70,7 cm dan lebar 30,2
- Wayang Arjuna dengan tinggi 44,5 cm dan lebar 17,5
- Wayang Sembadra dengan tinggi 29,4 cm dan lebar 14
- Wayang Batara Kala (jenis raksasa) dengan tinggi 83 cm dan lebar 42,5
-
Wayang Ageng
Wayang Ageng merupakan wayang kulit dengan jenis ukuran terbesar dari jenis wayang lainnya. Jika dibandingkan dengan wayang-wayang pedalangan, wayang ageng lebih tinggi satu atau satu setengah lemahan (bagian yang menghubungkan jari-jari kaki belakang dengan kaki muka). wayang ini tidak memenuhi syarat-syarat kepraktisan untuk keperluan pagelaran wayang karena tidak sesuai dengan kekuatan dalang memainkan wayang dengan baik selama pertunjukan semalam suntuk. Selain itu, ada beberapa adegan yang memberikan kesan seolah-olah ruang pentas menjadi terlalu sempit karena ukuran wayang.
-
Wayang Beber
Wayang ini dinamakan beber karena berupa lembaran-lembaran (beberan) yang terbuat dari kain atau kulit lembu yang dibentuk menjadi tokoh-tokoh dalam cerita wayang, baik Ramayana dan Mahabharata. Tiap beberan merupakan satu adegan cerita. Jika sudah dimainkan, wayang dapat digulungkan.
Dalam sejarah, wayang ini muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra–Islam. Konon, para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, memodifikasi wayang beber ini menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat ornamentik. Hal ini dilakukan karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup maupun patung. Selain itu, wayang ini diberi tambahan tokoh-tokoh yang tidak ada pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India), seperti Semar dan anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimasada.
R.M. Sajid dalam bukunya Bawana Wayang menguraikan tentang wayang beber sebagai berikut, “Wayang beber itu bukan wayang yang dipergunakan untuk mbarang (ngamen) yang kemudian dipergunakan di jalan-jalan. Kata beber dalam hal ini berarti direntangkan atau digelar (Jawa: dijembreng). Setiap kali diceritakan, gambar wayang itu direntangkan agar diketahui oleh penonton bagaimana bentuk lukisan dari cerita tersebut”.
-
Wayang Golek
Wayang ini kebanyakan berpakaian jubah (baju panjang) tanpa digeraikan secara bebas dan terbuat dari kayu yang bentuknya bulat seperti lazimnya boneka. Kebanyakan orang menyebutnya dengan wayang tengul. Sumber ceritanya diambil dari sejarah, misalnya cerita Untung Surapati, Batavia, Sultan Agung, Trunajaya, dan lain-lain. Wayang ini tidak mengggunakan kelir seperti pada wayang kulit.
Unsur Filsafat dalam Wayang
Wayang memiliki unsur estetika, etika, maupun falsafahnya. Unsur filsafah ini mengandung nilai-nilai hakiki yang di dalamnya terdapat makna yang luas. Nilai falsafah merupakan isi dan kekuatan utama pertunjukan karena wayang bukan lagi sekadar tontonan menalinkan juga mengandung tuntunan, bahkan orang Jawa mengatakan “wewayangan ngaurip”, bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati.
Menurut Hazim Amir, wayang dan seni pedalangan inidapat disebut teater total. Setiap lakon wayang digelar dalam pentas total, utamanya ketotalan kualitas yang dinyatakan dalam bentuk lambang-lambang, sebagai berikut:
- Ruangan kosong tempat pentas wayang melambangkan alam semesta sebelum Tuhan menggelar kehidupan.
- Kelir atau layar menggambarkan angkasa. Kelir dapat diartikan pula sebagai jagad raya (dunia) di mana semua kehidupan berada di dalamnya. Kelir digunakan sebagai penyekat antara dalang dan penonton.
- Pohon pisang atau gebog sebagai bumi.
- Blencong atau lampu sebagai matahari, di muka kelir terlihat terang yang mengartikan sebagai siang dan dibelakangnya gelap yang melambangkan malam.
- Wayang melambangkan manusia dan makhluk penghuni dunia
- Gamelan atau musik melambangkan keharmonisan hidup
- Gunungan disebut juga kayon berasal dari bahasa Arab khayyu yang berarti hidup, melambangkan bentuk kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya (dunia). Di dalamnya terdapat berbagai macam makhluk antara lain:
- Tanam tuwuh (pepohonan) yang diartikan sebagai pohon kalpataru yang bermakna pohon hidup, sumber kehidupan, dan sumber kebahagiaan.
- Gambar binatang dan berbagai macam unggas merupakan gambaran dari berbagai macam tingkat kehidupan di dunia.
- Pintu gerbang yang diapit dua raksasa melambangkan pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi dan untuk memasukinya harus melalui kedua penjaga (raksasa) sebagai lambang nafsu indera.
- Punakawan
Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, berperan sebagai pamong bagi para ksatria. Menurut seorang tokoh budayawan Riyono memberkan makna sendiri terhadap punakawan yang terdiri atas kelompok pertama di pihak kebenaran yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, sedangkan kelompok yang berlawanan terdiri dari Tejomoyo dan Sorowito.
Di pihak kebenaran dengan tokoh Semar secara etimologi penjelmaan dewa yang bernama Bathara Maya dengan bersama saudaranya Bathara Manik dan Bathara Hantaga. Mereka bertiga putera sang Hyang Tunggal yang terjadi dari keajaiban telur.
Lain halnya menurut Riptoko yang menyatakan bahwa keempat tokoh tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ramayana dan Mahabarata. Mereka merupakan hasil kreasi dari Wali Sanget Tinelon untuk memeragakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional Walisanga dan para mubaligh Islam. Nama-nama mereka berasal dari bahasa Arab.
- Semar
Semar dari Ismar yaitu paku, berfungsi sebagai pengokohan yang goyah. Ibarat agama Islam yang didakwahkan para Walisanga di seluruh kerajaan Majapahit, yang pasa waktu itu sedang dalam pergolakan dengan berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Raden Pateh. Hal itu sesuai dengan hadis Al-islamuismaruddumnya yang artinya Islam adalah pengokoh (paku pengokoh) keselamatan dunia.
- Nala Gareng
Nala Gareng dari Naala Qoriin yang berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional para Walisanga sebagai juru dakwah (dai) ialah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali ke jalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan yang baik.
- Petruk
Petruk dari Fatruk. Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi : Fat-ruk kulla maa siwallahi yang artinya tinggalkan semua apaun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu.
- Bagong
Bagong dari Baghaa yang berari berontak, yaitu terhadap kebathilan atau kemungkaran suatu tindakan anti kesalahan dalam versi lain bersal dari kata baqa’ (Arab) yang berarti kekal, langgeng artinya semua makhluk natinya di akhirat hidup kekal.
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang. Yogyakarta:Diva Press. 2012.
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1991.
Ensiklopedia Wayang Indonesia. Jakarta: 1999
Jurnal:
Woro Zulaela, “Peranan Wyang Kulit Dalam Pengembangan Budaya Islam”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang