Rumah Sakit Petronella merupakan salah satu rumah sakit paling berpengaruh di Yogyakarta. Lewat kolaborasinya dengan Kesultanan Yogyakarta, rumah sakit ini mampu membangun sistem kesehatan yang menjangkau hingga ke pelosok wilayah Yogyakarta.
Berawal dari Bangunan Bambu
Membicarakan Rumah Sakit Petronella rasanya kurang lengkap tanpa menyinggung organisasi Zending. Organisasi ini merupakan motor utama di balik eksistensi rumah sakit tersebut.
Setiap tahunnya para pendeta dan dokter Hindia-Belanda mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan penduduk. Hasil dari pembicaraan itu kemudian dilaporkan kepada pengurus gereja-gereja reformed di Belanda untuk dicarikan solusinya.
Menjelang abad ke-20, salah satu isu utama yang menjadi bahan pembicaraan adalah minimnya fasilitas kesehatan yang layak di Hindia-Belanda. Sebagai solusinya, para pengurus gereja reformed di Belanda menghimpun dana hingga f 15.000 untuk mendirikan sebuah rumah sakit yang layak untuk penduduk.
Setelah disetujui, proyek pendirian Rumah Sakit Petronella segera dimulai. Rumah sakit Kristen ini dibuka pada 1897 di daerah Bintaran, selatan kota Yogyakarta.
Jan Gerrit Scheurer menjadi perintis pelayanan kasih Rumah Sakit Petronella. Kala itu, bangunan rumah sakit masih terbuat dari bangunan bambu sederhana.
Sayangnya, mayoritas penduduk bumiputra masih antipati terhadap kehadiran rumah sakit. Kebanyakan dari mereka masih mengandalkan pengobatan tradisional dari dukun untuk mengobati penyakitnya.
Untuk memperoleh kepercayaan penduduk, Scheurer keluar setiap sore untuk mengunjungi penduduk yang sakit di rumah mereka. Awalnya hanya sedikit yang berhasil dibujuk untuk dirawat di rumah sakit, tetapi seiring berjalannya waktu penduduk mulai berkenan untuk dirawat.
Kurangnya SDM terdidik menjadi masalah tersendiri saat itu. Ditambah, pekerjaan sebagai tenaga medis masih dianggap masyarakat sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan. Oleh sebab itu, calon tenaga medis generasi awal akhirnya direkrut dari pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan tukang kuda.
Selain masalah SDM, masalah keuangan juga sempat dihadapi oleh rumah sakit. Kala itu, pemerintah kolonial belum memberikan subsidi untuk operasional rumah sakit. Otomatis Petronella hanya mengandalkan dukungan dana dari gereja-gereja reformed Belanda, tetapi sering kali dukungan dana tidak mampu menutupi kebutuhan operasional.
Seiring dengan tumbuhnya kepercayaan masyarakat, ruangan di rumah sakit di Bintaran tidak mampu menampung pasien yang membludak. Melihat kondisi itu, Sultan Hamengkubuwana VII menghibahkan sebidang tanah yang luas, bekas pabrik gula Mudja-Mudju, di Gondokusuman untuk pembangunan rumah sakit baru.
Pembangunan rumah sakit selesai pada tahun 1901. Sekitar 150 pasien dapat ditampung di fasilitas baru ini. Scheurer masih memimpin Petronella, tetapi kondisi kesehatannya yang menurun akibat penyakit beri-beri membuatnya harus kembali ke Belanda pada tahun 1906.
Pengembangan Rumah Sakit
H.S. Pruys melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Rumah Sakit Petronella. Pada masa jabatannya, ia menaruh perhatian penuh pada pelatihan staf perawat Jawa.
Pruys menulis buku panduan keperawatan berbahasa Jawa untuk melatih para bidan Jawa. Meskipun tidak diterbitkan, tetapi karyanya digunakan secara luas dan menginspirasi para dokter Kristen muda untuk memulai pelatihan.
Pruys merupakan sosok yang ambisius. Ia ingin memperluas jangkuan rumah sakit agar bisa menjangkau penduduk di daerah pinggiran.
Scheurer sebenarnya telah merintis rumah sakit tambahan di daerah Tungkak pada 1904. Akan tetapi, Pruys ingin mendirikan lebih banyak rumah sakit tambahan.
Dalam sebuah kesempatan ia berkata, “Bagaimana kita bisa menjangkau populasi yang lebih besar dengan pengobatan Barat? Rumah sakit pusat dengan 150 tempat tidur hanyalah setetes air dalam ember berisi jutaan orang. Jika kita ingin memerangi penyakit mematikan seperti malaria; framboesia; disentri; dan trakoma, maka pengorbanan finansial besar dibutuhkan.”
Pada tahun 1906, harapan Pruys mulai terwujud. Pemerintah kolonial yang awalnya memberikan dukungan secara insidental dalam pengadaan obat-obatan, merubah arah kebijakannya dengan memberikan dukungan dari kas negara untuk rumah sakit swasta.
Melalui sokongan dana itu, Pruys mulai membangun sistem rumah sakit pusat yang dikelilingi rumah sakit tambahan. Dalam sistem tersebut seluruh rumah sakit diharapkan terintegrasi dan terhubung melalui telepon.
Sistem ini menuntut kehadiran perawat berpengalaman dan terlatih yang mampu mendiagnosis penyakit-penyakit umum seperti malaria, disentri, dan penyakit kelamin. Mayoritas perawat direkrut dari lingkungan pedesaan, karena dipercaya lebih efektif untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dibandingkan dokter Eropa.
Sistem rujukan yang diterapkan Petronalla tidak jauh berbeda dengan sistem rujukan BPJS saat ini. Kasus-kasus ringan dirawat secara rawat jalan, kasus yang lebih serius dirawat di rumah sakit tambahan, sedangkan pasien yang tidak dapat ditangani rumah sakit pembantu dirujuk ke rumah sakit pusat.
Selama kepemimpinannya, Pruys sukses menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendirikan rumah sakit-rumah sakit tambahan. Ia bekerja sama dengan Kesultanan untuk mendirikan rumah sakit di Wates dan Wonosari. Selain itu, ia menggandeng Bank Kolonial untuk membangun rumah sakit di Medari dan Randu Gunting.
Walaupun berhasil mendirikan beberapa rumah sakit tambahan dan melatih tenaga kesehatan, kebijakan yang diambil Pruys tidak lepas dari kritik.
Sebagian ahli medis pada masa itu mengkritisi kebijakannya yang banyak merekrut tenaga medis dari penduduk desa yang dianggap kurang berkualitas. Namun, mengingat situasi saat itu–SDM berkualitas minim dan jumlah dokter yang sedikit– maka kebijakan yang diambil Pruys masih dapat diterima.
Menyediakan Layanan Kesehatan untuk Semua Kalangan
Setelah memimpin cukup lama, pada tahun 1918, Pruys harus mengundurkan di lantaran kondisi kesehatannya menurun. Offringa ditunjuk sebagai penggantinya.
Kepala rumah sakit yang baru meneruskan program yang telah dirintis dua pendahulunya. Ia berhasil membangun rumah sakit tambahan di Sewugalur 1922 (hasil kerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Vorstenlanden), Tanjung-Tirto 1922 (bekerja sama dengan Internatio), Sanden 1924 (kerja sama dengan Kesultanan), Dowangan 1925 (Kesultanan dan Lembaga Kebudayaan Vorstenlanden), Sorogedug-Wanujoyo 1926 (Lembaga Kebudayaan Klaten), dan Cebongan 1929 (Internatio). Kerja sama yang erat dengan lembaga-lembaga kebudayaan dan Kesultanan memungkinkan perluasan rumah ini.
Offringa sadar bila ingin menjangkau daerah pinggiran maka rumah sakit pusat harus mengimbangi pertumbuhan rumah sakit tambahan. Oleh sebab itu, ia mencari dukungan dari pemerintah kolonial, pemerintah daerah, badan-badan kebudayaan, perusahaan kereta api dan perusahaan-perusahaan industri lokal untuk memperluas dan memperkuat rumah sakit pusat.
Gagasan itu disambut oleh Sultan Hamengkubuwono VIII yang memberikan lahan luas di sebelah lokasi rumah sakit utama.
Proyek renovasi dan perluasan rumah sakit dilaksanakan pada 1924-1925. Berkat dukungan Sultan; Residen Jogja, Jonquiere; dan Kepala Jawatan Kesehatan, van Lonkhuyzen rencana tersebut dapat terealisasi tepat waktu. Kapasitas rumah sakit meningkat menjadi 475 tempat tidur dan jumlah dokter bertambah menjadi lima orang.
Untuk mengatur rumah sakit sebesar ini tentunya dibutuhkan penanganan ekstra. Offringa menggandeng akuntan L. Götzen untuk merancang sebuah sistem administrasi yang memungkinkan kontrol penuh setiap divisi rumah sakit. Sistem administrasi yang tertata rapi berperan besar dalam menjaga kelangsungan rumah sakit selama Krisis Malaise.
Secara garis besar, kinerja rumah sakit-rumah sakit zending di Jawa dianggap memuaskan. Dalam kunjungannya ke Jawa, Prof. Snijders, guru besar kedokteran tropis di Universitas Amsterdam, berkomentar, “Saya berkesempatan untuk mengunjungi banyak rumah sakit di Jawa dan membuat perbandingan yang menarik. Saya sangat terkesan dengan rumah sakit zending, karena saya memiliki kesan yang sangat positif bahwa mereka paling dekat dengan masyarakat. Menurut saya, para dokter di tempat ini memiliki dedikasi tinggi dan bersedia berbicara dengan penduduk asli dengan bahasa Jawa, sehingga tampak dekat dengan setiap pasien. Selain itu, seluruh suasana rumah sakit ini umumnya disesuaikan dengan lingkungan Jawa.”
Kala itu sistem rumah sakit yang diterapkan bisa dibilang telah mature dan efisien untuk merawat penduduk bumiputra. Rumah sakit Petronella yang menjadi pusat rujukan dikelilingi oleh sejumlah rumah sakit tambahan, masing-masing dikepalai oleh seorang perawat berpengalaman. Semua rumah sakit saling terhubung melalui telepon dengan rumah sakit pusat.
Di samping kedua jenis rumah sakit itu, masih terdapat empat mobil rawat jalan yang secara rutin berkeliling menyediakan bantuan medis di daerah terpencil. Mobil ambulans tersebut berisi 2-3 perawat dan setiap harinya melewati rute tertentu dengan enam-delapan pemberhentian. Di pos-pos pemberhentian inilah klinik rawat jalan diselenggarakan.
Sistem yang telah mumpuni ini kemudian ditunjang dengan peralatan modern untuk mempermudah diagnosis dokter. Rumah sakit pusat telah dilengkapi dengan laboratorium, ruang operasi modern dan alat x-ray.
Di samping menangani penyakit umum, rumah sakit juga mulai menerima pasien penderita tumor. Nantinya, sampel jaringan tumor yang telah diambil dari pasien dikirim ke salah satu tiga dari stasiun penelitian (Lembaga Patologi Batavia, Lembaga Kanker Bandung, Laboratorium Patologi-Anotomi N.I.A.S di Surabaya), guna diteliti lebih lanjut apakah tumor tersebut berbahaya atau tidak.
Progres yang dicapai rumah sakit-rumah sakit zending sedikit banyak dapat menutupi ketidakmerataan rumah sakit pemerintah yang belum semuanya memiliki fasilitas yang mumpuni.
Upaya Rumah Sakit Petronella Bertahan di Tengah Krisis Malaise
Keberhasilan Offringa memimpin Petronella membuatnya dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk mengepalai Jawatan Kesehatan pada 1930.
Pada masa itu, tanda-tanda kemerosotan ekonomi sudah terlihat, kendati belum terlalu parah. Perusahaan swasta dan lembaga-lembaga kebudayaan yang sebelumnya menjadi pendukung kuat rumah sakit mulai mengalami masa-masa sulit. Akibatnya, mereka harus mengurangi kontribusi mereka secara signifikan.
Bertepatan dengan itu, subsidi yang diberikan pemerintah kolonial juga dikurangi 25 persen. Hal ini tentu semakin menyulitkan kegiatan operasional rumah sakit.
Pihak manajemen berupaya mengatasi masalah ini dengan melakukan penghematan anggaran, PHK dan pemotongan gaji pegawai. Kendati gereja-gereja Kristen menambah sumbangan mereka, tetapi upaya itu ternyata hanya dapat menutup sebagian pendapatan yang hilang.
Sebagai dampak krisis ini, mobil rawat jalan harus berhenti total pada 1932. Beberapa poliklinik seperti di Gesikan dan Sendang Pitu juga harus ditutup, sedangkan Rumah Sakit Pembantu Cebongan harus ditutup dan dirubah fungsinya menjadi sebatas poliklinik.
Meskipun mengalami krisis, pihak manajemen masih berupaya untuk survive. Melalui penghasilan dari praktik kebidanan dan biaya perawatan penduduk, pelan tapi pasti Petronella mencoba untuk bangkit.
Upaya tersebut berbuah manis. Dalam masa sulit ini beberapa program masih dapat dilaksanakan, seperti membangun klinik rawat jalan untuk penduduk miskin (1933), modernisasi ruang operasi dan pembagian kelas perawatan (1934), pembangunan sanatorium untuk pasien TBC (1936), perluasan klinik bersalin dan anak-anak (1936), dan insentifikasi pelatihan kebidanan (1937).
Di samping beberapa program itu, perluasan rumah sakit juga masih dapat dilanjutkan. Perluasan dilakukan setelah mendapat izin untuk menggunakan barak bekas rumah sakit militer yang terletak di belakang rumah sakit utama. Kapasitas pasien pun dapat ditingkatkan menjadi 500 orang.
Meningkatnya kapasitas pasien, tentu harus diimbangi dengan jumlah tenaga medis yang tersedia. Pada tahun 1937, rumah sakit hanya memiliki sembilan dokter; tujuh dokter Eropa, satu dokter Tionghoa lulusan Belanda, dan satu dokter Jawa.
Jumlah tersebut masih jauh lebih sedikit dibanding Rumah Sakit Umum Pusat Semarang yang memiliki 14 dokter. Oleh sebab itu, manajemen Petronella ingin menambahkan dua dokter Jawa, seorang dokter spesialis paru-paru, dokter spesialis hidung, dokter spesialis tenggorokan dan telinga, serta dokter gigi.
Sementara itu, mayoritas tenaga keperawatan terdiri dari perawat terlatih dan perawat magang. Mereka berasal dari seluruh penjuru Hindia-Belanda, sehingga bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi dan belajar. Untuk perawat magang, mereka harus melalui pelatihan selama dua tahun untuk mendapatkan ijazah.
Enam perawat perempuan Eropa (Empat di antaranya bidan) bertugas mengordinasi bangsal perempuan dan melakukan pelatihan, sedangkan staf di bangsal pria dipimpin oleh Mas Kasimin Paulus.
Setelah melewati masa sulit selama krisis ekonomi, Rumah Sakit Petronella masih tetap eksis hingga akhir pendudukan Belanda. Pada masa Jepang, rumah sakit ini diganti namanya menjadi Jogjakarta Tjuo Bjoin, sekaligus mengakhiri asasnya sebagai rumah sakit kristen.
Baca juga: Merawat Jiwa: Sejarah Rumah Sakit Jiwa Masa Kolonial
Pasca kemerdekaan, rumah sakit kembali pada khitahnya sebagai rumah sakit Kristen. Kali ini nama rumah sakit berubah menjadi Roemah Sakit Poesat. Namun, nama tersebut tidaklah tersemat lama, karena pada 28 Juni 1950, nama rumah sakit kembali dirubah menjadi Rumah Sakit Bethesda untuk menegaskan bahwa rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit pelayanan kasih.
Daftar Pustaka
Het Werk in het Zendingsziekenhuis “Petronella” en zijn 22 Neveninrichtingen in Woord En Beeld, 1937.
Josselin de Jong, R. de,”Herinneringen aan een reis door Nederlandsch-Indië op geneeskundig, hygiënisch en ander terrein”. 1941.
Offringa, J.”Na vijf en twintig jaar 1900-1925,”1923.
Pol, D.”Midden-Java ten Zuiden”. Stichting Hoenderloo: Zendingsstudie-raad,1939.
Sikkel, D. “Vijf-en-twintig jaar zendingsarbeid te Djocja”. Belanda, 1925.