Sejarah Pemikiran Hukum Islam

Banyak sekali aspek dalam ajaran Islam salah satunya yang menarik adalah hukum Islam. Hukum Islam  keteraturan di dalam kehidupan sehari-hari manusia.

Kemunculan hukum Islam tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya akan tetapi juga untuk pembangunan hukum masa depan.

Dalam mempelajari hukum Islam kita tidak dapat dilepaskan dari sejarahnya karena dengan sejarah kita dapat mengetahui bagaimana terbentuknya dan berkembangnya hukum Islam pada masa risalah dan sesudahnya.

Periode hukum Islam sendiri dibagi menjadi enam periode, akan tetapi kami akan lebih memfokuskan pada periode pertama dan kedua. Periode pertama (13H-11H) yaitu masa kenabian saat dimana menegakkan dasar-dasar perundang-undangan dan menetapkan dasar ijtihad dikala ada keperluan, keberhasilan nabi dalam meneyikapi hukum islam dijadikan sebagai dasar perkembangan kajian-kajian fiqh pada masa berikutnya.

Periode kedua (11H-40H) adalah perundang-undangan pada masa Khulafaur-Rasyidin  karena semakin meluasnya wilayah Islam sehingga muncul berbagai tuntutan bagi perkembangan kajian hukum Islam. Sehingga semakin meluasnya pemakaian ijtihad, mengadakan ijma’ akan tetapi pada masa itu mulai muncul perbedaan paham diantara kaum muslimin.

Pemikiran Hukum Islam periode I (Periode Rasulullah saw)

hukum islam

Sebelum Nabi Muhammad saw diangkat menjadi rasul, bangsa Arab adalah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan kemasyarakatan. Mereka tidak mempunyai agama dan tidak mempunyai undang-undang yang jelas. Mereka dipengaruhi oleh kepercayaan yg bathal.

Mereka menggambarkan tuhan dalam bentuk berhala, bintang dan sebagainya. Mereka hanya mempunyai beberapa ketentuan yang mereka pergunakan dalam menyelesaikan pertengkaran.

Kondisi ini menjadi perhatian Muhamamad tatkala diangkat sebagai rasul. Pada periode setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul, Allah SWT menugaskannya untuk :

  1. Memperbaiki keadaan akhlak manusia dengan cara menanamkan kedalam diri manusia untuk selalu berkelakuan baik dan menjauhi larangan Allah.
  2. Memperbaiki aqidah umat manusia yang terlah terlanjur sangat rusak, dengan cara menanamkan benih-benih ajaran tauhid.
  3. Menetapkan aturan-aturan pergaulan hidup, aturan-aturan muamalah sesama anggota masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran dengan cara menaati tasyri’.

Tasyri’ pada masa Rasul dibagi ke dalam dua periode, yaitu:

1.Tarikh Tasyri’ Periode Mekkah

Pada periode ini, hal yang paling pokok ditekankan dalam ajaran Islam adalah masalah ketauhidan atau akidah, karena tauhid inilah yang menjadi fondasi bagi segala amalan lainnya.

Perbaikan akidah diharapkan dapat menyelamatkan umat Islam dari kebiasaan-kebiasaan buruk sebelumnya, seperti berperang, zina, mabuk-mabukkan, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan menghinakan perempuan.

Selain itu, mereka juga diajarkan hal-hal yang baik, seperti menegakkan keadilan, persamaan dan hak asasi manusia, saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.

Dari salah satu surat yang turun di Mekkah yaitu surat Al-An’am kita bisa mendapati beberapa contoh hukum-hukum yang berkaitan dengan ketauhidan atau akidah. Seperti haram makan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah dan hewan apa saja yang dilarang dimakan.

Demikian pula perintah untuk melaksanakan salat dan zakat. Zakat pada periode Mekkah bersifat umum dalam arti sedekah, sementara cara pelaksanaanya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya disyaratkan pada periode Madinah.

Periode Mekkah juga bisa dikatakan sebagai periode revolusi akidah, karena mengubah masyarakat yang awalnya sangat kental dengan sistem kepercayaan jahiliyah menjadi penghambaan kepada Allah semata.

Revolusi ini menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada masa ini belum ada ayat mengenai legislasi sosial atau menyusun hukum-hukum civil seperti hukum-hukum perdagangan.

2. Tarikh Tasyri’ periode Madinah

Setelah nabi hijrah ke Madinah barulah nabi mengarahkan usahanya membina hukum Islam di dalam kehidupan sosial. Ketika itulah nabi mensyariatkan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia, baik itu hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, ataupun hubungan yang bersifat horizontal manusia dengan manusia lain.

Periode Madinah banyak membahas masalah yang berkaitan dengan masalah hukum Islam, hal ini dapat dimengerti karena :

  1. Hukum dapat dilaksanakan bila dilindungi oleh kekuatan politik. Dalam periode Madinah, kekuatan politik itu sudah dibangun dengan disepakatinya piagam Madinah dengan mengukuhkan Nabi sebagai kepala negara.
  2. Dalam periode ini, orang Islam sudah memiliki moral yang kuat, akidah yang mapan serta akhlak yang baik, dimana hal tersebut akan menjadi landasan yang kokoh dalam melaksanakan tugas-tudas lain. Hanya orang yang mempunyai kualitas di ataslah yang dapat melaksanakan dan memelihara hukum itu.

Banyak sekali hukum yang disyariatkan pada periode Madinah untuk menjawab suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Pada periode ini, hukum lebih ditekankan untuk menghadapi permasalahan yang kompleks dalam berkehidupan sosial, contohnya seperti boleh tidaknya menggauli istri yang sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji, bagaimana proses dikharamkannya khamar, dan hukum-hukum perdagangan.

Jalan yang Nabi tempuh dalam membina hukum Islam

Nabi membina hukum ini secara berangsur-berangsur satu demi satu, bukan sekaligus. Di sini Nabi menetapkan hukum dan perundang-undangan berdasarkan putaran roda kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin semakin maju.

Kehadiran hukum Islam merubah tata aturan kehidupan masyarakat Arab
Ilustrasi masyarakat Arab zaman dahulu. Sumber: Thecollector

Pada periode pertama ini, penetapan hukum Islam didasarkan pada penetapan Nabi s.a.w sendiri tak ada seorang pun yang ikut campur tangan. Dasar Nabi dalam menetapkan hukum adalah dari Allah dan penetapan-penetapan Nabi yang berdasar pada wahyu Allah juga. Ayat-ayat hukum yang turun lantaran ada suatu sebab atau untuk menjawab suatu pertanyaan. Sangat jarang sekali ayat yang turun tanpa sebab atau perbuatan.

Sumber-Sumber Legislasi Masa Rasul

Apabila terjadi suatu kasus persengketaan, suatu kejadian, pertanyaan atau hal yang memerlukan fatwa yang kesemuanya memerlukan dan menuntut legislasi, maka Allah wayuhkan kepada Rasulullah saw suatu ayat atau lebih yang mengandung hukumannya sesuai dengan tuntutan hal tersebut, setelah itu baru Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam.

Sebaliknya, apabila  terjadi suatu kasus yang memerlukan legislasi, tapi Allah tidak menurunkan wahyu untuk menentukan hukumnya kepada Rasulullah, maka Rasulullah saw berijtihad sendiri dalam mendapatkan hukum kasus tersebut.

Ayat tentang hukum Islam dalam Al-Qur’an

Abdul Wahhab Khalaf mengkategorikan ayat Al-Quran yang bermuatan hukum itu kedalam tiga kategori besar, yakni :

  1. Ayat yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) yakni kewajiban mengimani Allah, Malaikat, Nabi dan Rasul, Hari kiamat dll.
  2. Hukum akhlak, yakni kewajiban untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan menghilangkan kejelekan.
  3. Hukum mua’amalat, yakni kewajiban mukalaf baik dalam perkataan, perbuatan maupun penggunaan harta benda. Dan ini menjadi objek ilmu fiqh.

Apabila dirinci, maka ayat hukum dalam al-Qur’an terdiri dari : 1) ayat yang menjelaskan tentang ibadah seperti salat, puasa, haji dan jihad ada 140 ayat; 2) ayat yang menerangkan tentang keluarga seperti perkawinan, kewarisan, hibah wasiat ada 70 ayat; 3) ayat yang menerangkan tentang ekonomi ada 70 ayat; 4) ayat yang menerangkan tentang kriminal, ada 40 ayat; 5) ayat yang menerangkan tentang hubungan antar agama ada 25 ayat; 6) ayat yang menerangkan tentang peradilan, ada 13 ayat; 7) ayat yang menerangkan tentang korelasi kaya-miskin, ada 10 ayat, dan 8) ayat yang menerangkan tentang pemerintahan ada 10 ayat. Jumlah keseluruhan ayat-ayat hukum ini berjumlah 368 ayat.

Ijtihad Pada Masa Nabi

Sebenarnya ini masih menjadi perdebatan apakah nabi melakukan ijtihad atau tidak, karena ada tiga pendapat mengenai ini, yakni :

Sebagaian ulama menyatakan bahwa tidak mungkin Nabi berijtihad, mereka adalah Asy’ariyah, mayoritas Mu’tazilah, Abu Ali al Jubai, dan Hasyim mereka beralasan:

  1. Bahwa Nabi selalu dibimbing Allah dan perkataannnya adalah wahyu.
  2. Nabi memiliki kemampuan untuk sampai kepada hukum yang meyakinkan, sedangkan ijtihad merupakan hal yang tidak meyakinkan.
  3. Ijtihada itu apabila tidak ada nash, sedangkan selama nabi masih hidup tidak mungkin nash itu berhenti.

Jumhur Ulama Berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh melakukan ijtihad sebagaimana berlaku kepada umat manusia lain. Adapun argumen jumhur ini berlandaskan karena Nabi beberapa kali melakukan ijtihad, namun ijtihad nabi kurang tepat hingga ditegur oleh Allah.

Contohnya dalam peristiwa tawanan perang Badar, apakah tawanan akan dimintai tebusan ke keluarganya atau dibunuh saja, Nabi lebih cenderung untuk menahannya dan ditukar saja, sesuai dengan pendapat Abu Bakar, sementara Umar menganjurkan untuk dibunuh saja (al-Anfal :67).

Kemudian Nabi memperbolehkan orang munafik ikut perang uhud, padahal Umar menyarankan untuk tidak ikut berperang (at-Taubah 43). Umar juga sering bertanya dulu kepada Nabi apakah ini wahyu atau ijtihad beliau.

Pendapat yang mengambil jalan tengah yakni, dapat saja Nabi berijtihad dalam masalah-masalah keduniaan seperti dalam menentukan taktik peperangan, serta keputusan-keputusan yang berhubungan dengan perselisihan dan persengketaan, tapi tidak dalam masalah hukum syara’.

Peradilan di Masa Rasulullah

Peradilan masa rasulullah dapat dikatakan sangat sederhana tanpa adanya gedung khusus. Seketika orang mengajukan perkara maka ketika itu pula diselesasikan.

Pada masa itu Rasul memutus perkara sebagaimana zhahirnya ( berikut saksi dan bukti yang menyertainya, dan dalam hal-hal tertentu ia menggunakan sumpah sebagai penguat jika tidak ada bukti, keputusan yang diambil rasul itu merupakan hasil ijtihad beliau bukan dari wahyu.

Pada masa Rasulullah sudah ada instusi banding dan peninjauan kembali bagi suatu keputusan hukum yang telah dijatuhkan. Kemudian keputusan ada kemungkinan dibatalkan, atau diganti dengan keputusan yang baru.

Pemikiran Hukum Islam Periode II (Periode Khulafaur-Rasyidin)

Setelah Rasul wafat kendali tasyri’ (menetapkan hukum) dipegang Khulafaur-Rasyidin. Mereka menghadapi tugas-tugas yang berat, hal ini dikarenakan perkembangan luas wilayah Islam yang pada saat itu mulai memasuki daerah Mesir, Dyam, Persia dan Iraq.

Karena di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak menashkan hukum bagi setiap kejadian dan masalah maka para sahabat berijtihad dengan menggunakan qaidah-qaidah yang berdasar al-Qur’an dan hadits.

Sumber-sumber Legislasi Masa Khulafaur al-Rasyidin

  1. Al Qur’an
    Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an dalam menetapkan hukum, karena al-Qur’an adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
    Jika ada masalah yang muncul dan memang ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapa pun dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka dalam hal ini.
  2. As-Sunnah
    Para sahabat selalu mengacu kembali kepada As-Sunnah dalam menginstinbat hukum manakala tidak menemukan nash dalam al-Qur’an, karena As-Sunnah adalah sumber kedua bagi perundang-undangan Islam setelah al-Qur’an.
    Adapun cara sahabat dalam mengamalkan sunnah pada zaman ini adalah jika ada hadits dan perawinya bisa dipercaya, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu menerima dan berfatwa dengannya.
  3. Ijma’
    Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad, dalam satu zaman tentang satu masalah syariat. Ijma’ harus berasal dari kesepakatan semua mujtahid, jika hanya sebagaian ulama saja tidak dianggap ijma’. Para sahabat biasanya tidak mengikat dirinya dengan hasil ijma’ kecuali jika ijma’ itu lahir dari semua orang yang diperhitungkan.
  4. Ijtihad
    Pada masa Khulafaur Rasyidin, mereka tidak memberi fatwa terhadap masalah yang tidak ada nashnya kecuali setelah disampakan kepada para ahli ilmu dan rayi; dari kalangan sahabat, masing-masing mempunyai orang-orang khusus untuk dimintakan pendapatnya dalam masalah-masalah seperti ini dan yang lainnya, termasuk masalah politik dan pemerintahan. Bahkan mereka mengumpulkan para hakim untuk diajak bermusyawarah memutuskan masalah yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Ada tiga hal pokok yang menjadi sebab lahirnya ijtihad tersebut, yakni :

  1. Timbulnya masalah-masalah yang secara lahiriah telah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah, dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pehamahan baru agar selalu relevan dengan perkembangan dan persoalan baru yang dihadapi.
  2. Munculnya berbagai persoalan baru, yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun sunnah.
  3. Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian tertentu, para sahabat akan menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.

Perkembangan-perkembangan Hukum pada masa Khulafaur Rasyidin

  1. Abu Bakar

Abu bakar dipilih secara demokratis untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Abu Bakar memerintah selama tiga tahun. Selama pemerintahannya pula ia disibukkan menumpas kaum murtad, nabi palsu Musailamah al’Kazzab, dan penumpasan mereka yang enggan membayar zakat. Tidak banyak masalah hukum yang ditorehkan dalam sejarah pada masa pemerintahan Abu Bakar ini dengan alasan :

  1. Masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat, yakni hanya tiga tahun.
  2. Konsentrasi pemerintahan terkuras pada pemberantasan pemberontak.
  3. Yang diangkat menjadi hakim pada waktu itu adalah Umar bin Khattab di mana para sahabat enggan berhadapan denggannya.
  4. Kehidupan para sahabat pada masa itu belum terlalu kompleks sehingga tidak banyak masalah yang timbul.
  5. Semangat keimanan dan keislaman pada waktu itu masaih sangat tinggi. Sehingga jika terjadi masalah mereka lebih sabar dan bertoleransi

Masalah hukum yang terekam dalam sejarah periode pemerintahan Abu Bakar adalah masalah kewarisan. Ketika itu, datang seorang nenek meminta ketentuan hukum tentang hak waris. Abu Bakar berkata, “Anda tidak mendapatkan apa-apa, karena aku tidak mendapatkan keterangan baik dalam al-Qur’an dan Hadits.”

Kemudian berdirilah Mughirah bin syu’bah memberikan kesaksian bahwa Rasulullah pernah memberikan bagian kepada nenek ini sebesar 1/6 bagian. Untuk memperkuat kesaksian Mughiroh, tampil sebagai saksi Muhammad bin Maslamah.

Permasalahan lain adalah ketika terjadi pertentangan dari sebagian umat Islam untuk membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan untuk membunuh para pemberontak ini karena dianggap telah murtad.

Selain dari praktek di atas, Abu Bakar selalu mengajak bermusyawarah para sahabat ketika menghadapi suatu maslah hukum, terutama kepada sahabat besar. Metode yang dilakukan oleh Abu Bakar inilah yang kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah selanjutnya.

  1. Umar ibn Khattab r.a

Umar ibn Khattab terpilih sebagai khalifah berdasarkan sistem formatur dan atas rekomendasi dari Abu Bakar. Umar memerintah sebagai khalifah selama 13 tahun.

Di bidang peradilan, Umar menjadikan lembaga peradilan sebagai garda terdepan dalam pembangunan. Pengadilan pada periode itu sudah teratur dengan adanya penunjukan qadhi dan penggajian hakim dan pegawai. Umar membuat hukum acara peradilan (Risalah qada Umar ibn Khattab). Para qadhi pada masa itu juga digaji tetap.

Dasar-dasar landasan hukum Islam era Umar adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahhabat, dan Ijtihad. Dalam hal Ijtihad Umar ibn Khattab sangan terkenal dengan ijtihadnya yang sangat inovatif, aktual dan memberikan solusi terhadap masalah baru yang muncul karena proses asimilasi kulturasi dalam masyarakat. Di antara ijtihad-ijtihad Umar ibn Khattab adalah :

  1. Jatuhnya talak tiga sekaligus dalam suatu majelis. Umar menetapkan ijtihad tersebut setelah melihat permasalahan di lapangan yaitu banyak orang menjatuhkan dan mempermainkan talak.
  2. Tentang Ghanimah (Harta rampasan perang) pada masa pemerintahan Umar hanya dibagikan harta bergerak saja. Harta yang tidak bergerak seperti tanah tidak dibagi-bagikan seperti yang dipraktekan Nabi, akan tetapi tanh itu tetap dibiarkan berada ditangan penduduk setempat dengan mewajibkan pajak.
    Hal ini untuk mencegah kecemburuan sosial akibat kemungkin ketidakadilan pembagian harta secara adil. Apabila harta itu dibagikan dikhawatirkan motivasi umat Islam dalam berperang berubah dari jihad fi sabilillah menjadi mencari rampasan perang.
  3. Potong Tangan bagi pencuri. Umar ibn khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan bagi pencuri sesuai yang telah ditetapkan al-Qur’an. Alasannya karena situasi dan kondisi pada saat itu sedang mengalami musim paceklik sehingga menyebabkan orang terpaksa mencuri untuk makan.
  4. Perempuan yang menikah pada waktu Iddah. Perkawinan itu dibatalkan dan dianggap tidak syah. Perempuan itu harus mengulang masa iddah dan laki yang menikahinya saat masa idah haram menikahi perempuan tersebut untuk selamanya.
  5. Shalat Tarawih. Pada masa nabi, shalat tarawih dikerjakan sendiri dan dilakukan sebanyak sebeles rakaat. Kemudian pada masa Umar menjalankan shalat tarawih secara berjamaah, sedangkan jumlah rakaat pada waktu itu adalah 23 rakaat.

3. Utsman ibn Affan

Utsman bin Affan naik menjadi khalifah menggantikan Umar ibn Khattab lewat prosedur formatur. Kemajuan paling kentara yang didapatkan pada masa pemerintahan adalah perluasan wilayah. Pada masa Utsman peradilan sudah memiliki bangunan tersendiri terpisah dengan masjid.

Pemikiran Utsman bin Affan adalah sebagai berikut :

  1. Adzan jumat dua kali. Ini berbeda dengan zaman Nabi yang pada saat itu hanya satu kali. Alasan utsman menggunakan dua azan karena wilayah Islam yang semakin luas, sehingga beliau beranggapan azan satu kali tidak cukup dan merata ke seluruh wilayah.
  2. Unta yang kabur pada zama nabi, Abu Bakar dan Umar dilepas begitu saja. Akan tetapi pada masa Utsman dijual, dan apabila pemiliknya datang maka uang itu diberikan.
  3. Istri yang diceraikan saat suaminya sakit keras kemudian meninggal. Istri tersebut mendapatkan bagian warisan baik masih dalam masa iddah ataupun tidak. Berbeda dengan zaman Umar yang hanya pada masa iddah saja.

4. Ali ibn Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman bin Affan setelah Utsman meninggal karena ditikam oleh para pemberontak. Pada masa Ali ini banyak terjadi perseteruan dengan keluarga Utsman yang dipimpin Muawiyah bin Sufyan. Meskipun pertempuran keduanya diakhiri dengan abitrase.

Adapun hasil ijtihad Ali bin Abi Thalib adalah :

  1. Iddah perempuan hamil yang ditinggal suaminya adalah waktu paling panjang antara iddah 4 bulan 10 atau melahirkan. Sedangkan pada masa Umar iddahnya sampai melahirkan.
  2. Pada zaman Ali untuk mempermudah orang awam mempelajari al-Qur’an maka dirancang simbol baca yang berbentuk titik atas, disamping dan dibawah huruf.
  3. Hukuman bagi pemabuk. Sebelum masa Ali, hukuman bagi pemabuk adalah 40 kali cambukan. Akan tetapi. pada periode Ali, hukuman itu ditingkat dua kali lipat menjadi 80 kali. Karena Ali beranggapan hukuman 40 kali belum cukup membuat jera para pemabuk.

Daftar Pustaka

Al-Sayyis, M. A. “Tarikh Tasyri” dalam Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010.

Hasbi ash-shiddiqy, T. M. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan hukum Islam. Jakarta;Bulan Bintang.

Khallaf, A. W. Sejarah Legislasi Islam, terj.A. Sjinqithy Djamaluddin. Surabaya; AL-IKHLAS, 1994.

Sopyan, Y.  Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010.

Yafie, A. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *