Sebagai bagian dari sejarah kesehatan, sejarah kesehatan jiwa sering kali dilupakan dan diabaikan di dalam historiografi Indonesia. Padahal apabila diteliti lebih lanjut tema-tema kesehatan seperti gangguan jiwa bisa menjadi kajian yang menarik. Pada masa kolonial perawatan kesehatan untuk penderita gangguan mental berpusat pada rumah sakit jiwa. Namun jangan dibayangkan perawatan di rumah sakit jiwa masa kolonial sama seperti pada masa sekarang. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca lebih lanjut di dalam artikel ini.
Perawatan Awal Pasien Gangguan Jiwa
Sebelum pemerintah kolonial Belanda mendirikan rumah sakit jiwa pertama di Hindia pada akhir abad ke-19, orang-orang yang mengalami gangguan mental berada dalam kondisi yang menyedihkan.
Pada awal abad ke-17, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) membangun rumah sakit di luar Batavia untuk orang Eropa. Di rumah sakit itu pula diberikan penanganan untuk orang-orang yang mempunyai gangguan kejiwaan.
Teori medis yang digunakan pun masih sangat sederhana, penyakit kejiwaan diyakini berasal dari keseimbangan tubuh. Iklim lembab di Asia Tenggara, dipercaya memiliki efek mengerikan pada keseimbangan tubuh orang Eropa, terutama ketika perubahan lingkungan berlangsung cepat.
Perawatan yang paling umum digunakan oleh dokter-dokter Eropa adalah pemulihan keseimbangan tubuh dengan membiarkan darah mengalir lancar, bekam dan trepanation (metode dengan melubangi tengkorak kepala agar nanah dan cairan tengkorak lainnya keluar.
Namun metode ini tidak begitu efektif, mereka yang menderita gangguan kejiwaan akut biasanya memperoleh perlakuan kasar dan tidak manusiawi. Seperti yang terjadi di rumah sakit awal di Batavia antara tahun 1638-1642. Pasien yang memiliki perilaku yang tidak semestinya atau mengalami gangguan jiwa akut akan dihukum seolah-olah mereka seorang kriminal. Pasien-pasien itu dicambuk, dikurung, dan dipaksa melakukan tugas-tugas yang tidak manusiawi. Satu-satunya makanan mereka adalah roti dan air. Mereka yang mencoba melarikan diri dari rumah sakit diamankan dengan cara tangan mereka ditancapkan ke pintu dengan menggunakan pisau (Porath, 2008: 501).
Di bagian lain nusantara, orang Eropa yang sakit menerima perawatan di benteng militer. Baru kemudian rumah sakit didirikan di Kepulauan Rempah-rempah Ambon, Banda, dan Ternate. Sama dengan di Batavia, tempat-tempat pelayanan medis tersebut juga merawat orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Tetapi Karena tidak mampu menanganinya, rumah sakit setempat mengirimnya ke rumah sakit di Batavia. Pemindahan orang gila Eropa ke pusat menunjukkan bahwa rumah sakit masa itu telah membangun sebuah hierarki terpusat, layaknya jaringan rumah sakit modern Indonesia.
Rumah sakit di Batavia mempunya posisi penting bagi orang-orang Eropa di kepulauan itu terutama terdiri dari orang-orang militer dan pedagang, yang tinggal di Nusantara tanpa keluarganya. Seiring berjalannya waktu, rumah sakit menjadi salah satu identitas bagi orang Batavia di Batavia, karena sejak tahun 1642 mereka secara hukum diwajibkan memeriksakan diri mereka ketika sakit.
VOC bertanggung jawab atas kesehatan orang Eropa yang menjadi pegawainya, tetapi mereka tidak memperdulikan kesehatan penduduk pribumi, kecuali seorang raja setempat yang secara pribadi mendaftar.
Lembaga penting lain dalam sejarah perawatan medis orang gila di Indonesia adalah rumah sakit Cina di Batavia. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1640 dan dikelolah oleh spesialis medis Cina. Dalam pengoperasiannya rumah sakt tersebut didanai oleh anggota masyarakat Cina yang kaya. Rumah sakit ini semakin berkembang pada abad ke-18 dan memiliki bangunan khusus untuk orang gila. Bangunan itu memiliki jeruji di jendela dan pintu-pintu gembok dengan lubang-lubang untuk memasukkan makanan. Setiap kamar juga dilengkapi dengan alat pasung untuk mengunci orang gila yang mengamuk (Ibid.: 503).
Seperti yang dibahas sebelumnya, secara singkat berbagai fasilitas medis untuk pasien sakit jiwa pada masa VOC dibagi berdasarkan kategori populasi: Eropa, Cina, dan penduduk asli. Sementara orang-orang Eropa dan Cina dikelompokkan berdasarkan etnis mereka, penduduk pribumi disatukan dengan orang miskin dan anak yatim di bawah kategori penduduk asli yang melarat.
Pendirian Rumah Sakit Jiwa Pertama di Hindia Belanda
Berbicara mengenai perkembangan layanan medis untuk pasien sakit jiwa tidak dapat dilepaskan dari perkembangan metode perawatan di Eropa. Sampai akhir abad ke-18, di Eropa orang gila dipisahkan dari masyarakat dan dikurung dengan penyimpangan sosial lainnya. Ironisnya tidak ada upaya nyata untuk mengurangi penyakit mereka secara terapeutik.
Hingga pada akhirnya muncul beberapa dokter rumah sakit jiwa yang mulai mempertimbangkan untuk merawat pasien sakit jiwa dengan metode terapi di dalam kurungan (Foucault, 1988: 159). Salah satu dokter Prancis Philippe Pinel meyakini bahwa kurungan memiliki nilai terapeutik, karena isolasi dari rutinitas normal dapat mengalihkan pasien dari gangguan yang mempengaruhi mereka. Ia bahkan meyakini ada kemungkinan untuk menyembuhkan orang gila di rumah sakit jiwa dan mengembalikannya ke masyarakat sebagai manusia merdeka (Foucault, 1988: 270).
Pada masa yang sama, William Tuke membuka The Quaker Retreat di Yorkshire, Inggris. Perawatan di tempat ini didasarkan pada perlakuan lembut yang diharapkan mampu mengarahkan hasrat moral pasien untuk pulih. Lembaga-lembaga baru ini mengantarkan pada era baru yang disebut terapi moral, yang merupakan pendahulu dari bentuk-bentuk psikoterapi modern(Ibid: 247).
Era baru terapi untuk penyandang gangguan jiwa juga sampai ke Nusantara, gagasan mengenai terapi moral ini nantinya akan mempengaruhi pembangunan rumah sakit jiwa pertama di kepulauan itu.
Pada 1795 Profesor Brugman dari Leiden (1763-1819) yang memimpin dinas medis militer di Belanda memperkenalkan reformasi medis kepada Herman Willem Daendels (1762-1818) Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels kemudian mengeluarkan kebijakan yang membuat militer bertanggung jawab atas obat-obatan di nusantara; dan para dokter di Hindia harus lulus ujian sebelum praktek. Para dokter itu juga diwajibkan untuk menulis laporan dan mengirimkannya ke Belanda.
Sistem baru juga memanfaatkan bangsal yang ditujukan untuk penyakit tertentu, dan menerapkan aturan baru yang berkaitan dengan nutrisi, kebersihan, dan perawatan medis. Rumah sakit militer baru yang dibangun pada tahun 1832 termasuk ruangan kecil untuk tentara gila. Di bagian untuk orang gila ini perawatan medis baru mulai diterapkan.
Pada abad ke -19 terjadi peningkatan jumlah orang yang menderita gangguan jiwa, untuk mengatasi itu pemerintah kolonial melakukan sensus kesehatan mental pertama pada tahun 1862. Dalam laporan ini, dr. Wassink memperkirakan bahwa ada sekitar 586 orang gila berbahaya di pulau Jawa, 252 di antaranya dirawat di kota-kota besar.
Selain mendokumentasikan kondisi kesehatan mental di Hindia Belanda, ia juga membuat saran sebelumnya bahwa pemerintah hanya harus bertanggung jawab mengurusi orang gila yang berbahaya, tidak perlu ada kebijakan baru untuk orang gila yang tidak berbahaya. Ia juga memiliki saran agar pemerintah membangun rumah sakit jiwa khusus untuk orang Eropa. Tujuannya adalah untuk menyediakan lembaga yang lebih manusiawi, dengan lebih banyak tempat tidur dan kursi lurus daripada kayu pasung.
Namun pemerintah tidak langsung menanggapi permintaan Dr Wassink itu. Pemerintah Belanda justru meminta dua dokter, Dr F. Bauer dan Dr W. Smit, untuk mengunjungi negara-negara tetangga Eropa untuk belajar tentang perawatan mereka terhadap orang gila. Setelah mengunjungi negara-negar tetangga mereka pun pergi ke Hindia Belanda untuk melaporkan kondisi di sana dan mencari solusi apa yang bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi perawatan orang gila di Hindia Belanda (Porath, 2008: 505).
Setelah melakukan kunjungan ke berbagai negara dan Hindia Belanda, Bauer dan Smit Bauer dan Smit meminta izin pemerintah Belanda untuk membuka rumah sakit jiwa di Buitenzorg (Bogor). Bogor dipilih karena letaknya yang dekat dengan Batavia tetapi sebaliknya lebih terpencil, sesuai dengan prinsip perawatan terapi saat itu yakni mengisolasi dari seluruh masyarakat.
Baru pada tahun 1875 melalui sebuah dekrit diumumkan pembangunan rumah sakit di Buitenzorg. Rumah sakit jiwa pertama ini akhirnya dibuka pada tahun 1882 (Pols, 2006: 363). Setelah pendirian rumah sakit paling awal itu jumlah pasien terus bertambah, sampai pada pergantian abad ke-20 para dokter mengeluh bahwa tidak ada cukup tempat tidur untuk para pasien.
Di rumah sakit ini metode terapi modern digunakan untuk merawat para pasien. Apabila pada masa sebelumnya pasien dibelenggu, kini para pasien sakit jiwa menerima bimbingan moral dan perlakuan yang lebih lembut.
Rumah sakit jiwa baru ini menolak bentuk organisasi medis sebelumnya yang hanya merawat pasien berdasarkan kelompok masyarakat (Eropa, Cina, dan penduduk asli). Sebaliknya, rumah sakit jiwa tersebut menerima berbagai macam pasien tidak peduli ras, etnis, atau latar belakang budaya. Meskipun begitu, orang Eropa masih diistimewakan dan ditempatkan pada kelas dan bangsal yang terpisah (Porath, 2008: 505).
Perkembangan Rumah Sakit Jiwa Abad ke-20
Pada awal abad kedua puluh, rumah sakit jiwa dibangun di sejumlah kota di Hindia Belanda. Rumah sakit jiwa kedua dibuka di dekat Lawang pada tahun 1902. Dua rumah sakit jiwa tambahan didirikan di dekat Magelang dan dekat Sabang, di sebuah pulau di utara Aceh. Keduanya dibuka pada tahun 1923 (Pols, 2006: 364; Kline 1963: 812). Rumah sakit jiwa besar ini merawat pasien dari latar belakang Eropa dan asli. Bersamaan dengan kehadiran rumah sakit baru meningkat pula jumlah pasien yang mendaftar.
Namun untuk bisa masuk ke dalam rumah sakit jiwa tidak semudah yang dibayangkan. Karena pada masa itu, orang-orang pribumi yang ingin masuk ke rumah sakit jiwa harus melalui jalur pengadilan. Sistem penerimaan semacam ini bertahan bertahun-tahun dan cukup menyulitkan keluarga pasien.
Tidak semua pasien bumiputra diterima di rumah sakit itu, hanya mereka yang dianggap menyebabkan gangguan publik dan tindakan kekerasan yang diterima. Oleh sebab itu, perawatan di lembaga-lembaga ini sebagian besar adalah penahanan.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Difabel Masa Kuno
Perlakuan berbeda ditunjukan pada pasien Eropa. Mereka dirawat secara lebih manusiawi, mereka dimandikan secara teratur, disediakan tempat tidur yang bersih dan udara terbuka. perawatan yang tersedia termasuk mandi terus menerus, perawatan tempat tidur, dan perawatan udara terbuka. Sementara pengekangan fisik, pengekangan kimia, dan isolasi jarang digunakan
Dua jenis lembaga lain didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda: klinik perawatan akut dan koloni pertanian. Pada 1920-an, dua belas klinik (doorgangshuizen) untuk pengobatan kasus akut didirikan di sejumlah pusat kota besar. Di tempat ini pasien akan dirawat selama enam bulan (Travaglino, 1919: 59). Apabila perawatan di fasilitas ini tidak berhasil, pasien akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa yang lebih besar.
Akan tetapi dalam prakteknya, sebagian besar lembaga perawatan jangka pendek ini lebih berfungsi sebagai rumah sakit jiwa tambahan dibandingkan klinik. Klinik-klinik ini dibuka di Surakarta, Batavia (Jakarta), Palembang, Padang, Medan, Bajarmasin, Bangli (Bali), Makassar, dan Menado.
Pada 1930-an, beberapa dokter mengusulkan agar membentuk koloni pertanian untuk pasien kronis jangka panjang yang kondisinya sulit membaik. Lembaga-lembaga ini dapat dijalankan oleh perawat dan dokter pribumi. Pada perkembangannya, koloni pertanian telah menjadi bagian dari rumah sakit jiwa yang lebih besar. Lembaga ini didirikan pada 1935 di Lenteng Agung (Pols dan Wibisono, 2017: 206).
Jadi begitulah sejarah kesehatan jiwa di Hindia Belanda. Meskipun pada awalnya penanganan orang sakit jiwa sangatlah tidak manusiawi, namun berkat terobosan pada abad ke-19 penanganan terhadap mereka pun mulai membaik.
Akan tetapi, fasilitas rumah sakit jiwa yang didirikan di Hindia Belanda masih sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, sering tidak dapat menampung jumlah pasien, sehingga menyebabkan penelantaran, perawatan yang buruk dan penempatan individu yang sakit di penjara. Karena ini banyak orang pribumi dengan penyakit mentaltidak bisa masuk ke rumah sakit, sehingga mereka bertahan di lingkungan umum meski beberapa dari mereka dipasung (Pols, 2006: 364).
Daftar Pustaka
Foucault, Michel. Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. New York: Random House, 1988.
Kline, Nathan S. “Psychiatry in Indonesia”. The American Journal of Psychiatry, 1963.
Porath, Nathan. “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and its Interaction with Indigenous Therapeutics”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 164-4, 2008.
Pols, Hans dan Wibisono, Sasanto “Psychiatry annd Mental Health Care in Indonesia from Colonial in Modern Times” dalam Harry Minas (Ed.). Mental Health in Asia and the Pacific: Historical and Cultural Prespectives. New York: Springer, 2017.
Pols, Hans. “The Development of Psychiatry in Indonesia: From Colonial to Modern Times”. International Review of Psychiatry, August 2006.
Travaglino, P. H. M. “Krankzinnigenverzorging in Nederlandsch Indie”. Koloniale Studien, II, 1919.