Menyelisik Jejak Korupsi pada Masa Kolonial

J.S. Furnivall dalam karyanya, Colonial Policy and Practice, pernah menyatakan bahwa Hindia-Belanda secara praktis bebas dari korupsi. Pandangan ini dikuatkan oleh sebagian sejarawan yang menuduh masa pendudukan Jepang sebagai akar dari budaya korupsi di negeri ini. Namun, apakah pernyataan tersebut benar? Penulis sendiri menemukan beberapa data yang justru mengatakan sebaliknya.

Sejak kapan budaya korupsi ada di Indonesia?

Budaya korupsi telah muncul di nusantara sejak masa kerajaan. Fiona Robertson-Snape mengungkapkan, salah satu praktik korupsi pada masa itu dilakukan dalam bentuk pemberian hadiah (upeti) kepada pemimpin lokal (bangsawan/priyayi).

Pada masa itu praktik tersebut belum dianggap sebagai praktik korupsi, tetapi sebagai norma bisnis yang lumrah dilakukan. Sayangnya, kebiasaan ini masih terus dilakukan hingga sekarang, meski zaman telah jauh berbeda.

korupsi
Potret pejabat bumiputra. KITLV 180708.

Korupsi pada masa kerajaan diperparah oleh keberadaan sistem kekuasaan patrimonial. Dalam sistem ini semua sumber daya dan kekayaan dianggap milik penguasa. Sistem patrimonial tidak hanya berlaku di kerajaan, tetapi juga berlaku di desa-desa yang menjadi basis pemerintahan sipil di Jawa.

Menurut, Theodore M. Smith, dalam sistem desa tidak ada perbedaan antara uang publik dan pribadi. Kepala desa yang tidak digaji pada umumnya memungut pajak untuk memenuhi kebutuhan pribadi, lalu memakai sisanya untuk keperluan desa.

Berdasarkan penelusuran Onghokham, arisp-arsip kolonial lebih banyak berisi protes terhadap ketidakadilan dan praktik korupsi para pegawai kelas rendah. Dengan kata lain, praktik korupsi pada masa lalu lebih banyak dilakukan oleh pejabat tingkat menengah ke bawah, seperti lurah, bekel, demang, dan penjaga gerbang tol.

Masih menurut Onghokham, salah satu faktor utama maraknya korupsi pada masa kerajaan adalah sistem keuangan yang tidak efisien. Di Kerajaan Mataram tidak ada badan yang mengelola keuangan negara atau tidak ada sentralisasi keuangan. Setiap jabatan berdiri secara otonom dan tidak saling terhubung.

Akibatnya, tidak ada pemisahan antara kepentingan pribadi dan publik. Uang pajak akhirnya sering kali diselewengkan untuk kepentingan pribadi.

Pada masa VOC, praktik korupsi berkembang menjadi semakin kompleks. Para pegawai VOC memamerkan perilaku culas yang akhirnya dicontoh oleh para pejabat bumiputra.

Clive Day dalam karyanya, The Dutch in Java, mengungkapkan, “Meskipun gaji pegawai VOC kecil, tetapi mereka dihadapkan pada peluang besar untuk melakukan korupsi. Lemahnya kelembagaan penduduk bumiputra, peluang yang terbuka lebar, dan tidak adanya pemeriksaan, sering kali dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Banyak pegawai VOC menjadi kaya dari hasil korupsi. Praktik ini dilakukan secara terang-terang hingga pada akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.”

Setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintah kolonial, praktik korupsi bukannya berkurang, yang terjadi malah sebaliknya.

Seiring dengan meluasnya kontrol kolonial maka semakin banyak pejabat Eropa maupun bumiputra terlibat dalam penyalahgunaan wewenang secara terang-terangan. Mereka tidak hanya menikmati keistimewaan dari jabatan mereka, tetapi juga mengumpulkan pundi-pundi uang secara ilegal.

Tatkala Daendels tiba di Jawa pada 1808, ia berupaya menyingkirkan patronase dan budaya nepotisme para pejabat bumiputra. Untuk mewujudkan ambisinya, ia memperkuat komunikasi, sentralisasi dan kontrol negara dengan membangun jalan Anyer-Panarukan.

Setelah invasi Inggris ke Jawa, Raffles berusaha meneruskan upaya yang telah dirintis Daendels. Ia mengeluarkan keputusan yang menjadikan bangsawan lokal sebagai pejabat yang digaji pemerintah kolonial. Sebagai pegawai kolonial mereka tidak lagi memiliki hak-hak istimewa, seperti penarikan pajak berlebihan, persenan, dan upeti.

Keputusan keduanya untuk menentang tatanan lama ini menimbulkan kepanikan bagi kalangan para bangsawan dan priyayi. Apabila cita-cita itu terwujud praktis pendapatan mereka menjadi terancam lantaran hanya bergantung pada gaji yang dibayarkan oleh pemerintah kolonial.

Mereka yang ingin mempertahankan gaya hidup mewah otomatis menempuh cara ilegal. Para bangsawan dan priyayi secara terang-terangan menyuap pejabat kolonial demi mendapatkan jabatan-jabatan bergaji tinggi.

korupsi
Pegawai dalam negeri di Surabaya. KITLV 179521.

Sementara itu, perluasan kontrol pemerintah kolonial atas tanah dan hasil bumi, membuat para pejabat bawah bumiputra seperti lurah mendapatkan kesempatan baru untuk mendapat keuntungan ilegal. Bahkan, beberapa bekel (pemungut pajak) menaikkan pajak yang dibayarkan petani penggarap hingga 20 kali lipat. Praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat bumiputra ini mencapai puncaknya pada periode cultuurstelsel.

Meskipun praktik korupsi dilakukan terang-terangan tidak ada tindakan lebih lanjut untuk melawannya. Akhirnya, praktik-praktik ilegal yang dilakukan oleh pejabat bumiputra dianggap sebagai hal yang biasa Pada tahun 1850, seorang saksi bumiputra dalam kasus korupsi berat menuturkan, “Penduduk biasa hanya diam melihat praktik korupsi dan tidak pernah menyampaikan keluhan secara terbuka.”

Mengapa tidak banyak perlawanan terhadap korupsi?

Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pemahaman tentang sistem nilai tradisional di Jawa. Budaya administratif di Jawa dibangun di atas kepedulian yang sangat tinggi terhadap reputasi dan loyalitas; perilaku lemah lembut, tertata, dan sopan sangatlah diutamakan.

Melakukan tuduhan langsung atas praktik korupsi kepada seseorang dapat menimbulkan situasi konflik terbuka yang merugikan. Hal ini bisa mengancam mata pencaharian dan reputasi seseorang beserta keluarganya.

Bagi orang Jawa, kerugian psikis akibat konflik antarpribadi secara langsung dan bahaya yang terlibat dalam pengungkapan tuduhan korupsi tampaknya terlalu besar untuk mendorong perilaku berani yang menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan upaya pemberantasan korupsi.

Pada abad ke-19, upaya pemberantasan korupsi hanya sedikit mengalami kemajuan. Para pejabat kolonial yang terbukti menerima suap memang mulai dituntut secara hukum.

Sayangnya, belum ada peraturan yang kuat untuk menjerat para pelaku korupsi. Pengadilan Tinggi masih menggunakan struktur hukum era VOC yang dikenal fleksibel terhadap bentuk-bentuk korupsi.

korupsi
Potret seorang jaksa di Padang. KITLV 114268.

Memasuki dekade 1860-an, masalah korupsi menjadi bahan perdebatan utama di parlemen Belanda. Kaum reformis liberal yang mulai mendominasi parlemen meminta lebih banyak ruang untuk kewirausahaan swasta karena negara terlalu banyak mengendalikan sektor bisnis. Cultuurstelsel dianggap hanya menyuburkan kembali praktik patronase dan nepotisme.

Bertepatan dengan momentum itu, Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker) muncul dengan karya monumentalnya Max Havelaar. Dalam novelnya, ia menguliti praktik korup yang dilakukan oleh para pejabat kolonial. Sebagai mantan asisten residen dirinya tahu betul kebobrokan sistem kolonial.

Dalam novelnya Multatuli mengungkapkan, korupsi sistemik membuat penduduk setempat hidup sengsara. Meskipun keluhan resmi telah disampaikan kepada Gubernur Jenderal, tetapi Gubernur lebih memilih menutup mata terhadap penyelewangan tersebut.

Kegaduhan timbul setelah Max Havelaar diterbitkan. Beberapa anggota parlemen mengutuk penyelewengan itu, sedangkan lainnya berusaha membela diri.

Kelompok konservatif yang mendukung status quo berupaya mempertahankan cultuurstelsel. Menteri Urusan Kolonial, Johannes Jerphaas Hasselman, mencoba melawan sentimen negatif dengan menyuap jurnalis terkenal Conrad Busket Huet untuk membuat Java-Bode menjadi media pro-konservatif. Namun, tampaknya upaya ini terbongkar pada pada 1868.

Intermezzo yang dilakukan oleh kelompok konservatif tidak dapat membendung Liberal di Parlemen Belanda untuk meminta penghentian Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870-an.

Baca juga: Kehidupan Buruh di Tambang Batu Bara Ombilin

Sebelumnya, Menteri Urusan Kolonial dari kelompok Liberal, Franssen van de Putte, telah mengeluarkan kebijakan yang membatasi kekuasaan kepala desa (dessahoofden) setempat; peran dan perilaku mereka dianggap sebagai penyebab terjadinya berbagai penyelewengan.

Selain itu, larangan dan hukuman tambahan atas pemerasan juga diberlakukan. Pada tahun 1869, sebuah langkah penting diambil untuk memperkuat penegakan hukum. Pengadilan lokal kini dipimpin oleh seorang ahli hukum terlatih, bukan seorang administrator umum.

Berakhirnya Cultuurstelsel diikuti dengan periode liberal yang mengarah pada peningkatan investasi dan kegiatan swasta. Namun, bukan berarti peran negara dalam urusan kolonial berkurang, yang terjadi justru sebaliknya.

Para pengusaha yang ingin mengelola lahan para bangsawan harus mendapatkan konsesi dari pemerintah kolonial. Selain itu, perjanjian-perjanjian sewa menyewa antara pengusaha Eropa dan elit lokal harus disahkan oleh pemerintah kolonial agar dapat berlaku efektif. Proses perizinan yang dibuat rumit akhirnya menjadi ladang korupsi baru pada masa ini.

Daftar Pustaka

Alatas, S. H (1987). Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.

Day, C. (1904). The Dutch in Java. London: Macmillan.

Dick, H.W. dan V.J.H. Houben (Ed). (2002). The Emergence of a National Economy. An Economic History of Indonesia, 1800–2000. Honolulu: University of Hawai Press.

Frankema, E. dan F. Buelens. (2013). Colonial Exploitation and Economic Development. The Belgian Congo and the Netherlands Indies Compared. London:Routledge.

Furnivall, J.S. (1957). Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. London: Cambridge University Press.

Kroeze, R. (2021). Colonial Normativity? Corruption in the Dutch–Indonesian Relationship in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Dalam Kroeze, R., Dalmau, P., Monier, F. (ed). Corruption, Empire and Colonialism in the Modern Era. Singapore: Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1007/978-981-16-0255-9_7

Onghokham. (1995). “Tradisi dan Korupsi” dalam Bungai Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES.

Robertson-Snape, F. (1999). Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia. Third World Quarterly, 20(3), 589–602. http://www.jstor.org/stable/3993323

Smith, T. M. (1971). Corruption, Tradition and Change. Indonesia, 11, 21–40. https://doi.org/10.2307/3350742

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *