Di Hindia Belanda, penyakit kelamin sempat dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Orang-orang takut membicarakan prostitusi, menganggap publikasi tentang penyakit kelamin sebagai pornografi, dan ketika pers memberanikan diri untuk melakukannya, mereka kehilangan banyak pelanggan. Akibatnya, selama bertahun-tahun penyakit ini diabaikan sehingga penyebarannya menjadi tidak terkendali.
Munculnya Penyakit Kelamin di Nusantara
Penyakit kelamin merupakan salah satu penyakit tertua dalam sejarah manusia, penyebabnya pun hampir selalu sama. Meskipun demikian, catatan sejarah tentang penyakit ini tidaklah banyak.
Kondisi ini juga berlaku dalam historiografi Indonesia. Secara umum catatan tentang sejarah kesehatan saja tidaklah banyak, apalagi menyangkut penyakit kelamin. Absen atau minimnya tulisan tentang penyakit kelamin, membuat orang yang hidup pada sekarang kesulitan mengambil pelajaran penting yang seharusnya bisa diterapkan pada masa sekarang.
Sifilis/raja singa dan gonore adalah penyakit menular seksual yang paling umum diidentifikasi pada masa kolonial. Kendati pada masa kini kedua penyakit itu kalah pamor dengan HIV/AIDS, tetapi pada masa lalu penyakit tersebut sempat menjadi momok yang menakutkan.
Gonore atau kencing nanah lebih dahulu dikenal dibandingkan sifilis. Tabib Yunani, Galen (131-200 M) menciptakan istilah “gonore” dari kata gonos (air mani) dan rhoia (mengalir). Ia keliru mengaitkan penyakit itu dengan ejakulasi air mani yang tidak disengaja (Kollar, 2004).
Meskipun lebih tua, namun tidak banyak tulisan sejarah yang membahas gonore. Jauh lebih sedikit dibandingkan literatur terkait sifilis(Morton, 1972). Bahkan hampir tidak catatan sejarah terkait gonore di Indonesia.
Keheningan historiografis pada penyakit ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa gonore telah lama dianggap sebagai salah satu gejala sifilis. Pada masa lalu keduanya sering dianggap sama sebagai bagian dari sifilis. Pemahaman itu terus dilestarikan hingga 1879, ketika Albert Neisser menemukan gonokokus, agen penyebab gonore.
Tidak mudah melacak jejak gonore dalam sejarah Indonesia. Bukti tertua terkait dengan penyakit ini berasal dari sumber Cina kuno di Indonesia, pada periode 618-906, ketika pedagang Cina datang ke Jawa: “Di negara ini ada gadis-gadis beracun; ketika seseorang melakukan hubungan seksual dengan mereka, dia mendapat borok yang menyakitkan dan mati, tetapi tubuhnya tidak membusuk.”
Sementara itu, penyakit sifilis terbilang penyakit baru di Asia. Sifilis diyakini telah mencapai India pada 1498, bersamaan dengan kedatangan armada Portugis pertama.
Orang-orang pesisir India menyebutnya phirangi roga (penyakit kaum Frank). Sebutan itu sering digunakan untuk merujuk orang Eropa pada umumnya, tetapi pada konteks ini digunakan untuk merujuk orang Portugis yang pertama kali datang ke Asia dalam jumlah banyak.
Baca juga: Antara Stigma dan Wabah: Sejarah Penyakit Sifilis
Munculnya sifilis di Semenanjung Malaka juga dikaitkan dengan Portugis yang menaklukkan Malaka pada 1511. Kendati demikian, sifilis diperkirakan telah menyebar lebih cepat sebelum penaklukkan Malaka, karena penyakit ini telah muncul di Kanton antara 1504-1506 dan Jepang pada 1505 (Kohn, 2001).
Satu abad kemudian, orang-orang Eropa yang datang ke Asia dikejutkan dengan fakta jika penyakit ini bukanlah penyakit yang memalukan atau aib. Sifilis dianggap sebagai penyakit umum, bahkan beberapa orang menyombongkan penyakit itu. Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan situasi di Eropa yang menganggap sifilis sebagai simbol aib.
Kemunculan sifilis di Kepulauan Indonesia tidak bisa dipastikan. Akan tetapi, para ahli memperkirakan sifilis telah ada di Indonesia pada 1521/22, sesuai dengan catatan Antonio Pigafetta. Dalam pelayarannya, ia tiba di wilayah Indonesia Timur dan menemukan fakta bahwa di seluruh pulau yang mereka temui, penyakit sifilis merajalela (Boomgaard, 2007).
Selain dari catatan orang Eropa, terdapat dua kisah rakyat yang kemungkinan merujuk pada kemunculan sifilis di nusantara.
Cerita pertama ditemukan dalam Sejarah Melayu. Cerita itu tentang penguasa asing di Palembang yang menikah dengan seorang wanita lokal. Setelah malam pernikahan, wanita itu menunjukkan gejala penyakit menular seksual. Hal yang sama juga terjadi pada 39 wanita lokal lain yang dinikahi penguasa itu.
Cerita kedua berasal Babad Tanah Jawi, yang menceritakan kisah Raja Majapahi terakhir Raden Wijaya, yang menderita penyakit raja singa atau sifilis. Sang raja sembuh setelah ia tidur dengan wanita asing berkulit kuning dari Champa (sekarang Vietnam) (Boomgaard, 2007).
Walaupun kisah-kisah tersebut belum pasti kebenarannya, tetapi dari kisah tersebut bisa diasumsikan jika sifilis telah ada sejak masa kerajaan. Para penderitanya pun tidak hanya dari kalangan kelas bawah, tetapi merata hingga kalangan penguasa.
Informasi tentang sifilis di Indonesia baru tersedia pada akhir abad ke-16,saat penyakit itu telah ada selama tiga perempat abad atau lebih. Sir Francis Drake yang mengunjungi pelabuhan di Jawa Timur pada 1580, mengatakan sifilis telah menjadi penyakit umum dan kebanyakan penduduk merawat diri dengan berjemur telanjang di bawah terik matahari.
Pada abad ke-17, seorang musafir Jerman, Johann Jacob Saar menghimbau agar tidak boleh terlalu akrab dengan penduduk kota Banten, karena banyak dari mereka mengidap Mal de Naples (penyakit Napoli), nama lain yang diberikan orang Eropa untuk sifilis.
Ledakan Kasus Sifilis di Hindia-Belanda
Setelahnya kemunculannya pada awal abad ke-16, sifilis menjadi salah satu penyakit kelamin yang paling banyak menjangkiti penduduk Hindia-Belanda.
Banyak yang beranggapan prostitusi menjadi penyebab utama penyebaran penyakit kelamin. Namun faktanya pekerja seks komersial tidak bisa dijadikan satu-satunya kambing hitam, karena tidak semua pelacur menularkan penyakit kelamin dan tidak semua orang yang menularkan penyakit kelamin dapat disebut pelacur.
Banyak faktor lain yang mengakibatkan ledakan penyakit kelamin di Hindia Belanda. Mulai dari kurangnya sosialisasi, minimnya fasilitas, hingga mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan.
Perang melawan sifilis telah dilakukan sejak masa kolonial. Saat Inggris menduduki Hindia-Belanda untuk sementara waktu, Raffles mendirikan rumah sakit umum sifilis pertama di Yogyakarta pada tahun 1811. Tidak lama berselang, rumah sakit serupa juga didirikan di Surabaya dan kota-kota lainnya.
Setelah kontrol kembali ke tangan Belanda, proyek pendirian penjara-penjara untuk menampung penderita sifilis dimulai. Penjara-penjara itu berada di bawah pengawasan petugas medis dan polisi.
Namun perjuangan melawan sifilis menemui ganjalan, karena mayoritas pekerja seks menghindari pemeriksaan dan menolak mematuhi pemeriksaan medis.
Pada tahun 1852, pemerintah kolonial peraturan untuk meminimalisir penyebaran penyakit kelamin akibat prostitusi. Selain itu, pemerintah menganggarkan 20.000 gulden setiap tahun untuk memerangi sifilis.
Kebijakan ini bertujuan untuk melakukan kontrol kesehatan pekerja seks komersial, sehingga penyebaran sifilis bisa ditekan. Namun kondisi kurang higienis di perkotaan dan fasilitas rumah sakit yang kurang memadai membuat upaya ini kurang berhasil.
Pemerintah kolonial pun mulai putus asa dalam memerangi penyakit itu. Melalui keputusan tanggal 21 Januari 1874, peraturan tahun 1852 dicabut. Pemerintah kolonial beralasan dampak prostitusi merupakan masalah hukum polisi sehingga harus diserahkan kepada pemerintah daerah (Simons, 1941). Namun, alasan tersebut juga menyiratkan menyerahnya perjuangan sistematis melawan sifilis.
Minimnya sosialisasi terkait penyakit kelamin juga memberikan kontribusi terhadap kegagalan perang melawan sifilis. Hingga akhir masa kolonial, sosialisasi terhadap penyakit ini nyaris tidak ada. Akibatnya, penduduk pun kurang begitu peduli terhadap dampak yang bisa ditimbulkan.
Pada tahun 1940, di salah satu rumah sakit Batavia, dokter Simons mendapati data yang mencengangkan. Dari 100 pasien sifilis, sekitar 75 pasien meninggalkan rumah sakit sebelum pengobatan selesai. Sementara dari 25 pasien yang tersisa hanya 5 orang yang telah diobati. Mahalnya biaya pengobatan sifilis, yang mencapai 8-12 ribu gulden per tahun untuk 100 pasien yang terisolasi, menambah nestapa penderita penyakit kelamin di tanah koloni.
Mahalnya biaya pengobatan ditopang kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat, menjadi kombinasi mematikan yang menyebabkan ledakan kasus sifilis pada akhir masa kolonial.
Tidak mengherankan apabila pada akhir masa kolonial, jumlah penderita penyakit sifilis di perkotaan mencapai 15% dari total populasi (4% Indo-Eropa, 7.5% Cina, 6% bumiputra). Jumlah ini belum termasuk persentase penderita sifilis di desa. Sementara jumlah penderita gonore selalu dua kali lebih banyak dari sifilis (Simons, 1941).
Penduduk desa tidaklah aman dari penyakit kelamin. Tingkat perceraian yang tinggi memaksa wanita desa merantau ke perkotaan untuk menjajakan diri. Namun karena razia, banyak dari mereka akhirnya kembali ke desa membawa penyakit kelamin.
Di pedesaan, para perempuan ini tidak hanya bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi kadang kala juga sebagai wanita penghibur, seperti yang ditemukan di wilayah Kedu pada 1830an (Moordiati, 2019). Selain itu dari perantau yang pulang, para pria sopir kendaraan berat yang sering bermalam di desa juga berperan dalam penyebaran penyakit kelamin.
Daftar Pustaka
Boomgaard, Peter. “Syphilis, gonorrhea, leprosy and yaws in the Indonesian Archipelago, 1500-1950.” MANUSYA: Journal of Humanities 10, no. 4, 2007: 20-41.
Kohn, George Childs (ed.). Encyclopedia of Plague & Pestilence from Ancient Times to the Present. New York: Checkmark Books, 2001.
Kollar K, Shmaefsky BR. Gonorrhea. New York: Chelsea House Publishers: 2004.
Moordiati, M. “Reading the history of venereal diseases in the city: Venereal disease from Surabaya, 19th-20th century.” Dermatology Reports 11, no. s1, 2019.
Morton, R.S. Venereal Diseases. Harmondsworth: Penguin, 1972.
Simons, R.D.G. “Het Onrustbarende Aantal Geslachtsziekten en de Noodzakelijkheid eener Sociaal-Hygiënische Bestrijding hiervan in Nederlandsch-Indie”. GTNI 81, 1941, hlm. 1630-5..