Kedatangan perwakilan dari Rockefeller Foundation di Hindia-Belanda, memunculkan dilema tersendiri bagi pemerintah kolonial. Di satu sisi, mereka meragukan misi sebenarnya dari lembaga tersebut, tetapi di sisi lain mereka kesulitan untuk menolak kedatangan Rockefeller Foundation karena desakan berbagai pihak dan kenyataan bahwa permasalahan sanitasi bukanlah suatu hal yang mudah diatasi.
Permasalahan Kebersihan di Hindia-Belanda
Belum lama ini Hans Pols (2018:6) dalam karyanya berjudul “Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies”, menyatakan bahwa hingga abad ke-19, para perwira militer dan pedagang Belanda menganggap Hindia-Belanda sebagai salah satu tempat paling tidak sehat di dunia. Pernyataan ini bukanlah opini belaka, mengingat berdasarkan penelitian pada masa kolonial sempat beberapa kali muncul wabah yang diakibatkan buruknya kebersihan lingkungan saat itu. Bahkan karena seringnya peristiwa kematian massal pada masa itu, Batavia sempat dijuluki sebagai kuburan bagi orang Eropa (Pols, 2012: 126).
Dalam beberapa kasus, orang-orang Belanda sempat mengira penduduk bumiputra sebagai sumber dari penyakit yang menjangkiti mereka. Namun, setelah diteliti lebih lanjut munculnya wabah seperti kolera dan cacing tambang diakibatkan oleh kebersihan lingkungan yang buruk pada masa itu yang disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari buruknya tata perumahan hingga kurangnya fasilitas sanitasi.
Wabah kolera pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, menjadi contoh penyakit yang muncul akibat tingkat kebersihan lingkungan yang kurang baik. Menurut penelitian Kepala Jawatan Kesehatan, A.E. Waszklewicz (1867: 77-78), merebaknya penyakit kolera disebabkan masih rendahnya kemampuan diagnosis penyakit ini, yang kemudian diperparah dengan kondisi kebersihan lingkungan yang buruk.
Kasus serupa yang diakibatkan tingkat kebersihan yang buruk juga muncul di daerah Gombong pada pertengahan abad ke-19. Di daerah itu, penyakit trakoma mengamuk di kamp pelatihan militer dan menyebabkan para siswa menjadi buta. Awalnya penyakit trakoma diduga dari penduduk sipil setempat, setelah ditelusuri penyebabnya berasal dari populasi penghuni gedung yang terlalu banyak, kurangnya pencahayaan, dan tingkat kebersihan yang buruk (Persknaire, 1898: 550).
Memasuki abad ke-20, wabah yang disebabkan oleh sanitasi yang buruk terus bermunculan. C. L. van Steeden (1901: 211-236), dalam tulisannya berjudul “Anchylostomiasis, de oorzaak van de endemische progressieve pernicieuse anaemie onder de mijnwerkers te Sawah-Loento,” memaparkan hasil penelitiannya tentang endemi cacing tambang di Sawah Lunto, Sumatra Barat.
Penyakit ini disebabkan oleh larva Ankylostoma yang membuat penderitanya mengalami anemia berat. Ia menyimpulkan bahwa lingkungan tidak bersihlah yang menyebabkan larva Ankylostoma dapat berkembang biak dan menyebar melalui makanan dan minuman. Untuk itu, ia menganjurkan kepada pekerja tambang untuk mencuci tangan sebelum makan, meminum air bersih dan membuang hajat pada tempat yang sudah ditentukan.
Kiprah Rockefeller Foundation di Hindia-Belanda
Sesuai namanya, Rockefeller Foundation tidak dapat dipisahkan dari peran keluarga Rockefeller. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, John D. Rockefeller Sr, menjadi tokoh sentral di keluarga ini.
Kekayaan keluarga Rockefeller banyak diperoleh dari Standard Oil Company, yang didirikan pada 1870. Dalam waktu singkat perusahaan ini menjadi perusahaan minyak yang mendominasi perdagangan minyak dunia.
Perhatian John D. Rockefeller Sr dunia kesehatan mulai tumbuh memasuki abad ke-20. Pada tahun 1901, ia mendirikan Rockefeller Institute for Medical Research. Namun pendirian lembaga tersebut hanyalah langkah awal untuk misi kesehatan dan kemanusiaan lebih besar.
Pada 1909, John D. Rockefeller Sr. menyumbangkan 72.000 saham Standard Oil yang setara $700 juta sebagai modal untuk membangun lembaga yang nantinya dikenal sebagai Rockefeller Foundation. Lembaga yang direncakanan ini diproyeksikan dapat menjangkau wilayah lebih luas tidak hanya di Amerika Serikat.
Setelah melalui perencanaan, Rockefeller Foundation diresmikan pada 14 Mei 1913 dengan nama formal International Health Commission dan Wickliffe Rose, sebagai direktur pertamanya. Sejak awal pendiriannya, masalah cacing tambang dan kesehatan publik telah menjadi prioritas utama lembaga ini (Farley, 2003: 3-4).
Dua tahun berselang, Rockefeller Foundation mengutus perwakilannya Dr. Victor Heiser ke Jawa. Heiser diberi tugas untuk menyebarkan metode untuk memerangi cacing tambang yang telah terbukti sukses di Amerika ke berbagai penjuru negara.
Pada Maret 1915, ia tiba di Jawa dan strateginya untuk mendekati pemerintah sangat sederhana. Pertama, iia melihat-lihat beberapa daerah kumuh di Batavia untuk mengetahui kondisi sanitasi, kemudian dia bertemu dengan beberapa tenaga medis di laboratorium pemerintah.untuk memahami metode yang digunakan pemerintah kolonial.
Kedatangannya disambut cukup hangat, sehingga pada hari ketiga ia dapat menemui Gubernur Jenderal ke kantornya yang terletak di Bogor. Gubernur Jenderal menunjukkan minat yang besar terhadap metode InternationalHealth Commission (IHC) menangani masalah kesehatan tropis, karena itu ia ingin mendiskusikan masalah ini dengan kepala petugas medisnya. Tanggap Gubernur Jenderal menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri Heiser, dari Batavia Heiser melanjutkan perjalanannya ke Singapura.
Lebih dari satu tahun kemudian, Heiser kembali lagi ke Jawa. Kali ini ia memulai perjalanannya dari Surabaya untuk menuju ke Batavia. Kunjungan kedua Heiser ini sekaligus menyepakati bahwa tahun berikutnya Dr. Samuel T. Darling dapat memulai penelitiannya terhadap cacing tambah di Hindia-Belanda.
Dari 12 sampel wilayah yang diteliti tim Darling ditemukan data bahwa “setidaknya 90 persen dari seluruh penduduk Jawa terinfeksi penyakit cacing tambang. Infeksi terbanyak berada di Jawa Tengah yang penduduknya padat. Tingginya angka penderita disebabkan oleh kebisaan penduduk yang kurang sehat dan sistem irigasi yang memungkinkan penyebaran infeksi yang cepat dari satu daerah ke daerah lain. Selain itu, ditemukan fakta lain bahwa tingkat keparahan pasien akan lebih parah apabila pada saat yang sama menderita malaria, sehingga daerah yang rawan malaria harus mendapat perhatian lebih lanjut (Hull, 2007: 142).
Seiring dengan laporan awal komisi Darling, kerjasama antara Rockefeller Foundation dan pemerintah kolonial pun dimulai. Namun, saat kerjasama itu telah di depan mata, terjadi pembatalan sepihak dari pihak pemerintah kolonial. Alasannya, Kepala Jawatan Kesehatan merasa keberatan dengan laporan komisi Darling yang mengutip foto seorang buruh dengan keterangan “Dalam perjuangan besar untuk menyambung hidup di pulau Jawa yang indah, pria dan wanita menjadi hewan pengangkut”. Di sisi lain, sentimen negatif ini didukung oleh keinginan Kepala Jawatan Kesehatan untuk menggunakan orang-orangnya sendiri dalam memberantas cacing tambang.
Masalah ini mengakibatkan rencana kerjasama kedua belah pihak pun tertundah hingga delapan tahun. Selama periode ini, Heiser tetap berusaha mendesak pemerintah kolonial untuk menerima misi yang dibawa Rockeffeler Foundation.
Persaingan International Health Commission dan Dinas Kesehatan Kolonial
Usaha yang dilakukan Heiser membuahkan hasil, pada10 April 1924, dua perwakilan dari Rockefeller Foundation Dr. John Lee Hydrick dan Dr. van Noort. tiba di Jawa untuk melakukan proyek demonstrasi pengendalian cacing tambang.
Sayangnya, kedua rekan ini bukanlah partner yang cocok. Hydrick merupakan seorang Amerika keturunan Belanda yang telah berpengalaman menjalankan tugas di AS dan kepulauan Karibia. Sementara van Noort merupakan orang Belanda yang pernah bertugas di Jawa. Ia direkrut untuk memuluskan program di Hindia-Belanda.
Namun di tengah perjalanan, van Noort tidak mau bekerjasama dan tidak mau mematuhi petunjuk yang diberikan oleh yayasan. Hydrick pun melaporkan perilaku rekannya ini kepada Heiser yang berakhir dengan penarikan van Noort dari Hindia-Belanda.
Saat menjalankan misinya, pendekatan yang diterapkan Rockefeller Foundation dan pemerintah kolonial sangat berbeda.
Petugas dari International Health Commission lebih mengedepankan pendekatan edukasi, sedangkan Dinas Kesehatan. Dengan menggandeng mantri Jawa, Hydrick memulai programnya. Hydrick (1942: 75) juga menegaskan bahwa “lebih penting bagi masyarakat belajar menggunakan jamban dan dengan demikian menghentikan pencemaran umum pada tanah dan air. Selain itu, masyarakat harus terlebih dahulu belajar menggunakan jamban dan menjaganya agar tetap bersih. Setelah kebiasaan ini ditanamkan secara menyeluruh, maka pertanyaan tentang perbaikan jenis dan material jamban bisa diangkat.”
Sementara itu Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda lebih condong menggunakan pendekatan otoriter. Lewat pendekatan ini, pemerintah kolonial lebih fokus pada upaya penyediaan chenopodium (obat cacing) di apotek dan meminta kepala daerah setempat mengeluarkan perintah halus kepada penduduk untuk membangun jamban. Dalam kacamatan dinas kesehatan, pendekatan otoriter diperlukan karena orang Jawa pada dasarnya dianggap “malas” oleh mereka.
Perbedaan pendekatan yang digunakan turut menyebabkan perbedaan wilayah operasi. Hydrick memulai programnya dari wilayah Bantam, Banten, sementara dinas kesehatan menjalankan programnya di wilayah Kroja, Jawa Tengah (Hull, 2007: 143).
Dari awal pelaksanaannya, pejabat Belanda tidak pernah berpikir bahwa pendekatan pendidikan dan propaganda yang digunakan oleh Rockefeller akan berhasil di Hindia Belanda. Mereka bahkan berpendapat bahwa program-program ini dapat mengganggu adat istiadat asli dan tradisi desa-desa di Jawa (Gouda, 2009).
Menurut penelitian Susan Engel dan Anggun Susilo, persaingan antara kedua belah pihak lebih dipicu karena hasrat pejabat pemerintah kolonial untuk memperoleh dana Rockefeller Foundation tanpa harus melibatkan petugas dan metodenya.
Hull dalam penelitiannya mencoba mengkomparasikan hasil yang didapatkan kedua belah pihak. Hingga tahun 1926, dinas kesesahatan berhasil membuat 150.000 jamban namun hanya sebagaian kecil yang digunakan. Sementara itu, program Rockefeller tidak banyak membuat jamban, namun semuanya dipergunakan dan penduduk antusias dengan program sanitasi yang dilakukan.
Antusiasme yang muncul tidak dapat dilepaskan dari metode edukasi yang digunakan. Sebelum para mantri higiene mendatangi suatu perkampungan, tim IHC menggelar terlebih dahulu pertunjukan film berjudul Unhooking the Hookworm yang pada masa lalu disebut komidhi sorot sebagai sarana edukasi. Melalui film, propaganda untuk menjaga kebersihan disiarkan dan dapat dengan mudah ditangkap pesannya oleh masyarakat. Setelah masyarkat menonton film tersebut, mereka biasanya akan lebih terbuka menerima kunjungan dari para mantri ke rumahnya (Stein, 2006: 19).
Sulit dipungkiri bahwa metode yang dibawa oleh Rockefeller Foundation menawarkan sesuatu yang baru di Hindia-Belanda. Meskipun pada awalnya ditentang, namun para pejabat kolonial tidak dapat menutup mata bahwa metode ini terus diterapkan di kemudian hari.
Meskipun Hydrick keluar dari Hindia Belanda pada tahun 1939, banyak dari dokter Jawa terinspirasi dengan program Hydrick, salah satunya adalah Abdul Rasjid. Dalam kunjungannya ke wilayah percontohan proyek Rockefeller di Purwokerto pada 1935, ia mengungkapkan kekagumannya “all the public hygiene ideas I had cherished for a long time applied in their full glory” (Pols, 2018: 152).
Bahkan setelah perang kemerdekaan, para dokter bumiputra berupaya mendirikan sekolah Hydrick untuk pelatihan kebersihan mantri. Mereka mengklaim ini dilakukan untuk proyek kebersihan pedesaan untuk bangsa Indonesia yang akan datang (Stein, 2006: 20).
Daftar Pustaka
Farley, John. To Cast Out Disease: A History of The International Health Division of the Rockefeller Foundation (1913-1951). Oxford: Oxford University Press, 2004.
Gouda, F. “Discipline versus Gentle Persuasion in Colonial Public Health: The Rockefeller Foundation’s Intensive Rural Hygiene Work in the Netherlands East Indies 1925-1940” Rockefeller Archive Center Research Reports Online, 2009.
Hull, Terence H.. “Conflict and collaboration in public health The Rockefeller Foundation and the Dutch colonial government in Indonesia” dalam Milton J. Lewis (Ed.). Public Health in Asia and the Pacific. Oxon: Routledge, 2007.
Hydrick, J. L. (1942). Intensive Rural Hygiene Work in the Netherlands East Indies. New York:
Booklets of the Netherlands Information Bureau, No. 7.
Pols, Hans. “Notes from Batavia, the Europeans’ Graveyard: The Nineteenth Century Debate on Acclimatization in the Dutch East Indies”. Journal Of The History Of Medicine And Allied Sciences, Volume 67, Number 1, 2011.
_______. Nurturing Indonesia Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies. Cambridge: Cambridge University Press, 2018.
Steeden, C. L. van. “Anchylostomiasis, de oorzaak van de endemische progressieve pernicieuse anaemie onder de mijnwerkers te Sawah-Loento.” Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, 1901, hlm. 211-236.
Stein, Eric A. “Colonial Theatres of Proof: Representation and Laughter in 1930s Rockefeller Foundation Hygiene Cinema in Java”. Health and History, Vol. 8, No. 2, 2006.
Waszklewicz, A. E. “Cholera-Epidemie In 1864”. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, 1867, hlm. 78-80.