Revolusi Iran merupakan salah satu revolusi yang mempunyai pengaruh besar, khususnya bagi gerakan Syi’ah di negara-negara Timur Tengah abad ke-19. Revolusi ini merupakan reaksi dari kebijakan penguasa rezim Pahlevi yang bertindak diktator, dan sangat berorientasi pada negara-negara Barat. Rezim Pahlevi banyak membuat kebijakan yang memojokkan posisi ulama di Iran. Akibatnya, ulama perlahan-lahan menghimpun kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat untuk mewujudkan perubahan. Revolusi yang dipelopori oleh Ali Shariati, dan Ayatullah Khomeini ini, merupakan revolusi negara Timur Tengah yang paling banyak mendapat sorotan dunia Barat. Banyak kepentingan asing yang merasa terancam akibat revolusi ini maka, pada pembahasan kali ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai revolusi Iran tahun 1977-1979.
Letak Geografis Iran
Dari segi geo-politik, Iran berada di lokasi yang sangat strategis di wilayah Timur Tengah. Dengan luas wilayah sekitar 1.648.195 kilometer persegi, menjadikan Iran sebagai negara terluas ke-16 di dunia. iran dikelilingi negara-negara penting di kawasan benua Asia, dan Eropa, seperti Turki, Rusia, Afghanistan, Pakistan, dan Irak.
Batas-batass negara Iran dengan para tetangganya terdiri dari 5.170 km garis batas daratan, dan 2.510 km garis batas air. Gari batas terpanjang berada di sebelah utara, yaitu perbatasan dengan Rusia, sepanjang 1.740 km sebagai daerah perbatasan bersama termasuk 630 km batas air. Daerah perbatasan Iran dengan Irak, di sebelah barat daya, yaitu sepanjang 1.280 km, dan perbatasan dengan Turki di barat laut sepanjang 470 km. Dengan Afghanistan di timurlaut, dengan batas sepanjang 850 km, Sedangkan dengan Pakistan sepanjang 830 km. Teluk Persia, dan Laut Oman terletak di selatan, dengan garis tapal batas perairan sepanjang 1.880 km.
Dengan posisi Geografis yang sedemikian rupa, Iran selalu menjadi salah satu wilayah terpenting dari strategi global negara-negara besar. Bukan hanya dari segi politik, tetapi juga segi ekonomi. Salah satu penyebabnya adalah posisi Iran yang berada di jalur pelayaran internasional. Arus suplai minyak dari negara-negara Timur Tengah sebagian besar diangkut melalui Teluk Parsi, dan Selat Hormuz. Sebagian besar keperluan minyak negara-negara Blok Barat sangat tergantung pada jalur pelayaran di perairan Teluk Parsi. Oleh karena itu ketika rezim Pahlevi masih berkuasa di Iran, negara-negara Barat sangat intensif memberikan bantuan, dan pengaruh kepada Iran, dengan harapan mereka mengendalikan kebijakan-kebijakan pemimpin Iran saat itu.
Latar Belakang Revolusi Iran
Seperti yang telah dipaparkan di prolog, ulama menjadi aktor utama di balik revolusi Iran. Untuk lebih mengetahui sebab-sebab revolusi yang dipelopori kaum mullah ini kita perlu flashback sedikit ke belakang, tepatnya ketika rezim Pahlevi mulai berkuasa. Pada tahun 1925 berdirilah rezim Pahlevi, menggantikan pemerintahan dinasti Qajar yang kacau balau. Di bawah pemerintahan rezim Pahlevi terbentuklah sebuah pemerintahan sentral . Negara tersebut dibangun sejalan dengan ideologi nasionalis. Pada awal pendiriannya, rezim Pahlevi mendapatkan dukungan dari sebagian ulama untuk melakukan restorasi di Iran yang telah banyak dipengaruhi asing. Akan tetapi pada realitasnya, pemerintahan rezim Reza Khan justru memberlakukan program modernisasi ekonomi, dan Westernisasi kultural secara intensif.
Langkah pertama yang ditempuh Shah Reza adalah membangun kekuatan militer modern. Sektor 33% dari anggaran negara digunakan untuk pendanaan militer, dan juga sejumlah anggaran lainnya yang didapatkan dari sektor minyak. Shah Reza kemudian mengadakan pelatihan pejabat-pejabat tentara di Prancis, dan memberlakukan wajib militer. Dengan dukungan pasukan militernya, dan pemerintahannya yang kuat, rezim ini mengatasi oposisi elit agama, pedagang, dan elite kesukuan.
Meskipun Shah Reza meraih kekuasaan dengan dukungan sebagian ulama yang menginginkan perbaikan kerajaan Iran, dan mengharap lahirnya pemerintahan yang kuat untuk menekan pengaruh asing, namun ketika pemerintahan rezim Pahlevi telah kokoh, mereka justru menghapuskan pengaruh ulama. Melalui pembentukan sistem pendidikan sekuler, pengawasan pemerintah terhadap sekolah-sekolah agama, pengurangan dana subsidi, dan melalui beberapa kebijakan lainnya rezim Pahlevi berusaha menggiring ulama berada di bawah kontrol negara. Ini merupakan pukulan pertama yang didapatkan para ulama, dari rezim Pahlevi.
Pukulan kedua terhadap pihak ulama, adalah kebijakan reorganisasi administrasi yudisial. Pada tahun 1928, Shah Reza memberlakukan beberapa kitab hukum yang menggeser kedudukan hukum syari’ah. Pada tahun 1932, parlemen mengundangkan sebuah undang-undang baru yang memindahkan registrasi dokomen-dokumen resmikepada pengadilan sekuler, dan merupakan pukulan telak yang mencabut fungsi-fungsi terpenting pengadilan agama.
Di bidang hubungan internasional, Iran masa Rezim Pahlevi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh asing. Pada dekade 1920-1930-an, tercatat beberapa negara mencoba memberikan pengaruh di Iran, di bidang tata perkantoran yang baru dijalankan oleh pejabat-pejabat Belgia. Amerika Serikat membantu mengorganisir pengumpulan pajak, bank nasional Iran didirikan pada tahun 1927 di bawah manajemen keuangan Jerman. Pada dekade yang sama Inggris, dan Rusia saling berlomba memberikan pengaruh ekonomi di Iran. Tercatat Rusia merupakan mitra utama perdangan, sementaraInggris menguasai produksi minyak dengan perusahaan mereka the Anglo-Persian Oil Company, yang telah berdiri sejak tahun 1909.
Berakhirnya Perang Dunia II, tepat bersamaan dengan fase Iran yang tengah mensentralisir kekuasaan negara, dan fase perkembangan ekonomi Iran. Inggris, dan Rusia berusaha mengamankan rute suplei, dan mengamankan penguasaan mereka terhadap minyak Iran, mencoba melengserkan Rezim Shah Reza. Mereka memaksa Shah Iran meletakkan jabatannya, dan mengangkat putra bungsunya, yang bernama Muhammad Reza Pahlevi sebagai penguaasa boneka Iran. Antara tahun 1941, dan 1953 terjadi pergolakan terbukan antara sejumlah protektor asing, dan sejumlah parpol internal Iran. Amerika Serikat perlahan menggeser pengaruh Rusia, dan Inggris, dan akhirnya tampil sebagai pelindung utama bagi Rezim Iran.
Pada akhir dekade 1940-an, dan awal dekade 1950-an, Iran tengah berjuang merebut kekuasaan Anglo-Iranian Oil Company. Pada tahun 1951, Muhammad Mosaddeq, pemimpin front nasional yang didukung tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, dan ulama melalui parlemen mengajukan rancangan nasionalisasi perusahaan minyak tersebut. Pergolakan ini mengancam rezim Pahlevi, AS melalui C.I.A membantu militer Shah Iran untuk mengalahkan Mosaddeq, dan menegakkan kembali rezim otoriter. Dengan kembali tegaknya rezim otoriter tersebut, juga menandai semakin terikatnya Rezim Pahlevi terhadap Amerika Serikat, mereka sangat bergantung pada bantuan finansial Amerika.
Setelah pemerintahannya kembali tegak, pada tahun 1953, Shah Iran merombak sitem pemerintahan yang awalnya sebuah monarki konstitusional, menjadi monarki absolut. Perombakan ini menjadikan kekuasannya menjadi semakin absolut, Shah Iran menguasai angkatan bersenjata, dan savak, agen intelejen, mengangkat para menteri, menentukan separo dewan senat, dan memanipulasi parlemen. Pada dekade yang sama, pemerintah secara diam-diam menyokong kepentingan ulama, seperti memberi jabatan tinggi, dan kekayaan. Sebagai gantinya, para mullah harus mendukung kebijakan pemerintah. Upaya yang dilakukan rezim Pahlevi ini justru semakin membulatkan tekad mullah untuk menggalakan perlawanan.
Di sektor ekonomi, dengan pengaruh asing yang semakin kuat di Rezim Pahlevi, turut serta memajukan perindustrian di perkotaan. Sejak awal pemerintahan rezim Pahlevi, para penguasa menjadikan proyek industri, sebagai proyek utama ekonomi Iran. Kebijakan ini ibarat pedang bermata dua yang menciptakan problematika bagi rakyat Iran, di satu sisi masyarakat yang berada di kota dapat menikmati kemakmuran ekonomi akibat kemajuan industri. Di satu sisi, sekitar 75% penduduk Iran yang mayoritas bekerja sebagai petani, dan tinggal di pedesaan mengalami kesulitan dalam mengembangkan perekonomian.
Tercatat 96%, penduduk pedesaan belum terjamah listrik, dan hidup dalam kondisi seadanya. Akibatnya banyak masyarakat yang tinggal pedesaan memilih untuk melakukan urbanisasi ke kota, yang mengakibatkan kepadatan populasi perkotaan. Situasi yang sedemikian rupa menunjukkan ketimpangan yang besar antara masyarakat atas yang tinggal di kota, dan masyarakat kelas bawah yang tinggal pedesaan. Kekuatan masyarakat bawah inilah yang nantinya akan dimanfaatkan ulama, sebagai salah satu kekuatan utama revolusi Iran.
Pada dekade 1960-an, gerakan oposisi telah tersebar luas, namun lantaran gerakan ini tidak terkoodinir sehingga dengan mudah dapat dipatahkan. Partai Tudeh, dan partai nasional dihancurkan oleh Savak. Minoritas Kurdish, Arab, dan Baluchi diserang lantaran hasrat mereka untuk membentuk otonomi regional. beberapa kelompok gerilya militian, yang menentang rezim Shah sempat beberap kali melakukan perlawanan. Akan tetapi perlawanan tersebut belum mampu menggoyahkan cengkeraman rezim Shah.
Kemunculan Tokoh-Tokoh Penggerak Revolusi Iran
Permasalahan yang dialami oleh gerakan-gerakan oposisi pemerintahan Shah, adalah kurangnya konsolidasi antara gerakan. Sehingga gerakan tersebut bergerak sendiri-sendiri/parsial, meskipun sempat muncul tokoh seperti Mosadeq namun usahanya belum mampu mencongkel rezim Pahlevi yang disokong oleh kekuatan asing. Pada periode menjelang revolusi Iran, muncul dua tokoh sentral yang mampu menyatukan gerakan revolusi Iran. Dua tokoh tersebut adalah Ali Syari’ati, dan Ayatulah Khomeini.
-
Ali Shariati
Ali Shariati (1933-1977) merupakan tokoh pergerakan Iran yang mempersatukan banyak arus reformasi pada masanya. Oposisi terhadap Shah, penolakan Westernisasi, revivalisme keagamaan, dan pembaharuan sosial. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu, hingga dia dapat menyelesaikan gelar Doktornya di Sorbonne, Paris pada tahun 1965, dalam studi sejarah Islam, dan Sosiologi. Ketika di Paris dia aktif dalam organisasi-organisasi penentang pemerintah. Ketika pulang ke Iran pada tahun 1965, dia sempat dipenjarakan oleh Shah Iran karena dianggap sebagai suatu ancaman, setelah dibebaskan dia dilarang untuk mengajar di Universitas Teheran.
Shariati merupakan seorang pemikir Islam yang inovatif, menganut pendirian yang kontras dengan interpretasi keagamaan tradisional dari pihak ulama, dan begitu pun dengan pandangan sekuler. Dia juga dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Iqbal. Shariati menggabungkan pemikiran Islam dengan bahasa ilmiah Barat dalam usaha mengungkapkan ideologi Syi’ah bagi pembaharuan sosio-politik. Usahanya ini mendapat hujatan dari Shah, yang menuduhnya “muslim Marxis”, dan begitu pula kecaman-kecaman dari beberapa pemuka agama yang menuduhnya menyimpang jauh dari tradisi.
Bagi Shariati revolusi di Iran mempunyai dua aspek fundamental, yakni kesatuan identitas nasional, dan keadlian sosio ekonomi. Hanya dengan dua program itulah Iran akan dapat dibebaskan kembali dari penguasaan politik, dan pemerasan ekonomi pihak Barat. Shariati menyerukan pendekatan ilmiah terhadap Islam untuk membangkitkan semangat Islam yang awalnya merupakan gerakan revolusi sosial sepanjang sejarah umat manusia. Pada waktu yang sama, kecamana Shariati yang anti Barat beserta caranya menggunakan sumber-sumber Islam, dan pokok kepercayaan Oslam sejalan dengan pandangan mayoritas bangsa Iran. Menurut Shariati, masyarakat Islam yang sejati adalah masyarakat tanpa kelas yang menolak keistimewaan-keistimewaan berdasarkan suku, lapisan, dan status.
Ali Shariati memang tidak membentuk atau memimpin organisasi tertentu. Penafsiran Shariati terhadap Syi’ah-Islam sebagai ideologi yang revolusioner, yang tujuannya membentuk masyarakat yang adil banyak menginspirasi gerakan muda. Salah satu angkatan muda Iran yang mengadopsi pemikiran Ali Shariati adalah Mujahidin-i-khalq (pejuang rakyat). Sangat disayangkan Ali Shariati tidak sempat menikmati hasil dari revolusi Iran, karena pada tahun 1977 di meninggal dunia.
-
Ayatullah Khomeini
Jika Shariati merupakan perumus ideologi revolusi Iran, maka Ayatullah Khomeini merupakan lambang yang hidup, dan pemimpin revolusi. Khomeini bukan merupakan tokoh senior dalam kalangan “ayatullah”, akan tetapi dia merupakan tokoh yang berani bicara menentang kebijakan rezim Shah selama tahun 1963-1965, hingga dia dipenjarakan, dan dijatuhi hukuman pengasingan.
Dari segi pemikiran Khomeini sejalan dengan Maulana Al-Maududi dari Jamaat i Islami (India), dan Hassan al-Bana dari Ikhwanul Muslimin (Mesir) dalam mengutuk praktik westernisasi, dan imperialisme Barat, dan Zionis. Selama dalam pembungan di Irak, dan kemudian di Prancis, Khomeini merupakan lambang oposisi terhadap Shah. Dengan bantuan dari pengikutnya, Khomeini terus berbicara dan membiayai gerakan menentang Shah. Naskah-naskah, dan kaset-kasetnya diselundupkan ke Iran dan tersebar luas. Pengasingan nampaknya menjadi berkah tersendiri bagi Khomeini, dia dapat bebas berbicara sesuai apa yang ada di pikirannya, tanpa khawatir intimidasi dari pemerintah.
Memasuki dekade 1970-an, sewaktu pemerintahan Shah menjadi semakin diktator dengan menggunakan militer, dan SAVAK untuk membungkam oposisi, maka hanya golongan keagamaan saja yang mampu bertahan. Pada dekade ini, posisi Khomeini mengalami transformas, dari seorang pengecam yang menyerukan Shah agar melakukan pembaharuan pemerintahan, menjadi pemuka oposisi yang menuduh pemerintahan Shah bukan pemerintahan Islam.
Dengan menggunakan istilah-istilah yang berhubungan dengan Islam, Khomeini berhenti memanggil Shah sebagai penguasa muslim, menyerukannya supaya taubat, menghentikan kebijakan-kebijakannya, dan kembali pada jalan Allah. Khomeini juga mengutuk pemerintahan rezim Shah merupakan pemerintahan yang anti-Islam, dan rezim yang kufur.
Meskipun pemikirannya terhadap Barat banyak mengadopsi Maulana Al-Maududi, dan Hasan al-Banna, terdapat perbedaan yang sangat jelas terhadap penerapan hukum Islam di suatu negara. Jika dua tokoh pendahulu tersebut berpendapat bahwa penerapan hukum Islam harus melihat apakah masyarakat muslim itu telah memperlihatkan ciri Islam atau belum, jika sudah maka hukum Islam bisa diterapkan. Sementara Khomeini berpendapat bahwa pelaksaan hukum Islam itu jalan bagi perubahan, dan pembaharuan masyarakat Islam.
Khomeini percaya bahwa pembentukan pemerintahan Islam, akan menghadapi hambatan luar biasa. Pada tahun 1970, Khomeini berbicara tentang revolusi Islam yang realisasinya akan memakan tempo berabad-abad, bahkan dia tidak mengira revolusi akan berjalan lebih cepat yakni pada akhir 1970-an.
Meletusnya Revolusi Iran 1977-1978
Ketika oposisi yang dipelopori oleh Ali Shariati, dan Ayatullah Khomeini mulai memuncak di Iran, Syi’ah Islam muncul sebagai ideologi bagi gerakan pemersatu massa yang efektif. Islam menawarkan gagasan ideologi yang di dalamnya menjangkau semua pihak. Di bawah payung Islam, kelompok-kelompok yang heterogen dalam spektrum politik, mulai dari kaum sekuler, aktivis Islam, pendukung demokrat-liberal, dan Sosialis, bergabung menjadi satu.
Islam lebih dipilih sebagai ideologi revolusi, karena lebih otentik, dan dekat dengan karakter asli Iran. Selama dalam tujuan yang sama, maka pandangan keagamaan maupun politik berbgai kelompok itu tidak dipersoalkan. Sebagian berkeinginan membangun identitas Iran, yang sadar akan warisan kulural, dan sejarahnya. Tetapi mayoritas, memillih ideologi Islam, karena bermakna kembali kepada Islam, dan pembangunan negara, masyarakat Islam.
Memasuki bulan November 1977, demonstrasi mulai gencar dilakukan oleh para penentang rezim Shah. Mahasiswa dan masyarakat biasa memenuhi ruang-ruang di jalanan, semuanya menyerukan slogan-slogan anti rezim Shah. Polisi Iran saat itu melakukan upaya represif untuk membubarkan unjuk rasa, seorang mahasiswa tewas, tujuh puluh luka-luka, dan seratus orang ditahan. Tindakan kepolisian memicu pemogokan mahasiswa, hingga menyebabkan universitas-universitas di Iran ditutup.
Dua bulan kemudian, dua insiden tambahan terjadi yang menyebabkan kebencian terhadap rezim Shah memuncak. Pada bulan Januari 1978, seorang khatib yang berada dalam granted sanctuary, dibunuh oleh pasukan pemerintah. Peristiwa yang memicu demonstrasi berlanjut disertai kekerasan adalh serangan pemerintah pada bulan yang sama terhadap ulama, dan Khomeini secara kusus. Pada tanggal 7 Januari, melalui edaran surat kabar pemerintah menyebuh pemuka keagamaan sebagai kaum reaksioner hitam yang bekerjasama dengan komunis Internasional.
Tuduhan tersebut langsung disanggah oleh kelompok ulama, sekitar 4000 orang turun ke jalan, dan meneriakkan “kami tidak menginginkan pemerintahan Yazid (khalifah kedua dinasti Umayyah), dan kami menuntut pemulangan Ayatullah Khomeini.” Polisi kemudian menyergap demonstran, dan menyebabkan banyak korban tewas dan terluka. Peristiwa tersebut dikenal dengan tragedi Qum Massacre (pembunuhan masal di Qum).
Pada awalnya demonstrasi oposisi berlangsung damai, akan tetapi di Tabriz (18 Februari 1978), Yazd (29 Maret 1978), dan di Qum (10 Mei 1978) demonstrasi-demonstrasi itu berubah menjadi kericuhan fisik, penyebabnya adalah tindakan represif yang dilakukan kepolisian, dan pasukan tentara. Kaum perusuh kemudian menyerang seluruh bangunan lambang-lambang kerajaan, yang dimodernisir ala Barat. Dalam konfrontasi yang semakin meningkat, slogan-slogan yang menentang Shah dan Barat terus dikumandangkan.
Black Friday 8 September 1978
Rangkaian peristiwa demonstrasi mencapai puncaknya di Teheran yang dikenal dengan “Black Friday”. Pada Kamis 7 September 1978, sebanyak 500.000 demonstran berkumul untuk menyanggah pengumuman Hukum Darurat Perang oleh Dekrit Kerajaan. Pada hari Jumat tanggal 8 September 1978, sekitar 75.000 orang melakukan demonstrasi duduk bersama di lapangan Jaleh. Militer, dan kepolisian yang mencoba membubarkan unjuk rasa tidak mampu membubarkan, maka orang-orang tersebut ditembaki dengan senapan mesin dari pesawat helikopter, dan pasukan tank beserta tentara di darat.
Peristiwa Black Friday, merupakan titik balik bagi revolusi. Peristiwa itu mengokohkan kesatuan seluruh kekuatan oposisi, beserta mobilisasi, dan radikalisasi pihak massa. Kekuatan oposisi yang tidak lagi memperdulikan latar belakang, bersatu padu dengan Khomeini sebagai lambang perjuangan. Semuanya bersatu padu menggunakan lambang Islam, mereka meneriakkan takbir di segala penjuru. Dalam langkah yang serupa, kaum wanita yang menggenakan pakaian modern selama ini lantas berbondong-bondong menggunakan jilbab, dan cadar sebagai protes terhadap raja yang mengeluarkan kebijakan penghapusan cadar.
Klimaks Revolusi Iran 1979
Pada bulan-bulan berikutnya pasca peristiwa Black Friday, gelombang pemogokan massal melanda seluruh negeri, dan mengancam lumpuhnya pemerintahan. Seluruh instansi pendidikan, bank, lalu lintas, media, ladang-ladang minyak, pertambangan, perusahaan industri, seluruhnya merasakan dampak akibat mayoritas para pekerjanya bergabung ke dalam oposisi, dan terlibat aksi politik.
Pada bulan Desember, yang bertepatan dengan bulan Muharram, simbolisme, dan emosi keagamaan dalam upacara peringatan kematian Al-Husain, kembali menunjukkan bentuk penentangan terhadap pemerintah, saat prosesi keagamaan berubah menjadi demonstrasi. Di Teheran, upaca peringatan Asyura menarik dua juta jiwa memadati jalanan, dan meneriakkan tumbangnya pemerintah, kematian bagi Shah, dan pemulangan Ayatullah Khomeini. Pada tanggal 6 Januari 1979, kubu Shah Iran yang sudah tidak mampu menghadapi tantangan, dan berbagai kekerasan yang tidak mampu ditanggulangi oleh militer diakibatkan banyak prajurit telah membelot mendukung oposisi, maka akhirnya pihak Shah meninggalkan Iran, dan konflik tersebut akhirnya dimenangkan pihak oposisi.
Perubahan Pasca Revolusi Iran
Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan rezim Pahlevi. Bentuk negara berubah dari monarki absolut, menjadi sebuah Republik Islam yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah. Bentuk Republik Islam secara resmi disetujui mayoritas (98,2%) rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada 1 April 1979, sementara Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran disetujui mayoritas rakyat Iran (99,5%) melalui referendum yang diadakan pada tanggal 3 Desember 1979.
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada di tangan Imam (pemimpin), Imam Khomeini menjadi Imam pertama Republik Islam Iran setelah kembali dari pengasingannya. Hal ini sesuai dengan ajaran Syi’ah yang menerapkan prinsip Imamah, sebagai salah satu ajaran utamanya.
Selama kepemimpinan Ayatullah Khomeini selain berkedudukan sebagai Imam, juga sebagai wilayatul faqih. Kekuasaan Imam atau pemimpin tidak diperoleh melalui suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat. Ayatullah Khomeini, misalnya, muncul sebagai penguasa tertinggi karena dinilai berhasil memimpin revolusi Islam yang menggulingkan monarki Shah Iran, dan membentuk sebuah Republik Islam, sehingga Ayatullah Khomeini juga mendapat gelar sebagai pemimpin revolusi Iran, dan bapak pendiri Republik Islam Iran.
Setelah Imam, kekuasaan tertinggi negara berada di tangan presiden. Dalam pasal 113 UUD Iran disebutkan, presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan negara, dan memimpin cabang eksekutif, kecuali hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam. Presiden berdasarkan pasal 114, dipilih untuk masa jabatan empat tahun, dan dipilih langsung melalui pemilihan umum.Pemegang kekuasaan eksekutif lain di samping presiden adalah perdana menteri.
Kekuasaan Legislatif Republik Islam Iran, ditangani tiga lembagaL Majelis Konsultatif Islam, Dewan Perwalian, dan Majelis Ahli. Majelis Konsultatif Islami, berfungsi sebagai parlemen, yang terdiri dari 270 anggota dan dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun.
Pengaruh Revolusi Iran
Setelah membahas mengenai perubahan-perubahan pasca revolusi, sekarang kita akan membahas dampak-dampak yang ditimbulkan pasca revolusi Iran. Tidak dapat dipungkiri revolusi Iran merupakan salah satu revolusi besar, yang terjadi di Timur Tengah. Pasca revolusi timbul kekhawatiran dari Barat, bahwa revolusi Iran akan berdampak bagi kebangkitan umat Islam khususnya aliran Syi’ah di berbagai belahan negara lain. Kekhawatiran tersebut akhirnya terbukti, dengan berbagai pergerakan Syi’ah di berbagai negara Timur Tengah.
- Lebanon
Di Lebanon, paling tidak berdiri tiga kelompok Syi’ah dan satu kelompok Sunni yang berorientasi ke Republik Islam Iran. Mereka adalah, Hizbullah, Jihad Islam, dan Organisasi Keadlian Revolusioner (Syiah) serta Tauhid (Sunni). Mereka dikenal sebagai kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang menghendaki berdirinya Republik Islam model Iran di Lebanon.
Pada 1982, Hizbullah diperkuat oleh kehadiran sekitar 1.500 anggota pasukan pengawal revolusi Islam Iran (Pasdaran). Iran secara berkala memasok dana dan berbagai macam persenjataan bagi Hizullah. Tidak mengherankan bila Hizbullah menjelma menjadi salah satu milisi terkuat di Lebanon. Sebagaimana Hizbullah, Tauhid juga mendapat bantuan dan dukungan dari pemerintahan Republik Islam Iran.
- Telur Parsi, dan Palestina
Revolusi Islam Iran juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat di negara-negara Arab kawasan Tluk Parsi (kuwait, Bahrain, dan Arab Saudi), serta di kalangan orang-orang Palestina di Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Di Bahrain dan Kuwait, pengaruh Revolusi Iran terlihat dengan munculnya gerakan kaum Syi’ah yang menghendaki perubahan sistem politik, dan bentuk negara di kedua negara tersebut, dari monarki menjadi Republik Islam. di Bahrain, gerakan Syi’ah dikordinasi oleh Hujjatul Islam Hadi Al-Mudarrisi. Sementara di Kuwait, gerakan Syi’ah dipelopori oleh Hujjatul Islam Abbas Muhri. Kedua gerakan tersebut sama-sama mendapat sokongan bantuan dari Iran
Pada 28 November 1979, umat Syi’ah Saudi di provinsi Al-Ahsa untuk pertama kalinya memutuskan untuk mengadakan prosesi hari Asyura secara massal. Ketika pasukan Garda Nasional Saudi berusha menghalanginya, kaum Syi’ah melancarkan demonstrasi besar-besaran di sejulam kota seperti Qatif, Ababiq, Shafwa, Kharji, dan Syayhat. Selama beberap hari terjadi bentrokan antara demonstran melawan Garda Nasional. Dalam bentrokan tersebut, tujuh belas orang dikabarkan tewas. Sejak saat itu timbul ketegangan antara rezim dinasti Al-Saud dan umat Islam Syi’ah Saudi. Perseteruan semakin menjadi, ketika rezim Saudi secara terang-terangan menentang revolusi Iran. Sebaliknya, umat Syi’ah, dan Sunni radikal menuduh rezim dinasti Al-Saud sebagai rezim yang korup.
Di Tepi Barat, dan Jalur Gaza Palestina, terdapat kelompok-kelompok pro Khomeini, yang telah menjadi salah satu kelompok pemuda Islam yang mempunyai pengaruh cukup kuat di kalangan masyarkat Palestina.
BIBLIOGRAFI
Esposito, John L. 1990. Islam and Politics, terj. Joesoef Sou’yh. Jakarta: Bulan Bintang.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sihbudi, Riza. 1993. Islam, Dunia Arab, Irab: Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan.
Sihbudi, Riza. 2007. Menyandera Timur Tengah. Bandung Mizan.
Sihbudi, Riza, dkk. 1995. Profil Negara-Negara Timur Tengah. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.