Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 lalu, pernah mengisyaratkan perlunya rekonsiliasi nasional yang bermartabat terhadap peristiwa 65. Namun, hingga kini usaha itu belum terlaksana dan masih sebatas wacana.
Banyak hambatan untuk mencapai proses itu, terlebih masih banyak golongan konservatif baik yang dari militer atau orang-orang yang dulunya berhubungan dengan rezim Orde Baru yang mendesak agar rekonsiliasi tidak dilakukan (Pribadi, 2017, https://nasional.tempo.co/read/1021096/alasan-amien-rais-minta-pemerintah-tunda-rekonsiliasi-korban-1965).
Sebagai dampak rekonsiliasi yang tidak kunjung terwujud, komunisto phobi yang berakar dari zaman kolonial malah semakin menjadi, karena terus menerus dikipasi demi kepentingan rezim.
Akibatnya, komunisto phobia yang telah ditanamkan sejak 1925 dan berkembang hingga 1965, kemudian dilanjutkan pada masa Orde Baru telah menjadikan sebagian masyarakat Indonesia menjadi sangat phobia dengan istilah tersebut (Budiawan, 2004).
Kini saat istilah itu dibicarakan di tempat umum, mayoritas masyarakat bakal langsung merasa ketakukan layaknya sedang melihat hantu. Sebuah kondisi yang menyedihkan untuk bangsa ini.
Propaganda Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, rezim Orde Baru melakukan propaganda bukan saja untuk membasmi komunisme di Indonesia sampai ke akar-akarnya, namun sekaligus juga membangkitkan kebencian massa terhadap politik Soekarno dan PKI sehingga kekuasaannya melemah dan pada akhirnya harus turun dari kekuasaan (Wieringa, 2010: 31).
Pada saat Orde Baru berkuasa, Soeharto menanamkan ke dalam memori masyarakat bahwa Partai Komunis Indonesia adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kudeta yang gagal pada 1965, bahkan ada beberapa narasi yang dibangun oleh penguasa pada saat itu bahwa orang-orang PKI adalah manusia-manusia kejam dengan moral rusak yang digambarkan pada propaganda film G30S/PKI (Tornquist, 2017: 276).
Seluruh penggambaran itu dilakukan untuk melegalkan pembantaian 1965-1966, yang berimbas pada hilangnya ingatan sosial– ingatan sosial merupakan ingatan mengenai masa lalu yang disampaikan kepada orang lain, diperingati dengan upacara, ditulis dalam buku, didokumentasi dalam museum, atau ditandai dengan mendirikan monumen– mengenai pembunuhan massal 1965-66.
Menurut narasi resmi dari rezim, tidak ada teror anti-PKI yang perlu diingat, karena yang melancarkan teror hanyalah PKI terhadap Angkatan Darat dan partai-partai politik non-komunis pada Oktober 1965 (Roosa, 2014: 11).
Baca juga: Pasang Surut Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)
Lebih parahnya lagi, ideologi komunis dipercaya akan menurun kepada keturunan mereka, oleh sebab itu keluarga korban peristiwa 1965, selama hidupnya memperoleh diskriminasi selama hidupnya. Tentu dari sisi psikologi, sikap dehumanisasi ini merupakan sebuah pukulan hebat terhadap kesehatan jiwa manusia (Sutoyo, “Berani Menatap”, Kompas 2 Oktober 2018).
Soeharto paham betul bahwa sejarawan merupakan satu kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi kekuasaannya. Untuk itu ia mengontrol para sejarawan untuk menciptakan narasi yang menguntungkan kekuasaannya.
Dalam fungsi kontrol ingatan ini, “peran militer sangat menonjol, di bawah pimpinan Nurgroho Notosusanto mereka menjadi dapur yang mencetak sejarah resmi yang kemudian dijadikan bahan utama pengajaran sejarah di sekolah” (Adam, 2015: 7).
Strategi pengendalian sejarah pada masa Orde Baru dapat dibagi menjadi dua hal: pertama, mereduksi peran Soekarno dan kedua meninggikan jasa Soeharto. Contoh pertama adalah mencoba menghilangkan gambar Soekarno dalam sebuah foto pengibaran bendera pada saat proklamasi.
Namun, yang lebih parah adalah melarang ajaran Soekarno dan menciptakan narasi-narasi yang menjelekkan pemerintahan Orde Lama. Dengan kata lain perbuatan mendiskreditkan peran Soekarno ini dapat dikatakan sebagai kudeta kedua baginya.
Sementara itu, tindakan untuk membesarkan peran Soeharto dilakukan melalui buku sejarah dan film-film (Adam, 2015: 8). Salah satu contohnya adalah pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949: pada narasi-narasi yang dibuat oleh negara, Soeharto dianggap sebagai inisiator dan perencana dari serangan itu. Narasi yang dibuat ini menyisihkan peran Sultan Hamengkubuwono IX sebagai inisiator serangan itu.
Tidak berhenti di narasi sejarah, jasa Soeharto juga diabadikan di Monumen Jogja Kembali (1989) dan Film Janur Kuning yang menggambarkan heroisme Soeharto sebagai pemimpin serangan itu.
Baca juga: Politik Memori: Monumen dan Ingatan Sosial
Pada tahun 1985, mulai muncul pertanyaan-pertanyaan dari pihak yang mendukung/mengetahui peran sultan sebagai inisiator (Putra, 2001: 489). Perdebatan ini mencapai puncaknya setelah Soeharto turun dari kekuasaanya, pada masa ini mulai banyak bermunculan sejarawan/para pemerhati sejarah yang dengan vokal menentang narasi Orde Baru.
Dalam kasus peristiwa G30S, narasi sejarah dibuat sedemikian rupa untuk menyudutkan golongan-golongan kiri. Tidak hanya PKI, usaha untuk merekayasa sejarah juga dilakukan terhadap Gerwani salah satu organisasi perempuan saat itu. Penggambaran Gerwani yang dianggap sebagai perempuan-perempuan lancur bermoral rendah yang dengan kejamnya menyiksa para jenderal menjadi salah satu contoh propaganda tidak masuk akal yang akhirnya memicu kebencian masyarakat (Wieringa, 2010: 37). Akibatnya, peran Gerwani sebagai organisasi perempuan terbesar pada masa awal kemerdekaan tidak banyak diketahui oleh generasi selanjutnya.
Selain buku sejarah dan surat kabar, film juga menjadi senjata utama Orde Baru untuk menyudutkan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan gerakan komunisme. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh sutradara Arifin C Noer didasarkan sejarah resmi Orde Baru yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto pada 1966 yang penuh dengan rekayasa.
Film ini semula berjudul Sejarah Orde Baru ini mulai diproduksi pada 1981, disetujui Presiden Soeharto pada 1983, dan secara resmi ditayangkan melalui televisi nasional sejak 1984 hingga 1997 (Hamid, “Politisasi Isu Kebangkitan PKI”, Kompas, 2 Oktober 2018; Adam, 2018: 16).
Upaya Rekonsiliasi
Setelah Soeharto turun, sempat muncul upaya rekonsiliasi yang digulirkan oleh Habibie dan Gus Dur. Khusus Gus Dur, upaya rekonsilisasi sangat gencar digalakan, ia tidak segan untuk mengundang pulang orang-orang keturunan PKI yang melarikan diri ke luar negeri, bahkan secara pribadi ia sempat menawarkan permintaan maaf kepada para korban pembantaian 1965-1966.
Namun, yang paling kontroversial adalah upayanya untuk mencabut Tap MPRS No. 25/1966 mengenai pelarangan ideologi komunisme, kebijakan itu mendapat perlawanan keras dari golongan konservatif Islam yang menyebabkan usia kepemimpinannya tidak lama (Budiawan, 2004).
Pada masa Presiden Joko Widodo, phobia PKI kembali meningkat seiring dengan tersebarnya berita hoax mengenai kebangkitam PKI. Puncaknya, penayangan film itu mulai digalakan kembali oleh masyarakat yang masih terjebak oleh indoktrinisasi anti komunisme Orde Baru, lebih menyedihkannya ajakan untuk menonton film itu juga diserukan oleh mantan petinggi TNI seperti Kivlan Zein dan Gatot Nurmantyo.
Usman Hamid (Kompas, 2 Oktober 2018) menyimpulkan fenomena isu PKI sebagai berikut: Pertama, politisasi isu anti-PKI melalui pemaksaan menonton film G30S/PKI adalah upaya memundurkan agenda Reformasi termasuk profesionalisme internal TNI ke belakang dan mengembalikan TNI sebagai pembela penguasa Orde Baru. Kedua, politisasi anti-PKI adalah upaya menarik TNI ke dalam penyudutan tokoh politik yang bersaing di Pemilu 2019, merepetisi cara-cara licik di Pemilu 2014. Ketiga, menghidupkan stigma negatif pada penyintas tragedi 1965 untuk menggagalkan rehabilitasi dan penyelidikan pembunuhan massal terkait 30 September 1965. Keempat, politisasi anti-PKI dipakai demi meredam suara kritis yang mengganggu kepentingan politik dan bisnis besar. Kelima, politisasi anti-PKI tidak membawa pengetahuan baru apa yang sebenarnya terjadi dalam G30S dan jauh dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa rekonsiliasi merupakan satu-satunya jalan untuk berdamai dengan masa lalu. Untuk mewujudkan rekonsiliasi maka pengungkapan kebenaran masa lalu perlu dikedepankan, agar masyarakat menjadi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bangsa Indonesia telah lama terkungkung dalam tempurung propaganda rezim Orde Baru.
Menerima dan menghormati hak-hak manusia sesama ialah dasar dan syarat utama dan pertama untuk membangun “budaya rukun dan damai”, sebagai lawan dari “budaya permusuhan dan kekerasan” yang sepanjang masa Orde Baru rezim Suharto telah dibangun dan dihiduphidupkan sepanjang kekuasaannya.
Dalam menempuh proses panjang pembangunan kembali budaya rukun dan damai, yang tidak mudah dan tidak sederhana itu, sekurang-kurangnya ada empat masalah pokok yang harus dihadapi dan dikerjakan.
Empat aspek itu, pertama, memberi jaminan kepastian akan adanya suasana damai; kedua, menyingkapkan kebenaran; ketiga, menegakkan keadilan; dan keempat, mendudukkan masa lalu pada tempat yang semestinya. Apabila keempat aspek tersebut dapat dilaksanakan, Indonesia yang damai dan terbebas dari hantu masa lalu pun bukanlah utopia yang diwacanakan oleh para penguasa, tetapi menjadi kenyataan yang akan menjadikan bangsa ini semakin besar.
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2015. Melawan Lupa, Menepis Stigma. Jakarta: Kompas.
___________, 2018. “Beberapa Catatan Tentang Historiograi Gerakan 30 September 1965”. Archipel [En ligne], 95 | 2018, mis en ligne le 01 juillet 2018.
Budiawan. 2004. Mematahkan Warisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: Elsam.
Hamid, Usman. “Politisasi Isu Kebangkitan PKI”. Kompas 2 Oktober 2018.
Pribadi, 2017. https://nasional.tempo.co/read/1021096/alasan-amien-rais-minta-pemerintah-tunda-rekonsiliasi-korban-1965.
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2001. “Remembering, Misremembering and Forgetting: The Struggle over Serangan Oemoem 1 Maret 1949 in Yogyakarta, Indonesia”. Journal of Social Science, Vol. 29, No. 3.
Tornquist, Olle. 2017. Penghancuran PKI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Roosa, John; Ayu Ratih; dan Hilmar Farid (Ed.). 2004. Tahun yang tidak pernah berakhir. Jakarta: ELSAM.
Sutoyo, Nani Nurrachman. “Berani Menatap”. Kompas 2 Oktober 2018.
Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan. Yogyakarta: Galangpress.