Memiliki kekayaan air luar biasa, tidak menjamin kebutuhan air selalu terpenuhi. Realitas inilah yang terjadi di Indonesia. Selama bertahun-tahun pengelolaan air menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai. Privatisasi air sempat dianggap sebagai cara ampuh untuk mengatasi permasalahan air penduduk, tetapi cara ini justru mendatangkan nestapa bagi penduduk menengah ke bawah.
Permasalahan Air di Indonesia
Berdasarkan publikasi FAO (2003), Indonesia merupakan negara terkaya keempat di dunia dalam hal sumber daya air terbarukan, setelah Brasil, Rusia, dan Kanada. Menariknya, negara ini justru sering mengalami defisit air.
Sejak tahun 2003, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara hampir selalu mengalami defisit air selama musim kemarau. Data dari Kementerian PUPR pada tahun 2016 menunjukkan bahwa indeks air per-kapita di Jawa, 1.168-meter kubik/orang, sedangkan kebutuhan airnya lebih dari 1.700-meter kubik/orang, sehingga terjadilah kelangkaan air.
Pertumbuhan penduduk yang cepat, pembangunan perkotaan dan industrialisasi di sebagian besar kota di Jawa dan Bali mendorong peningkatan defisit air di kedua pulau tersebut, terutama dalam hal ketersediaan air bersih domestik.
Selain masalah ketersediaan air, distribusi air juga menjadi masalah lain di Indonesia. Menurut penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2006, hanya 18,4 persen rumah tangga yang menggunakan air leding.
Sementara itu, publikasi Unicef (2022) menyebutkan bahwa hanya 20 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap air perpipaan dan separuhnya saja yang menggunakan air leding sebagai sumber air minum utama. Pertumbuhan kurang dari dua persen dalam waktu 16 tahun tentunya bukan kabar yang menggembirakan.
Menggali Akar Masalah
Sebelum masa kolonial, penduduk Indonesia mengandalkan sumber air dari sungai atau sumur yang memiliki kualitas yang baik. Sebelum dikonsumsi, air tersebut biasanya diendapkan dalam gentong atau kendi selama 3 minggu. Raffles mencatat bahwa masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan merebus air dan meminumnya dalam keadaan hangat, kebiasaan ini lalu diadopsi oleh penduduk Eropa di Hindia-Belanda.
Upaya untuk mendistribusikan air bersih baru dimulai pada abad ke-20. Pada periode ini, banyak didirikan perusahaan air minum di Hindia-Belanda, seperti Waterleiding-Maatschappij Ajer Medan (1905), Waterleiding-Maatschappij Kota Semarang (1911), Waterleiding-Maatschappij Salatiga (1921), dan Waterleiding-Maatschappij Solo (1929).
Setelah kemerdekaan, PDAM dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Beberapa waktu kemudian, PDAM berubah menjadi perusahaan milik daerah (BUMD). Baru pada tahun 1970-an, pemerintah pusat terlibat dalam pengelolaan PDAM.
Pengembangan PDAM, terutama infrastruktur, menjadi bagian dari upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini merupakan langkah yang umum dalam pengembangan dan organisasi sistem penyediaan air minum perkotaan di berbagai negara di dunia.
Pada tahun 1987, melalui Peraturan Pemerintah No. 14/1987, pemerintah pusat melimpahkan sebagian tanggung jawab pekerjaan umum kepada pemerintah daerah, termasuk dalam penyediaan air minum. Walaupun demikian, peran pemerintah pusat masih terlihat dalam pengelolaan PDAM setelah periode tersebut (Hadipuro, 2010).
Pada saat itu, pengelolaan PDAM sangat kompleks karena melibatkan banyak lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas berbagai aspek operasionalnya. Kementerian Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap masalah teknis infrastruktur dan pengelolaan sumber air, sementara aspek manajerial menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri.
Masalah keuangan berada di bawah yurisdiksi Kementerian Keuangan, sedangkan Kementerian Kesehatan berperan dalam menetapkan persyaratan kualitas air minum. Sementara itu, kepemilikan PDAM berada di tangan pemerintah kota, kabupaten, atau provinsi.
Setelah diberlakukan Undang-Undang No. 22/1999 tentang otonomi daerah pada 1 Januari 2001, peran pemerintah daerah dalam pengelolaan PDAM mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh tekanan yang diberikan pada PDAM untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pejabat pemerintah daerah dan DPRD berpendapat bahwa PDAM memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi pendapatan kepada pemerintah kota atau kabupaten, tanpa memperhatikan kondisi keuangan PDAM yang menguntungkan atau tidak (Hadipuro, 2010).
Menurut undang-undang otonomi daerah, jika sebuah kota atau kabupaten tidak mampu membiayai dirinya sendiri, maka akan dilakukan penggabungan dengan kota atau kabupaten lain yang berdekatan. Oleh karena itu, mencapai kemandirian keuangan sangat penting bagi entitas-entitas tersebut, dan pendapatan yang berasal dari PDAM merupakan salah satu cara untuk mencapainya.
Namun, kecenderungan untuk mengandalkan PDAM sebagai sumber pendapatan daerah telah menyebabkan kompleksitas dalam penyediaan layanan mereka. Menurut analisis data yang dilakukan oleh Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum di Seluruh Indonesia) dan Kementerian Dalam Negeri, sebagian besar PDAM menghadapi berbagai masalah operasional dan keuangan. Mayoritas masalah keuangan disebabkan oleh utang luar negeri yang telah menjerat PDAM di berbagai daerah sejak krisis tahun 1998.
Pada tahun 2000-an, PDAM di berbagai daerah menghadapi kesulitan dalam meningkatkan cakupan layanan. Dari 128 PDAM yang ada, hanya 22 PDAM yang mampu melakukan ekspansi layanan. Sementara itu, yang lain berusaha menutupi kerugian dengan meningkatkan tarif layanan (Perpamsi, 2000; Kementerian PUPR, 2005).
Kondisi keuangan yang buruk dan pertumbuhan layanan yang lambat menjadikan layanan air minum dalam kondisi yang sulit. Akibatnya, masyarakat tidak dapat mengandalkan PDAM dan beralih ke penyedia air lain, seperti air minum dalam kemasan atau isi ulang.
Pada tahun 2000, jumlah pelanggan PDAM sebesar 17,2 persen dari total rumah tangga. Dua dekade kemudian, angka ini hanya sedikit meningkat menjadi 20 persen. Pertumbuhan pelanggan PDAM yang lambat sejalan dengan kinerja perusahaan yang buruk.
Privatisasi Air
Privatisasi perusahaan air minum daerah menjadi langkah utama yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis air. Langkah ini merupakan bagian dari reformasi struktural yang disyaratkan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai imbalan atas paket pinjaman sebesar US$ 46 miliar selama krisis ekonomi pada tahun 1990-an (Kurniasih, 2008).
Proses privatisasi ini didukung oleh Pinjaman Penyesuaian Sektor Sumber Daya Air dari Bank Dunia. Dukungan tersebut mendorong lahirnya Undang-Undang Air pada tahun 2004 yang memberikan legitimasi hukum bagi privatisasi.
Pemerintah Indonesia, yang optimis terhadap keberhasilan langkah tersebut, mulai merencanakan privatisasi 80-90% perusahaan air minum lokal. Dalam waktu singkat, proyek ini telah mencakup delapan wilayah kota besar di Indonesia.
Jakarta menjadi proyek percontohan privatisasi air di Indonesia, dengan privatisasi air minum di kota ini dimulai pada tahun 1998. Melalui privatisasi, manajemen yang sebelumnya dipegang oleh PAM Jaya (perusahaan air minum daerah) dialihkan kepada dua perusahaan swasta: Thames Water Overseas (bersama PT. Kekar Pola Airindo) dan Suez Lyonnaise des Eaux (bersama PT. Garuda Dipta Semesta). Kedua mitra lokal Thames dan Suez ini dimiliki oleh putra dan kroni Soeharto (Braadbaart, 2007).
Sistem air di Jakarta kemudian dibagi menjadi dua area layanan; sektor Barat dioperasikan oleh Suez melalui perusahaan lokal PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan sektor Timur dioperasikan oleh RWE Thames melalui PT. Thames PAM Jaya (Sejak 2008 berubah menjadi PT Aetra). Perusahaan-perusahaan ini mendapatkan konsesi selama 25 tahun untuk mengelola sistem pasokan air di Jakarta (Harsono, 2005).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi privatisasi air di Jakarta. PAM Jaya, yang seharusnya bertanggung jawab dalam menyediakan dan mendistribusikan air minum, menghadapi masalah kompleks. Masalah tersebut meliputi distribusi air yang terbatas, infrastruktur yang sudah tua, dan kendala keuangan.
Hingga tahun 1998, PAM Jaya hanya mampu mendistribusikan air kepada 51% populasi. Sementara itu, keterbatasan keuangan membuat perusahaan tidak mampu merehabilitasi fasilitas yang sudah tua.
Pada saat itu, pemerintah Indonesia memiliki ketertarikan terhadap konsep air sebagai sumber daya ekonomi. Bersamaan dengan itu, Thames Water dan Suez terus berupaya melobi pemerintahan Soeharto agar terlibat dalam bisnis air di Jakarta.
Privatisasi dianggap oleh beberapa institusi internasional, seperti Bank Dunia dan IMF, sebagai solusi yang menjanjikan untuk mengatasi permasalahan air (Kessides, 2004). Sektor swasta dianggap memiliki kapasitas manajerial yang lebih baik, kemampuan finansial yang lebih kuat, dan kapasitas teknologi yang lebih canggih untuk mengatasi masalah ketersediaan air bersih di Jakarta.
Munculnya Peraturan Kontroversial
Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 7/2004 tentang sumber daya air, yang menjadi titik awal perubahan ideologis dalam pengelolaan pasokan air di Indonesia. Undang-Undang tersebut memberikan lebih banyak ruang bagi sektor swasta melalui Pasal 9 yang mengatur “hak guna usaha air” dan Pasal 40 ayat 3 yang mengatur partisipasi sektor swasta dalam penyediaan pasokan air.
Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang pengembangan sistem penyediaan air minum juga menyebutkan keterlibatan sektor swasta, terutama dalam Pasal 1 ayat 9. Pasal 60 peraturan tersebut menyatakan bahwa keuntungan termasuk dalam perhitungan tarif penyediaan air minum, sehingga air dianggap sebagai komoditas yang menghasilkan keuntungan (Hadipuro, 2010). Kedua peraturan tersebut turut memberikan landasan hukum kuat yang memungkinkan investor asing untuk memiliki 95% saham penyedia air bersih.
Perubahan orientasi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) kembali ditegaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23/2006, yang menyatakan bahwa meskipun PDAM masih berada di bawah pemerintah, mereka dapat menjadi sumber penghasil keuntungan.
Target ini mendorong banyak PDAM untuk menaikkan tarif air minum guna mencapai tujuan tersebut. Namun, peningkatan tarif ini berdampak negatif terhadap masyarakat miskin yang mengandalkan subsidi tarif air.
Mengundang sektor swasta dalam penyediaan air minum tidak serta merta meningkatkan akses bagi masyarakat miskin. Pada umumnya, para pemegang konsesi swasta tidak terlalu tertarik untuk menyediakan layanan bagi masyarakat miskin karena mereka tidak membutuhkan banyak air. Di samping itu, banyak penduduk miskin tidak dapat membayar biaya pemasangan di muka dan sering kali tidak memiliki jaminan atas kepemilikan tanah (McIntosh, 2003).
Bagi perusahaan swasta, yang memprioritaskan keuntungan, penyediaan air minum bagi penduduk miskin memang layak secara sosial, tetapi tidak menguntungkan secara komersial. Memberikan pelayanan maksimal bagi masyarakat miskin dianggap hanya akan mengurangi keuntungan perusahaan. Sebagai akibatnya, banyak masyarakat miskin yang menghabiskan pendapatan mereka untuk membeli air dari penjual informal.
Dalam beberapa kasus, operator swasta juga cenderung hanya memilih wilayah yang diyakini dapat mendatangkan keuntungan tinggi dan menyerahkan wilayah-wilayah lain kepada perusahaan publik.
Contohnya adalah kasus mitra swasta PDAM Kota Semarang, di mana mereka lebih memilih memasok air bagi industri di Kota Semarang karena industri membutuhkan kualitas air yang lebih rendah tetapi membayar tarif yang lebih tinggi (Hadipuro, 2010).
Kemitraan semacam ini mempengaruhi kemampuan keuangan PDAM untuk menerapkan mekanisme subsidi silang, karena PDAM harus berbagi keuntungan dengan mitra swasta.
Di sistem bawah monopoli, terdapat kecenderungan bagi perusahaan swasta untuk menetapkan harga yang tinggi agar dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, tidak ada pilihan lain bagi pelanggan selain menerima harga yang ditetapkan oleh penyedia layanan.
Celakanya, tarif air yang tinggi tidak selalu diiringi perbaikan kualitas air. Pengujian kualitas air PDAM dilakukan secara berkala, tetapi hasil pengujian ini jarang dipublikasikan. Di lapangan, penduduk sering mendapati kualitas air dalam kondisi buruk dan tidak layak untuk dikonsumsi. Akhirnya, mereka terpaksa mencari sumber air minum alternatif dengan membeli air kemasan, air isi ulang, atau menggunakan sumur di belakang rumah.
Tarif mahal dan pelayanan yang buruk juga menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Sebagian pengusaha pada akhirnya lebih memilih mengambil air dari tanah, karena mereka enggan membayar tarif air pipa yang mahal dan pasokannya tidak dapat diandalkan. Ekstraksi air secara masif dalam waktu yang lama dapat menyebabkan turunnya ketinggian daratan yang bisa memicu bencana (Kurniasih, 2008).
Upaya Menentang Privatisasi
Perlawanan pertama terhadap privatisasi muncul pada tahun 2002 saat Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA) dibentuk. KRuHA mempertanyakan logika privatisasi dengan membawa klaim hak asasi manusia atas air.
Kelompok ini mengkritik praktik privatisasi yang dianggap sudah melanggar hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa jika kemampuan ekonomi menjadi faktor penentu dalam akses terhadap air, maka akan ada sekelompok orang yang terabaikan, padahal semua orang membutuhkan air untuk kelangsungan hidup, tanpa memandang pendapatan mereka.
Upaya ini terwujud pada tahun 2004, ketika masyarakat menggugat UU Air Baru ke Mahkamah Konstitusi, dengan alasan bahwa konstitusi Indonesia secara implisit mengakui hak asasi manusia atas air. Kendati permohonan ini ditolak MK, tetapi ini menjadi tonggak penting perlawanan terhadap privatisasi.
Perlawanan terhadap privatisasi semakin menguat saat hegemoni privatisasi menghadapi krisis organik. Krisis organik ini muncul melalui konflik sosial yang terus menerus terjadi akibat kelangkaan air, yang sebenarnya menjadi ironi karena juga merupakan hasil dari kebijakan privatisasi (Marwa, 2019).
Pada bulan Maret 2011, KRuHA bersama dengan WALHI dan LBH Jakarta, mengorganisasi unjuk rasa menuntut agar air didistribusikan secara merata dengan membawa slogan yang berbunyi, “Biarkan air mengalir, ambil manfaatnya, bukan untungnya” (KRuHA, 2011).
Menurut KRuHA, kelangkaan air di Indonesia bukanlah semata-mata “kelangkaan alam”, mengingat Indonesia memiliki pasokan air yang memadai secara geografis. Namun, kelangkaan air lebih merupakan hasil dari “kelangkaan sumber daya sosial” yang terjadi karena proyek hegemoni tertentu.
Privatisasi menghasilkan kelangkaan air melalui dua cara: Pertama, dengan menyingkirkan masyarakat miskin dari penyediaan air bersih; kedua, melalui kenaikan tarif air yang terus menerus dan penurunan kualitas air yang disalurkan.
Pada tahun yang sama, mobilisasi menentang privatisasi menjadi semakin nyata dengan terbentuknya Koalisi Masyarakat Melawan Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ).
Pembentukan KMMSAJ menjadi momentum kedua bagi para penentang gagasan privatisasi untuk menentang ide hegemonik privatisasi. Sebagai sebuah koalisi, KMMSAJ terdiri dari KRuHA, WALHI, KIARA, SP, JRMK, KAU, LBH Jakarta, Front Perjuangan Pemuda Indonesia, dan juga ICW.
KMMSAJ membangun oposisi dari bawah dengan menggugat legitimasi privatisasi air dan menggalang dukungan politik untuk menentang privatisasi melalui kampanye, diskusi publik dan demonstrasi.
Lewat dukungan yang besar, koalisi penentang privatisasi memperluas agendanya dari sekedar menentang privatisasi menjadi tujuan yang lebih transformatif dengan mengeluarkan gagasan dan konsepsi alternatif baru yang disebut remunisipalisasi (gerakan mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali).
Marwa dalam artikelnya, “Changing Water Regime: Remunicipalization in Indonesia under the Global Hegemony of Privatization”, menyatakan bahwa remunisipalisasi merupakan ide tandingan untuk melawan ide privatisasi air.
Dari sisi common sense, remunisipalisasi membangun ide air sebagai barang publik yang berlawanan dengan ide air sebagai barang ekonomi. Di samping itu, konsep ini juga didasarkan pada kesetaraan dan keberlanjutan sosial, bukan pada gagasan pasar tentang efisiensi ekonomi.
Kontradiksi terakhir yang paling terlihat adalah pemangku kepentingan di sektor air. Privatisasi menempatkan air sepenuhnya di pasar di bawah kendali swasta, sedangkan remunisipalisasi mengembalikannya ke ruang publik, di mana pemerintah, warga negara, dan operator air bekerja sama untuk membangun sistem air publik yang baik.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia pada Februari 2015 untuk menolak ide dan praktik privatisasi serta pembatalan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air menjadi momentum penting ketiga dari gerakan anti-privatisasi di Indonesia. Keputusan ini memberikan argumen hukum yang kuat untuk menentang privatisasi sektor air.
Selain itu, momentum ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Agung Indonesia yang menyatakan bahwa pemerintah dan penyedia layanan air telah lalai dalam menjamin pemenuhan kebutuhan air masyarakat pada Oktober 2017 (Gumilang, 2017). Dukungan hukum ini memungkinkan KMMSAJ untuk menantang satu-satunya pijakan privatisasi air di Jakarta, yaitu kekuatan politik.
Tatkala legitimasi mulai dipertanyakan, para aktor privatisasi mulai mencari dukungan politik yang lebih kuat untuk mempertahankan hegemoninya. Baik Aetra (Thames) ataupun Palyja (Suez) menjual saham mereka kepada perusahaan-perusahaan internasional dan nasional yang berpengaruh.
Baca juga: Bagaimana VOC Menangani Banjir di Batavia?
Aetra menjual 95% sahamnya kepada Moya Holdings Indonesia, sedangkan Palyja mengalihkan sahamnya kepada PT Mulia Semesta Abadi dan Future Water Ltd dari Singapura pada 2017 (Putri, 2018). Perusahaan-perusahaan yang saat ini mengelola air Jakarta berada di bawah naungan Salim Group yang dimiliki Anthony Salim, salah satu pengusaha paling berpengaruh di Indonesia (Hanifan, 2018).
Hingga kini permasalahan air masih menghantui ibu kota dan daerah lain di Indonesia. Kemungkinan besar perang hegemoni antara privatisasi dan remunisipalisasi masih akan berlanjut beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, masa depan air di Indonesia ditentukan oleh pemenang duel hegemoni tersebut.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2007). Laporan pencapaian millennium development goals. Jakarta: Bappenas.
Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR. “Pulau Jawa Berpotensi Mengalami Kelangkaan Air. Pu.go.id, 21 April 2016.
Food and Agriculture Organization. (2003). Review of World Water Resources by Country, FAO Water Reports, No. 23.
Foster, T., Willetts, J., Putri, G., Priadi, C., & Odagiri, M. (2022). Self-supply for safely managed water: To promote or to deter?. Unicef-Policy Brief.
Gumilang, P. “Putusan MA Perintahkan Negara Stop Swastanisasi Air Jakarta”. CNN Indonesia, 10 Oktober 2017.
Hadipuro, W. (2010). Indonesia’s water supply regulatory framework: between commercialisation and public service?. Water Alternatives, 3(3).
Hanifan, A. F. “Salim Group Memonopoli Air Bersih di Jakarta”. Tirto.id, 9 Mei 2018.
Harsono, A. (2005). When water and political power intersect. Nieman Reports, 59(1), 45.
Kessides, N. I. 2004. Reforming Infrastructure: privatization, Regulation and Competition. A World Bank Policy Research Report. Washington: the World Bank and Oxford University Press.
Kurniasih, H. (2008). Water not for all: the consequences of water privatisation in Jakarta, Indonesia. In Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Melbourne, Australia.
Marwa, M. (2019). Changing Water Regime: Remunicipalization in Indonesia under the Global Hegemony of Privatization. Global South Review, 1(1), 6-24.
McIntosh, A. C. (2003). Asian water supplies: reaching the urban poor. Asian Development Bank.
Putri, B, U. “Kontra Memori PK Swastanisasi Air, Koalisi Pertanyakan Penjualan Saham Aetra dan Palyja”. Tempo, 6 Juni 2018.