Sejarah Perkembangan Ikhwanul Muslimin Abad XX

Memasuki abad ke-20, Mesir menjadi salah satu wilayah yang berada di bawah kontrol administratif Inggris. Ketika berada di bawah pemerintahan protektorat Inggris tidak serta merta membuat rakyat Mesir dapat menerimanya, muncul berbagai gerakan oposisi pemerintahan protekrorat. Gerakan tersebut bermacam-macam bentuk dan polanya, mulai dari nasionalisme hingga fundamentalis. Salah satu gerakan yang paling memberikan pengaruh besar pada perkembangan Mesir abad ke-20 adalah Ikhwanul Muslimin.

Pengaruh gerakan yang dipelopori oleh Hasan al-Banna ini semakin besar menjelang revolusi Naser. Pasca revolusi Mesir, pengaruh Ikhwanul Muslimin tidak hanya mencangkup daerah Mesir saja, melainkan merambah hingga negara-negara lainnya. Jika pembaca pernah mendengar sepak terjang Hamas, Hizbullah, dan FIS, maka gerakan-gerakan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ikhwanul Muslimin.

Dapat dikatakan Ikhwanul Muslimin merupakan cikal bakal organisasi-organisasi militan di berbagai wilayah Timur Tengah, seperti Hamas, Hizbullah, FIS, dll. Maka dari itu Ikhwanul Muslimin menjadi salah satu pembahasan penting bagi mereka yang tertarik pada kajian Timur Tengah.

Biografi Hasan al-Banna: Pendiri Ikhwanul Muslimin

ikhwanul muslimin
Hasan al-Banna

Sheikh Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed Al-Banna, atau biasa dikenal dengan nama Hasan al-Banna lahir pada tanggal  14 Oktober 1906, di Mahmudiyah, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Kairo. Pendidikan Hasan dipengaruhi oleh pendidikan keagamaan yang bersifat tradisional di Tarekat al-Hashafiyah yang dia dalami sejak usia 13 tahun, dan pemikiran modern dari ayahnya sendiri, Shaik Ahmad Abdurrahman al-Bana, yang pernah menjadi mahasiswa al-Azhar masa Muhammad Abduh.

Setelah menyelesaikan studinya di Teacher Training College, Hasan al-Banna melanjutkan studinya ke Dar al-Ulum College, di Kairo. Di kairo, Hasan mulai menjalin komunikasi dengan Rasyid Ridha dan gerakan Salafiyahnya. Selama belajar di Kairo Hasan al-Bana dikenal rajin membaca majalah Al-Manar bentukan Rasyid Ridha, sehingga dia banyak menyerap semangat pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

ikhwanul muslimin
rasyid ridha

Secara khusus Hasan banyak mendapat pengaruh oleh tulisan-tulisan Rasyid Ridha mengenai aspek politik, dan aspek sosial dalam rangka pembaharuan Islam, beserta penegasan tentang bahaya Westernisasi. Di samping pengaruh beberapa tokoh di atas, terdapat dua faktor yang memainkan peranan penting dalam membentuk pola pemikiran Hasan, yakni: Revolusi anti Inggris tahun 1919 dan keanggotaannya pada berbagai organisasi Islam sewaktu di perkuliahan.

Setelah menyelesaikan studi pada tahun 1927, Hasan al-Bana menerima jabatan mengajar pada sebuah sekolah dasar di daerah Ismailiyah. Hasan al-Bana berpendapat untuk menyadarkan dunia Islam dari keterlenaan dan kemunduran, maka umat Islam harus mengambil jalan kembali pada kemurnian Islam. Untuk itu maka dia mulai mengorganisir kelompok-kelompok diskusi keagamaan dan melibatkan dirinya sendiri bagi pembaharuan Islam. Dengan Kharisma yang al-Bana miliki, dia dapat memperoleh pengikut dengan cepat. Satu tahun setelah membentuk kelompok diskusi, pada bulan Maret 1928 al-Bana akhirnya mendirikan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim).

Kemunculan Ikhwanul Muslimin

ikhwanul muslimin
Logo Ikhwanul Muslimin

Kemunculan Ikhwanul Muslimin (IM) terdukung oleh kharisma pendirinya, al-Banna yang mampu merekrut sejumlah kaum terpelajar dan buruh untuk bergabung dalam Ikhwanul Muslimin. Al-Bana berhasil menggalang pengikut dalam jumlah besar yang terbagi menjadi sejumlah kelompok yang mengorganisir masjid, sekolah, klinik bahkan menjalin kerjasama antar anggotanya.

Dalam upaya menanamkan doktrin ideologi di dalam organisasi, Hasan al-Banna menyerukan Islam yang total dan aktif serta menganggap negara Islam sebagai unsur penting dari tatanan Islami yang diinginkan. Pada periode awal kemunculannya, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi sosial, dan tidak mengklaim sebagai sebuah partai politik atau gerakan politik lainnya, meskipun sebagai sebuah kekuatan politik mereka patut diperhitungkan.

Antara tahun 1936-1939, Ikhwanul Muslimin menerjunkan sukarelawannya membantu pemberontakan Arab di Palestina. Penerjunan sukarelawan tersebut sekaligus menandai keterlibatan gerakan ini secara aktif dalam bidang politik.

Pada tahun 1938, Ikhwanul Muslimin menerbitkan publikasi yang bernama al-Nadzir yang terkadang mengeluarkan ancaman akan melawan politisi atau organisasi mana pun yang tidak memberi dukungan terhadap Islam dan pemulihan kejayaannya. Pada masa itu Ikhwanul Muslimin mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, tercatat pada tahun tersebut gerakan ini sudah memiliki 300-an cabang, tahun 1940 terbentuk  500 cabang, dan pada tahun 1949 telah ada 2.000 cabang dengan jumlah anggota 500 ribu orang.

Ikhwanul Muslimin juga membentuk berbagai organ seperti, “aparat rahasia, “satuan tugas”, mendirikan perusahaan, pabrik, sekolah, dan rumah sakit sendiri, serta menyusup ke berbagai organisasi seperti serikat buruh dan militer. Selain itu Ikhwanul Muslimin juga bekerjasama dengan gerakan pemuda yang anti pemerintahan Inggris, dan rezim korup Mesir. Akibatnya, pada akhir 1940-an Ikhwanul Muslimin sudah hampir menjadi “negara di dalam negara.”

Konfrontasi Ikhwanul Muslimin dengan Beberapa Rezim Penguasa

Pada akhir 1948 dan awal 1949 Ikhwanul Muslimin mulai melancarkan serangan terhadap kepentingan Inggris dan Yahudi di Mesir, IM mengirimkan gerilyawan untuk turut serta berjuang di Suez dan memprakarsai demonstrasi kekerasan dan aksi mogok. Demonstrasi tersebut menjadi penyalur kebencian masyarakat terhadap pemerintahan Inggris dan kegagalan sistem politik Liberal pemerintahan Mesir.

Hubungan antara gerakan oposisi dan pemerintahan Mesir yang semakin memanas, mencapai puncaknya dengan terbunuhnya perdana menteri Mahmud Fahmi al-Nuqrasyi dan Hasan al-Banna sendiri. Dengan terbunuhnya Hasan al-Banna tentu saja menjadi kehilangan besar bagi Ikhwanul Muslimin.

Tahun 1952, para Perwira Bebas di bawah pimpinan Nasser melancarkan revolusi yang meruntuhkan kekuasaan raja Farouk. IM mendukung sepenuhnya tindakan Nasser, dengan harapan kelak dapat bekerjasama.

Pasca Revolusi Mesir tahun 1952, harapan IM untuk bekerjasama dengan pemerintahan Nasser tidak terwujud, bahkan pada 1954 dan 1965 terjadi dua konfrontasi berdarah. Konfrontasi tersebut menyebabkan banyak anggota IM ditahan, disika, dan dibunuh oleh rezim Gammal Abdul Nasser. Salah satu tokoh besar Ikhwanul Muslimin yang ditahan pada masa ini adalah ideolog IM, Sayyid Quthb.

Akan tetapi, upaya rezim Nasser untuk melumpuhkan atau bahkan melenyapkan Ikhwanul Muslimin mengalami kegagalan. Penangkapan dan pembantaian yang dilakukan rezim Nasser terhadap para tokoh, anggota, dan simpatisan IM di Mesir, bukan saja tidak menjadikan gerakan IM surut, melainkan pengaruh mereka justru dengan cepat menyebar ke berbagai negara lain di Timur Tengah. Dengan meluasnya pengaruh tersebut menjadikan IM sebagai gerakan Pan-Islamisme utama.

Ketika rezim Anwar Sadat berkuasa antara 1970-1981, IM kembali muncul sebagai oposisi rezim pro Barat di Mesir. Tahun 1979, IM menggerakkan demonstrasi di Universitas Minya dan Asyut untuk memprotes perjanjian Camp David. Pada tahun 1981, mereka dituduh terlibat dalam pembunuhan Presiden Sadat. Meskipun keterlibata mereka merupakan reaksi terhadap penangkapan para anggota IM, yang dilakukan rezim Sadat.

Di sejumlah negara, IM dipandang sebagai lawan politik oleh rezim yang berkuasa. Salah satunya di Suriah, pada Juli 1980, rezim Hafiz al-Asad mengeluarkan dekrit bahwa “Setiap orang yang berhubungan dengan Ikhwanul Muslimin dapat dijatuhi hukuman mati.” Sebelumnya, Juni 1979, IM dituduh terlibat dalam pembunuhan terhadap 80 calon perwira militer Suriah, serta upaya pembunuhan terhadap Asad pada akhir 1980.

Pada Februari 1982, terjadi pembantaian yang dilakukan rezim Asad terhadap 20 ribu jiwa simpatisan IM Suriah. Di negara-negara lain IM tidak hanya terlibat dalam bentuk oposisi politik, tetapi mereka aktif dalam proses politik di sejumlah negara seperti Mesir, Sudan, Yordania, dan Kuwait. Keikutsertaan IM terwujud dalam bentuk berdiri sendiri maupun berkoalisi dengan kekuatan politik lain.

Penyebaran Pengaruh Ikhwanul Muslimin Pada Akhir Abad ke-20

Dalam anggaran dasar Ikhwanul Muslimin memang menyebutkan sifat organisasi ini adalah jamaah Islam Universal, bukan Mesir atau Arab Saja. Sehingga dalam perkembangannya pengaruh IM tidak hanya menyebar ke negara-negara Timur Tengah saja, tetapi juga merambah hingga ke kawasan Asia Tenggara. Tercatat pada akhir abad ke-20, beberapa negara telah dimasuki pengaruh Ikhwanul Muslimin seperti,India, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Semakin luasnya pengaruh Ikhwanul Muslimin bukannya tidak menimbulkan permasalahan, beberapa permasalahan muncul dalam organisasi ini. Permasalahan yang paling mencolok adalah timbulnya ketidakjelasan hubungan dalam arti personal, organisasi, dan strategi antara kalangan Ikhwanul Muslimin yang sudah lebih lama dan kelompok-kelompok militan yang lebih baru (seperti Tanzhim al-Jihad atau Al-Jama’ah al-Islamiyah).

Daya tarik IM bagi para aktivis Islam di berbagai negara tentu sulit dilepaskan dari pemikiran-pemikiran al-Banna sendiri sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin. Bagi al-Banna, Islam dan nasionalisme bukan merupakan hal yang terpisah. Tentu saja pemikiran ini bertentangan dengan pemikir-pemikir sekuler.

Pada pembahasan di atas telah disinggung tentang pemikiran al-Banna yang menekankan pentingnya kembali ke ajaran Islam murni untuk mengatasi kemunduran dunia Islam. Namun, di sisi lain, dia cenderung membenarkan sistem demokrasi parlementer ala Barat, meskipun pada saat yang sama menolak diberlakukannya sistem multipartai di negara Islam.

Sementara itu, al-Banna juga membuat terobosan baru yang agak berbeda dengan kaum pembaharu sebelumnya, di mana dia menjadikan isu ekonomi dan isu sosial sebagai bagian dari program pembaharuan islam.

Dari uraian ringkas ini tampak jelas Ikhwanul Muslimin mempunyai pengaruh kuat di kalangan rakyat Mesir, dan negara-negara di sekitarnya. Meskipun berkali-kali dibungkam, tetapi mereka mampu bangkit kembali menjadi oposisi kuat terhadap rezim yang bersebrangan dengan mereka.

BIBLIOGRAFI

Esposito, John L. 1990. Islam and Politics, terj. Joesoef Sou’yh. Jakarta: Bulan Bintang.

Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sihbudi, Riza. 1993. Islam, Dunia Arab, Irab: Bara Timur Tengah. Bandng: Mizan.

Sihbudi, Riza. 1993. Timur Tengah, Dunia Islam, dan Hegemoni Amerika. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Sihbudi, Riza. 2007. Menyandera Timur Tengah. Bandung Mizan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *