Merunut Sejarah Skizofrenia

Penderita skizofrenia awalnya dianggap terkena kutukan dari dewa atau gangguan dari roh jahat, keyakinan ini bertahan selama ribuan tahun.

Perubahan signifikan dalam pemahaman atas kondisi ini baru terjadi pada era modern, ketika para ahli kejiwaan mulai memberikan penjelasan ilmiah tentang skizofrenia.

Berawal dari Stigma

Skizofrenia bisa dibilang sebagai gangguan mental kronis yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk berpikir, persepsi, emosi, bahasa, rasa diri, dan perilaku.

Gejalanya sering meliputi halusinasi, delusi, dan kekacauan pola, yang menghambat kemampuan individu untuk memahami realitas dan berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Pada zaman kuno, pemahaman tentang penyakit mental belum sekomprehensif saat ini. Gangguan mental seringkali tidak dibedakan dengan jelas dan sering dikaitkan dengan faktor spiritual, seperti hukuman dari dewa atau kerasukan setan.

Pengobatan tradisional sering melibatkan praktik spiritual seperti pengusiran roh jahat melalui trepanasi, yaitu melubangi kepala untuk mengeluarkan roh jahat.

Sekelompok wanita penderitaa skizofrenia
Sekelompok perempuan penderita skizo. Sumber: Gettyimages

Meskipun begitu, pada abad kuno, tidak semua penyakit mental dikaitkan dengan masalah spiritual. Kondisi yang menyerupai skizofrenia dijelaskan dalam “The Book of Hearts,” sebuah bab yang didedikasikan untuk gangguan kesehatan mental dalam “The Ebers Papyrus,” naskah medis Mesir kuno yang berasal dari tahun 1550 SM. Orang Mesir kuno menghubungkan “psikosis dengan pengaruh berbahaya dari racun di jantung dan rahim.”

Sementara itu “Bapak Kedokteran” Yunani kuno, Hipokrates, meyakini bahwa kondisi seperti skizofreniia disebabkan oleh faktor biologis, bukan penyebab spiritual atau metafisik. Ia menawarkan diet khusus dan blood letting untuk mengatasi kondisi tersebut.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Difabel pada Masa Kuno

Seiring perubahan zaman, praktik trepanasi mulai ditinggalkan. Kendati demikian, stigma terhadap penyakit mental dan skizofrenia terlanjur mengakar kuat di masyarakat.

Penjelasan Ilmiah

Penjelasan ilmiah pertama tentang skizofrenia sebagai penyakit mental baru muncul pada tahun 1887 oleh Dr. Emile Kraepelin. Ia menggunakan istilah “demensia praecox”, yang diperkenalkan oleh Benedict Augustine Morel, untuk menyebut kondisi ini

Emil Kraepelin 1926
Emile Kraepelin jadi orang pertama yang menjelaskan skizo secara ilmiah. Sumber: Wikimedia

Istilah Demensia praecox, yang berarti “demensia dini”, digunakan untuk membedakannya dari demensia yang terjadi pada usia lanjut seperti penyakit Alzheimer.

Kraepelin percaya bahwa demensia praecox pada dasarnya adalah penyakit otak, tetapi keliru karena menganggapnya sebagai bentuk demensia. Sekarang diketahui bahwa skizofrenia dan demensia adalah kondisi yang berbeda.

Pada 1911, seorang psikiater Swiss, Eugen Bleuler, memperkenalkan istilah “skizofrenia”. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, schizo (terbelah) dan phrene (pikiran).

Bleuler menggunakan istilah ini untuk menyoroti kebingungan mental dan karakteristik pemikiran yang terpecah-pecah pada penderita penyakit ini. Namun, istilah ini tidak dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan tentang kepribadian ganda yang sebenarnya.

Meskipun Bleuler menjadi orang pertama yang menggambarkan gejala positif dan negatif, baik Kraepelin maupun Bleuler menyadari bahwa gejala skizofrenia cenderung mengelompok ke dalam kategori yang berbeda. Karena itu, keduanya menciptakan tipologi subtipe skizofrenia yang terus digunakan hingga sekarang.

Kategori skizofrenia modern yang diakui oleh DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mencakup subtipe paranoid, tidak terorganisir, katatonik, residual, dan subtipe tidak berdiferensiasi, masing-masing didasarkan pada kluster gejala tertentu yang berbeda.

Klasifikasi dan Penyebab

Kontribusi besar berikutnya untuk kemajuan pemahaman skizofrenia datang dari Kurt Schneider, yang membuat daftar gejala-gejala tingkat pertama dari penyakit ini pada tahun 1959.

Karya penting ini secara efektif membedakan skizofrenia dari psikosis lainnya dan menjadi inspirasi bagi dua panduan diagnostik yang banyak digunakan untuk mendefinisikan skizofrenia modern, yaitu International Classification of Diseases (ICD) dan DSM.

Definisi dan kriteria diagnostik untuk skizofrenia yang dikodifikasi dalam panduan-panduan ini terus berkembang hingga sekarang.

Seiring dengan berkembangnya klasifikasi skizofrenia, berkembang pula teori-teori tentang penyebabnya. Gregory Bateson dan rekan-rekannya mengusulkan teori “double bind” pada pertengahan tahun 1950-an.

Teori ini menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh pola asuh orang tua yang buruk, terutama ketika orang tua secara eksplisit mengatakan satu hal dan bertentangan dengan kenyataan.

Meskipun teori double bind banyak didiskreditkan dan tidak lagi digunakan karena kurangnya bukti ilmiah yang meyakinkan, gagasan bahwa kehidupan yang penuh tekanan (seperti memiliki orang tua yang kasar) dapat menyebabkan skizofrenia terus dianggap penting dalam penelitian psikiatri modern dan konsep “diathesis-stress” skizofrenia.

Karya Seni dari Pasienn Skizofrenia
Lukisan penderita skizo. Gettyimages

Diatesis adalah kerentanan atau kecenderungan bawaan seseorang terhadap suatu kondisi atau penyakit tertentu. Konsep diathesis-stress dalam skizofrenia menyatakan bahwa individu memiliki kerentanan genetik, biologis, atau lingkungan terhadap skizofrenia (diatesis).

Beberapa individu memiliki kerentanan yang lebih besar daripada yang lain, yang dapat disebabkan oleh faktor genetik, biologis, atau pengalaman hidup mereka. Namun, hanya memiliki kerentanan saja tidak cukup untuk menyebabkan timbulnya skizofrenia. Faktor pemicu, yang dapat berupa stresor psikologis, sosial, atau biologis, harus berinteraksi dengan kerentanan yang ada untuk memicu gejala psikotik dan gangguan skizofrenia.

Baca juga: Polemik Terapi Konversi Gay pada Abad ke-19

Semakin besar kerentanan bawaan seseorang terhadap skizofrenia, semakin sedikit stres yang diperlukan untuk memicu episode psikotik dan memulai gangguan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang memiliki kerentanan yang lebih kecil, stresor yang lebih besar diperlukan untuk memicu gangguan tersebut. Hingga jumlah stres kritis tercapai, seseorang tidak akan mengalami skizofrenia dan kerentanan mereka mungkin “tersembunyi” atau “laten”.

Berbagai jenis stresor, seperti trauma, depresi, peristiwa sosial yang menekan, serta faktor biologis seperti infeksi virus atau komplikasi kelahiran, dapat berkontribusi dalam mengaktifkan kerentanan genetik seseorang terhadap skizofrenia. Dengan demikian, interaksi antara faktor kerentanan dan faktor pemicu menjadi penting dalam timbulnya gangguan skizo.

Pengobatan Awal untuk Skizofrenia

Selang beberapa dekade setelah penjelasan ilmiah Kraepelin tentang skizofrenia, pengobatan medis yang efektif tidak langsung tersedia. Pasien yang menderita sering kali diobati dengan metode penuh keputusasaan yang mencakup terapi induksi barbiturat dalam jangka waktu lama, koma insulin, atau bahkan bedah psiko.

Metode koma insulin melibatkan pemberian dosis besar insulin untuk menciptakan kondisi hipoglikemik yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kejang. Meskipun beberapa laporan menunjukkan bahwa serangkaian kejutan insulin seperti itu dapat mengurangi episode psikotik, teknik ini tidak pernah dievaluasi secara menyeluruh dan memiliki risiko serius seperti serangan jantung dan stroke.

Lobotomi frontal atau betah otak, merupakan prosedur bedah saraf yang memotong saluran saraf pada lobus frontal untuk mengurangi agitasi dan perilaku impulsif. Namun, prosedur ini tidak memiliki manfaat yang nyata dan malah menyebabkan gangguan kognitif tambahan. Di samping itu, sering terjadi pengabaian persyaratan etis.

Keterbatasan dalam pilihan terapi selama paruh pertama abad ke-20 menyebabkan ribuan pasien skizofrenia terlantar di rumah sakit jiwa. Pada pertengahan tahun 1950-an, Amerika Serikat dan Kanada sendiri memiliki lebih dari 500.000 pasien psikotik yang dirawat di rumah sakit tanpa batas waktu.

Fix Pasien skizofrenia katatonik di Rumah Sakit Veteran Brentwood 1951
Potret penderita skizo di Rumah Sakit Brentwood, 1951. Gettyimages

Meskipun para perintis psikiatri berusaha untuk meningkatkan efektivitas pengobatan skizofrenia, kualitas hidup pasien belum mengalami perbaikan yang signifikan.

Di tengah kekalutan para psikiater, psikofarmakologi modern tanpa diduga lahir dari seorang ahli bedah angkatan laut Prancis, Henry Laborit, yang sedang menguji obat baru bernama promethazine.

Awalnya, pengujian ini untuk meneliti efek obat tersebut pada sistem saraf otonom, dengan harapan menemukan pengobatan untuk syok peredaran darah pascaoperasi. Namun, Laborit menemukan bahwa promethazine tidak hanya memiliki efek meredakan rasa sakit dan menimbulkan kantuk, tetapi juga memberikan perasaan euforia.

Temuannya ini menarik minat peneliti di laboratorium perusahaan Rhone-Poulenc, yang kemudian memodifikasi formula promethazine untuk menghasilkan obat antipsikotik pertama yang efektif, yaitu klorpromazin.

Pengamatan awal terhadap promethazine dan kemudian klorpromazin pada pasien kejiwaan menunjukkan bahwa obat tersebut memiliki efek antipsikotik yang signifikan serta efek penenang yang berkelanjutan.

Melalui serangkaian uji klinis di beberapa negara, klorpromazin terbukti mengurangi agitasi, gangguan suasana hati, dan gejala psikotik positif seperti delusi dan halusinasi. Bahkan, beberapa gejala negatif juga dapat diperbaiki dengan penggunaan obat ini.

Pasien yang menerima pengobatan klorpromazin menghabiskan waktu yang lebih sedikit di rumah sakit, lebih jarang mengalami kambuh, dan menunjukkan peningkatan fungsi kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan pasien yang tidak diobati.

Meskipun intervensi psikofarmakologis telah merevolusi perawatan bagi pasien dengan skizofrenia kronis, terapi ini tidak menjamin kesembuhan total. Sebagian kecil pasien tidak merespons obat antipsikotik dengan baik, bahkan pasien yang responsif sering mengalami efek samping yang tidak menyenangkan dan terkadang melumpuhkan. Selain itu, banyak pasien kambuh jika menghentikan penggunaan obatnya.

Kondisi makin sulit karena banyak dari mereka yang telah membaik kesulitan mencari pekerjaan dan dukungan sosial, sehingga menghambat keberhasilan mereka dalam keluar dari rumah sakit.

Deinstitusionalisasi pasien dengan gangguan jiwa berat, yang dimulai pada pertengahan tahun 1950-an, sering kali tidak didampingi dengan layanan perawatan lanjutan yang memadai, yang akhirnya mengakibatkan peningkatan kemiskinan dan stigma di kalangan mereka.

Baca juga: Merawat Jiwa: Sejarah Rumah Sakit Jiwa Masa Kolonial

Psikoterapi utama yang digunakan untuk skizofrenia di Amerika Serikat dan Inggris hingga awal tahun 1960-an adalah psikoanalisis. Namun, studi yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH) pada tahun 1964 menunjukkan bahwa psikoterapi semacam itu jauh kurang efektif dibandingkan dengan obat antipsikotik.

Pada saat yang sama, obat-obatan tersebut terbukti hanya bermanfaat dalam mengurangi keparahan gejala dan mencegah kambuh. Oleh karena itu, psikoterapi suportif dianggap sebagai tambahan yang penting untuk farmakoterapi.

Selanjutnya, berbagai bentuk intervensi psikososial lainnya, seperti terapi perilaku kognitif (CBT), pelatihan keterampilan sosial, dukungan pekerjaan, dan program intervensi keluarga, dikembangkan dan diuji untuk efektivitasnya pada orang dengan skizofrenia.

Kini diakui bahwa pendekatan kombinasi psikofarmakologis dan psikososial merupakan keharusan untuk meningkatkan keberhasilan jangka panjang dalam mengelola skizofrenia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *